Friday, August 15, 2008

SIAPA YANG SALAH??

Siapa yang salah dalam dialog ini.

Gua : Mbak, mau tanya kalau saya mau service besar untuk 80000km bisa booking dulu gak?
Mbak : Bisa.
Gua : Dapet potongan 10% kan yah? Servicenya apa aja ya?
Mbak : Iya. Biasanya sih ganti oli, tune up, dlllllll…
Gua : Yaudah deh mbak, saya mau booking ya buat besok pagi..
Mbak : Baik, saya catet dulu ya identitasnya..
Gua : Iya. Atas nama Vintya
Mbak : Nomor polisinya, Mbak?
Gua : B 8998 FZ
Mbak : Panther Zebra?
Gua : Bukan, Vios Matic
Mbak : Iya, Panther Zebra kan?
Gua : Bukan, Vios Matic, mbak..
Mbak : Iya, tapi tadi mbak nyebutnya Panther Zebra kan?
Gua : (Berusaha me-loading dengan cepat, berusaha pinter)


Masya ampuuuuunnnnn, gua menemukan apa yang salah...
Woi mbak, kalau mau sok uraian FZ dalam B 8998 FZ-nya pake nama-nama gitu, mbok ya ”Fanta Zero” atau ”Fenter Zebra” sekalian.. mana gua ngerti..


Jadi, sebenernya siapa yang salah disini?????

Manusia memiliki hati

Perasaan.
Manusia memang sangat luar biasa, memiliki hati untuk merasa. Getaran yang ada saat mendamba dan perih saat terluka. Tuhan tidak memiliki hati, tetapi dapat dikategorikan berhati besar karena memberikan mahluknya beragam keistimewaan. Macan punya taring, sedangkan manusia punya hati. Hati sebagai pelindung, hati yang menentukan, bahwa akan seperti apa hari ini. Sebagai hari yang panjang untuk dilalui, atau sangat singkat untuk dialami..

Bagaimana dengan cinta? Suatu kata basi yang sangat menggelitik atensi. Hatilah yang mengendalikan cinta, seharusnya. Kenyataannya, cinta yang mengendalikan hati, bahkan pikiran, bahkan kenyataan bahwa hatinya sudah diperbudak, tanpa dibeli.

Saya pun bingung dengan apa yang sedang saya tulis. Karena saya bingung dengan apa yang sedang dirasakan, olehnya dan oleh saya sendiri. Terkadang saya suka menerka apa yang sedang dirasakan oleh hati seseorang. Mereka yang tiba-tiba saja terlintas dipikiran. Bagaimana yang mereka rasakan. Apa getaran itu masih ada saat ciuman yang kesekian. Apa menunggu sang pacar yang telat datang masih terasa lama walau hubungan mereka sudah berjalan lama? Apa memegang tangannya di depan umum masih terasa membanggakan. Bersandar pada kekasihnya masih menghadirkan nyaman? Apa mereka berdua masih bisa menertawakan hal-hal yang tidak dimengerti atau tidak dianggap lucu oleh orang lain yang kebingungan melihat mereka tertawa?

M A H A D A Y A C I N T A.

Lelah, dan sebuah ketidakpedulian, muncul dan merusak keadaan. Fakta bahwa merasa diri sudah tidak diperlaku semanis yang lalu. Fakta bahwa diri sudah tidak diperdulikan dibandingkan yang lalu. Fakta bahwa kekhawatiran bahwa sebentar lagi semua akan berubah. Pernah hadir sebuah mimpi. Melihatnya pergi, dan saya hanya bisa menatap punggungnya, punggung yang sangat saya kenali. Punggungnya, tempat saya menaruhkan seluruh asa. Dalam mimpi itu, kurelakan ia pergi. Kemudian, kaki ini berbalik, meninggalkannya, ikut pergi (dari belakang), mencari arah yang dituju, kemana saja, kemanapun, asalkan menghilang. Kemudian aku melihatnya, mencariku. Ia kebingungan dan mulai berlari kecil, berteriak memanggilku dan terus mencari. Tapi aku sudah tiada. Beberapa saat kemudian, aku pun terbangun oleh peluh yang membasahi diri. Merasa bahwa mimpinya belum tuntas. Menerka sebuah jawaban, sebuah akhir dari mimpi. Akankah ia berhasil menemukanku atau keadaanya sudah terlambat. Sebuah akhir dimana “Kita” sudah menjadi “aku atau kamu”. Mungkin, akan dijawab melalui kenyataan. Akan saya tunggu, akan seperti apa kelanjutan.

Tulisan ini tidak akan pernah terbaca. Waktu yang ia miliki sangat sempit, bahkan untuk membiarkan dirinya bernafas. Kasihan. Tapi ia tidak butuh dikasihani. Maka akan kuikuti petunjuk mimpi. Melihat punggungnya, punggung yang sangat kukenal. Tapi aku tidak akan berbalik. Aku hanya ingin melihatnya, melihatnya melangkah. Kemana ia akan pergi.
Kemudian, kaki ini berbalik, meninggalkannya, ikut pergi (dari belakang), mencari arah yang dituju, kemana saja, kemanapun, asalkan menghilang. Kemudian aku melihatnya, mencariku. Ia kebingungan dan mulai berlari kecil, berteriak memanggilku dan terus mencari. Tapi aku sudah tiada. Beberapa saat kemudian, aku pun terbangun oleh peluh yang membasahi diri. Merasa bahwa mimpinya belum tuntas. Menerka sebuah jawaban, sebuah akhir dari mimpi. Akankah ia berhasil menemukanku atau keadaanya sudah terlambat. Sebuah akhir dimana “Kita” sudah menjadi “aku atau kamu”. Mungkin, akan dijawab melalui kenyataan. Akan saya tunggu, akan seperti apa kelanjutan.