Friday, January 22, 2010

Aku ternyata rekayasa Saya

#Cuplikan 7

“Ini sudah kali ketiga aku mendapat surat ancaman dalam seminggu terakhir. dan aku tahu benar siapa bajingan yang mengirimkannya.”

Libur akhir pekan. “Lona, kamu lihat sepatu lariku gak?”?

Kuobrak-abrik lemari sepatu tapi tak berhasil ditemukan. Sabtu pagi adalah waktu terbaik dalam satu minggu. Aku tidak perlu berperang melawan kemacetan, sumber ketidakwarasan penduduk kota dimana sering terdengar sekawanan binatang haram dielu-elukan dari balik setir kemudi.

“Aha, ketemu! Lona, aku jalan dulu ya. Kamu mau sarapan apa?”

Bagaimanapun juga, aku ingin membahagiakan ikan kesayanganku, karena hanya dia satu-satunya tempat aku mencurahkan segala gundah hati. Aku tidak peduli dengan kenyataan bahwa Lona bernapas dengan insang, kenyataan bahwa Lona tidak punya paru-paru itu tidak mengapa. Lain halnya apabila ternyata dia punya telinga, berarti selama ini Lona hanya akting peduli. Tapi memang Lona agak aneh, setiap kali sesi curhat, Lona tetap asyik berenang kian kemari.

”bluUUup bLuuuPP bluUUuuP”
”Lona, kamu aneh. Ditanyain kok malah niup-niup air. Kalau nanti kembung, gimana? Dah Lona, jaga rumah ya, jangan keluyuran soalnya lagi banyak penculikan!”

Berlari adalah momen dimana aku bisa merasa lepas. Bebas mengendalikan kapan harus menambah kecepatan atau malah berhenti karena kecapaian. Satu jam sudah cukup sukses membuat napasku terengah-engah, setidaknya satu minggu sekali. Keringat ini sudah membasahi seluruh bagian kaos yang diselimuti sweater abu-abu. Pagi ini cukup sepi, padahal sudah garis sudah menunjuk angka 7. Taman DeRaksa, masih dalam kompleks apartment yang kutinggali. Pepohonan besar menghiasi track untuk pejalan kaki dan pelari, dikotori daun-daun mulai berguguran. Warnanya hijau kecokelatan.

Dinding pemisah antara DeRaksa dan Dirjani berhasil kupanjat. Masih menjadi pertanyaan besar kenapa Dirjani ditutup untuk umum. Aku yakin alasannya bukan karena taman ini angker. Rumput golfnya masih rapih seperti selalu diurus. Lampu tamannya pun masih berfungsi, mungkin lupa dimatikan oleh si penjaga yang ketiduran. Ada bangku panjang dengan sandaran berwarna cokelat tua dan unsur besi hijau dibagian pinggir untuk pijakan tangan. Sudah pasti masih ada yang sering berkunjung ke taman ini. Tapi siapa?

”Woi, gue telfon ga diangkat”
“Hahaha, mampu gaji berapa emangnya lo sampe gue harus angkat telfon di hari libur?” candaku pada Tari, nama lama dalam kehidupanku.
“Jadi ini nih sambutan buat temen lo yang baru kembali dari luar kota?” kami berpelukan tanpa perasaan.

Tari adalah temanku sejak kecil hingga sekarang, menjadi sahabat di kompleks kami yang penuh kenangan. Sembilan tahun sejak perkenalan, Tari bersama yang lainnya harus ikut ayahnya yang berdinas ke Surabaya. Sebenarnya, Tari bisa saja memilih untuk tidak ikut saat itu, apalagi ayahku sudah menawarkan rumah kami apabila Tari ingin tetap berdomisili dan melanjutkan SMA-nya Jakarta. Bersamaku, teman sekaligus seseorang yang sudah dianggap kakak laki-lakinya.

”Ya ampun, udah hampir 10 tahun lho kita gak ketemu. Kenapa gak ngabarin? Kan bisa gue jemput di Cengkareng.”
”Gue sengaja mau bikin kejutan. gue tadi juga mampir ke rumah lo. Sempet ketemu Bunda juga, makanya gue tau lo tinggal di sini”
“Pindah untuk seterusnya kan nih? Bukan cuma mampir?”

Selain Lona, Tari juga tahu segalanya. Jarak sudah putus asa berusaha memutus tali silahturahmi kami. Selain hanya 10 cm jika dihitung di peta Indonesia, teknologi pun semakin mendekatkan kami. Jadi tidak alasan untuk alpa bertegur sapa.

”Rencananya gue balik ke sini lusa. Tapi, sengaja gue percepat. prihatin sama keadaan lo yang uda kena teror dua kali, haha. Siapa sih orangnya?”
”Yah, kalau gue tau, namanya bukan teroris. Ketiga, bukan kedua.” kutunjukkan surat yang kebetulan kukantongi sebelum menghirup oksigen pagi. Tari membaca tulisan itu berulang kali, hanya kernyitan yang dia tampakkan. ”Elo bikin masalah sama seseorang, Dy?”
”Gue ga punya musuh sama sekali kok, tapi..”
”Tapi?”
”Ah udahlah, nanti saja bahasnya. kita balik ke apartment” ajakku sambil perlahan-lahan meninggalkan Tari yang masih tenggelam di bangku kayu.

Hal yang baru aku sadari dari pemandangan di sekitar Dirjani adalah adanya sebentuk prisma dari bahan granit. Beberapa tangkai bunga menghalangi, mungkin sengaja supaya tidak menarik perhatian para begundal yang berani melompat kemari. Kuseka tetes embun yang menempel,

”Kau adalah karya terindah Tuhan yang bisa aku inderai. Mata ini mengagumi cara matamu menunjukkan cintamu yang sederhana. Saat telingaku rindu mendengarkanmu membacakan buku ketika aku terlelap dipangkuanmu,di saat itu pula aku ingin membaui aroma kopi yang menempel pada bulu-bulu halus disekitar hidung dan dagumu. Mungkin harapanku untuk menyentuh dan meraba wajahmu adalah hal yang mustahil. Tapi aku tidak akan pernah berhenti untuk mengatakan pada dunia bahwa aku mencintaimu. Pernah, saat ini, dan selamanya."

Sekilas aku menoleh bangku taman itu. Bisa kubayangkan bagaimana sepasang manusia bisa saling mencintai tapi harus terpisahkan. Dirjani, area khusus bagi si penulis syair bersama belahan jiwanya. Tempat menghabiskan waktu di bawah matahari. Menikmati teduhnya siang dengan berbekal makanan favorit yang sudah disiapkannya dalam keranjang. Sang pria membacakan cerita dan sang wanita merapihkan alas untuk bersantai dan bersantap siang. Renyah tawa bisa terdengar, senyum lebar bisa tergambar. Cinta untuk memenuhi hati.

”Dy, ayo buruan!” teriakan Tari mengagetkanku. ”Gue udah minta dibukain pagernya nih.”
”Loh kok?” aku agak heran karena ternyata ada penjaga yang mengawasi taman ini, dan tampaknya cukup ramah dengan tidak mengusirku yang kurang ajar memasuki daerah ”terlarang”.

”Lo sangka gue bisa tau lo di sini dari siapa? dari Bapak ini, dia yang kasih tau kalo lo disini saat gue nanya orang receptionist.” penjelasan Tari sambil memberikan uang ala kadarnya karena telah memberikan jasa memberi tahu dimana keberadaan orang yang paling ingin ditemuinya beberapa menit yang lalu. ”Makasi yah, Pak”

”Kita naik sepeda aja yuk baliknya” Tari sudah mempersiapkan sepeda untuk kami tumpangi.
Dan aku hanya terdiam melihatnya sinis, ”Jadi, sampe sekarang lo belum bisa naik sepeda? Ya ampun Aldy!!!!” disambut tawanya yang menggelegar.


Sabtu dan Minggu selalu berjalan dengan sangat cepat. Dan aku harus membiasakan diri didikte rutinitas kembali. Suasana studio cukup panik setelah mendapat peringatan dari penelepon misterius yang mengancam akan bertindak hal yang tidak diinginkan apabila kami tidak mengindahkan apa yang dimintanya. Tapi, pertunjukkan harus tetap berlangsung, aku harus menjaga supaya konsentrasi tidak buyar dan tetap stabil mengarahkan pandangan pada satu titik kamera. Beberapa kali aku mencuri lihat apa yang sedang terjadi. Beberapa diantaranya mulai berbisik dan berpantomim gusar. Seusai siaran langsung, bos besar memanggil seluruh tim berita untuk berunding diruangannya.

”Gue minta pengertiannya supaya kita nutup kasus ini.”
”Tapi kan itu cuma ancaman, Bos!” seru yang seorang kameramen yang mendapat dukungan.
”Tapi lo gak akan sempet meralat apa yang lo bilang sekarang kalau ancaman yang lo bilang itu sudah berubah jadi kenyataan,” si bos memang masih cukup tenang dalam mengarahkan kami untuk mengikuti apa yang dimintanya. Tampak gurat kekecewaan dari sekumpulan jurnalis yang idealis. Mereka tidak peduli pada apa yang akan terjadi, selama masih menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan pada masayarakat luas.

Jurnalisme adalah pilar keempat dalam negara demokrasi, yang memiliki peran penting dalam memberikan informasi, mencerdaskan, dan menghibur masyarakat melalui media. Pers, si anjing penjaga, yang mengontrol bagaimana kekuasaan itu dijalankan oleh yang memiliki kekuasaan. Idealisme jurnalis menuntut kami untuk tidak menodai fungsi pers sehingga menjadi tercoreng. Terpaku dalam pikiran bahwa pers yang baik akan menghasilkan masyarakat yang baik.

Hanya keberanian yang menjadi aset, modal, dan bekal bagi para kami untuk terus meliput. Selanjutnya, tingkat keberanian lebih tinggi akan diperlukan untuk menerbitkan apa yang telah kami liput. Risiko adalah suatu seni yang harus dinikmati supaya kami tetap berkarya. Keberanian untuk memilih tunduk pada kejujuran berita daripada setumpuk sogokan. Keberanian mendapat perlakuan kurang terhormat bahkan dalam suasana terancam.

Kebebasan informasi bereinkarnasi sebagai anugerah berkah reformasi. Sayangnya, pers dan wartawan menjadi sosok yang ditakuti, karena dapat menjatuhkan musuh melalui pengaturan agenda berita. Jurnalis adalah pendekar dengan segala keterbatasan, yang menjamin setiap masyarakat berhak atas segala berita yang jujur dan akurat.

”Oke, semua bubar. Semua sudah jelas. Dan tolong, topik utama besok dialihkan ke Gempa kemarin saja. Terima kasih semua. Forum ditutup.”

Kekecewaan tertuang dalam raut wajah semua orang yang berkumpul, tak terkecuali si bos yang kini sedang melamun sambil bertolak pinggang dengan pandangan tertuju pada tumpukan map yang berserakan di meja. Ada keputusasaan dalam wajahnya.

Buah Simalakama. Jujur adalah relatif, saat kami berusaha jujur, kami menjadi sangat tidak fleksibel sehingga harus dipersulit untuk menggali kasus yang lebih dalam. Pun begitu ketika mengejar keinginan yang diimpikan, kami dikatakan tidak realistis. Dan bila kami berusaha menapaki jalan untuk memperoleh kesempurnaan, kami dikatakan terlalu perfeksionis dan dipenuhi ambisi. Maka, sungguhlah menyesakkan apabila kami harus menerima kekalahan atas sebuah teror. Stop mencari segala fakta yang dapat membungkam yang bersalah ketika tak kuasa dihujani argumen dan bukti yang nyata.

Setelah semua pergi, aku pun berpikiran untuk menyusul mereka.
”Dy, sebentar!”
”Menurut lo, apa yang gue lakuin ini salah?”
“Salah atau benar sudah udah gak penting lagi. Semua argumen juga akan diabaikan. Apa masih perlu pendapat saya?”

Dasi ini sudah kulonggarkan paksa. Kubuka satu kancing sehingga kaos putih didalamnya pun terlihat. Beberapa kali si bos mengusap kasar kepalanya, pertanda dia berusaha memikirkan sesuatu karena berada dalam tekanan. Belum sempat kaki kiri kupijakkan kelantai melewati ruangan tak berpintu ini,

”Gue tau lo dapet teror, Dy.”
“Dari mana lo tau?”
“Gak penting darimana gue tau, yang penting lo dan yang lain terjamin keselamatannya”
“Udahlah gak penting. Kita urus aja urusan masing-masing,” hardikku.
”Gue kasih lo cuti minggu depan. Ini perintah, bukan untuk dibantah.”
****


CTRL + S. ”Akhirnyaaaaa, bab ke 9 tulisan ini beres juga.”
”Hmmm, Aldy, karakter yang mengesankan. Entah apa yang akan dilakukannya lagi nanti. Tuhaaan, berikanlah insiprasi pada otak ini!!!”

Saya membaca berulang kali cerita yang sudah berjalan cukup panjang, sampai tidak tidur semalaman karena terlalu asyik melanjutkan naskah yang ingin segera ditamatkan.

”Callista! ayo turun dulu, ada kejutan buat kamu.” teriakan Ibu cukup menganggu kantuk.
Terlalu banyak kejutan dan pertanyaan. Maka bertanyalah akan penasaranmu, dan hampirilah,
”Sebentar, Bu!”

No comments: