Monday, January 11, 2010

Aldy

#Cuplikan 2

Aku tersadar dan rupanya Eropa hanyalah bumbu-bumbu tidur yang gurih, yang pertama dalam minggu ini, dan kesembilan dalam sebulan. Senin tidak akan pernah bisa bersahabat denganku. Tapi bagaimanapun juga aku tetap lebih menyukainya daripada Selasa, musuh utama dari lima tokoh geng hari kerja! Selasa. Berani bertaruh? Detik akan bergerak lambat sehingga waktu seakan lumpuh di hari itu. Sayangnya, belum ada yang bisa menjelaskan alasannya secara masuk akal. Selama belum, jangan paksa aku untuk memaklumi kelemahan si Selasa.

Ngomong-ngomong soal mimpi, banyak tampang asing yang sering (baca : keseringan) muncul. Mungkin saja alam bawah sadarku meminta mereka untuk mampir menjadi bunga-bunga dan menganggap tidurku sebagai rumahnya sendiri.

”Hmmm, kali ini ganteng juga.. kenapa setiap mimpi yang keluar ganteng semua ya? Aarrrgggghhh, ngapain juga sih mimpi kayak gitu!”. keselku dalam hati.

Aku masih tidak habis pikir bagaimana beberapa sosok tak dikenal yang kebanyakan berwujud tegap, tak acuh, nan rupawan (baca : pria sempurna di bayangan kebanyakan wanita yang masih berpikir bahwa pria sempurna itu ada) dipersilahkan masuk menjadi bagian dari beberapa malam terakhir, bahkan rutin hampir setiap hari layaknya sinetron kejar tayang.

”Syiiiiiiiiiiiittttt!!!” Sudah jam 4.13?!”
19 panggilan tak terjawab di layar ponsel. “Gawat!”
Setiap hari, bagiku, adalah Bulan Ramdhan. Jam kerja menuntutku harus selalu bangun terlalu pagi selayaknya kaum muslim melakukan sahur. Standby di studio dan di jam yang sama setiap hari, mempelajari naskah, menjadi golongan orang pertama yang tahu peristiwa teranyar, gress, dan terpercaya, fokus pandangan ke satu titik, hingga akhirnya terdengar aba-aba dari Sutradara tanda dimulainya acara, “Selamat Pagi, Pemirsa!”

Aku adalah seorang pembaca berita di salah satu stasiun TV swasta terkemuka, membawakan berita pagi yang menemani pemirsa dari kalangan muda hingga tua, yang masih mengenakan rok merah hingga pensiunan yang menghabiskan waktunya sepanjang hari di depan televisi. Suaraku didengar mereka yang bersantap ringan maupun berat, baik dengan roti ataupun nasi, yang sungguh mencitrakan darimana negara asal mereka yang hobi memakannya ketika bersarapan.

Mereka selalu mendadaniku sehabis subuh supaya terlihat tampil maksimal. Penting tidak penting. Tapi aku lebih memilih untuk dinilai pintar ketimbang menarik. Oleh karenanya, inilah pekerjaan yang aku pilih untuk menghidupiku dimana aku harus bisa tahu, mengerti, dan menguasai setiap bahan berita yang layak diangkat dan disebarkan melalui media massa, fokus dan cermat pada satu titik kamera, mengontrol setiap nada yang terucap, dan bersahut tepat dengan pembawa acara yang menjadi partnerku setahun belakangan ini, atau bahkan berimprovisasi dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali fakta lebih dalam ketika mewawancarai tokoh penting yang menjadi sorotan utama. Bahasan “Apa” memang penting untuk dibicarakan, tapi pada akhirnya “Siapa”-lah yang akan menjadi faktor utama yang menentukan apakah “Apa” menjadi pantas untuk diperbincangkan.

Pakaian yang membalutku selalu elegan. Berbagai sponsor berlomba menawarkan bahan dan jaitan yang terbaik untuk dipertontonkan. Pembawaanku sedikit banyak terdongkrak karenanya. “Gue ngantuk banget, gue pulang duluan ya, mau tidur lagi.”

“Oh iya Mas Aldy.. Naskah untuk besok akan saya kirim via email siang nanti ya. Hati-hati, mas!”
Oh ya, aku biasa dipanggil Aldy. Dan saya, Pria.

No comments: