Thursday, January 21, 2010

Colosseum

#Cuplikan 6

“Mau kemana neng?”
“Ke dalam, Pak. Emangnya sekarang udah dilarang ya?”
“Oh silahkan sajah, tapi Bapak saranin jangan sendirian atulah”
“Kenapa, Pak? Saya sudah sering kesini kok, dan aman-aman saja”
“Oh yasudah kalau begitu, asal hati-hati saja. Maklum disini teh sepi kalau sore”
“Iya, Pak, makasi ya. Saya masuk dulu”
“Sok atuh, silahkan”

Colosseum, nama yang saya berikan sebagai tempat pelarian untuk menyendiri. Bukan di Roma dimana para penemu terkemuka dilahirkan. Tetapi, 63km dari Jakarta dan masih butuh perjuangan selama 45menit untuk masuk ke pedesaan penuh liku. Bangunan yang belum sempat terselesaikan ini sungguh menyerupai Colosseum asli versi mini, peninggalan sejarah berupa gedung pertunjukan yang pernah menjadi bagian dari 7 Keajaiban Dunia, yang dibangun 1900 tahun silam.

Saya melihat sekeliling. Masih sama, tetap klasik, unik, dan cukup eksentrik untuk berada di sebuah pedesaan. Rupanya menyerupai stadion dari tumpukan batu yang disemen. Tidak ada sepetak keramik, pasir, atau alas apapun yang membalutinya. Tidak ada atap dan dibiarkan terbuka. Mungkin dananya keburu dikorupsi sehingga pembangunannya tidak tuntas, dirampok aparat yang keparat. Sama halnya dengan Raja Herod yang pada tahun 64 M merampok kuil besar di Jerusalem untuk membangun konstruksinya. Tapi, ini indah. Salah satu keajaiban dipinggiran kota.

Pintu masuknya pun hanya sebuah pagar rusak setinggi dada. Tidak terkunci sehingga tidak harus dipanjat oleh wisatawan aneh yang ingin meluangkan waktu untuk melamun sejenak. Di dekat pagar ada sebuah menara tak terurus, entah apa gunanya. Sedangkan di sebelah kiri, terdapat area balapan motor bagi anak kampung yang hobinya ugal-ugalan. Saya langkahkan kaki ini dengan mengumpulkan keberanian. 20 langkah dan saya sudah melewati lapangan basket dimana ringnya sudah bengkok tak karuan, mungkin masih sering digunakan pemuda sekitar. Disampingnya, terdapat lapangan tenis. Dinding kawat yang melapisinya sudah dipenuhi sarang laba-laba. Tiang lampu yang berdiri renta di setiap sudut lapangan pun sudah kehilangan neonnya, mungkin dicuri. Sungguh aneh memang, entah apa yang ada dipikiran arsitektur lingkungan ini, mungkin tadinya ditujukan untuk kompleks sarana olahraga.

Ilalang ini sudah terlalu panjang. Bagian yang paling tidak menyenangkan adalah durinya. Menyayat penuh kepedihan. Tinggal beberapa lagi dan akhirnya akan segera saya temui anak tangga menuju Colosseum. Sekilas saya merasa mejelma sebagai saint saiya yang bertugas menyelamatkan Athena. Yang harus melewati reruntuhan anak tangga untuk mencapai kuil berikutnya dan melawan satu per satu dewa yang melambangkan 12 zodiac.

"Hey Callista! Akhirnya nyampe juga lo!! Buruan woi!!"

Judith. Si anak bengal yang tampaknya selalu membeli kaos berwarna hijau toska disetiap toko yang disinggahinya. Posisi badan sempoyongan, entah sudah berapa botol minuman keras yang diteguknya selama sejam kebelakang.

Mungkin konsep awal bangunan ini untuk dijadikan stadion bola kecil-kecilan. Tapi bukannya dihuni rumput halus yang seragam berwarna hijau, lahannya malah dipenuhi jutaan ilalang terlihat indah ketika bersatu memenuhi arena. Walau hanya rumput jangkung tidak tururus dengan hijau diseling kuning gading, saya selalu takjub. Terbuai melalui pejaman mata saat menghirup oksigen yang bebas mengalir kian kemari. Matahari sudah mulai turun dan membentuk secerca sinar jingga di ufuk barat.

“Cal, dimana lo? Gue gak suka ya kalo lo masih suka ngumpul bareng anak-anak brengsek itu!” gemetar ponsel di saku celana membuyarkan pandangan kosong ketika menikmati atmosfer senja. Sms dari Gia.

Hanya Judith yang masih berada dalam keadaan setengah sadar. Dia kerap bernyanyi dengan nada ajian menyembah berhala, hanya dia dan setan yang tahu, bahkan Tuhan pun tidak mau tahu. Enam manusia yang dikategorikan sebagai sekumpulan anak berandal telah total mengotori tempat sakral ini. Tergeletak tak karuan setelah menutup tahap pertama pesta narkoba, rehat sambil menunggu tahap kedua.

“Hallo cantik, tumben kali ini undangan gue lo tanggepin. Gue kirain lo udah mati, cuma belum ketemu bangkainya aja.”
”Lepas ga, Dith! Lagian gue kesini bukan karena lo semua.”
”Terus apa? Pasti lo kangen kan sama sentuhan mesra seorang Judih Bagaskara?”
”Lepas ga! Atau!” sambil mencoba menyingkirkan tangan Judith yang berusaha mencopoti kancing baju bagian atas.
”Atau apa? Gak usah sok suci deh! Basi woooy! Gue udah pernah liat badan lo tanpa kain apapun.”
”Udahlah, Dit. Gue lagi ga mau ribut.” Satu batang rokok saya pilih untuk mencairkan suasana.
“Nah, gitu dong. Gue kira lo udah bener-bener tobat. Ada penyedapnya gak tuh rokok? Nih pake yang punya gue aja, biar ga cupu“ disertai kelakarnya yang menganggu.

Kuhisap tanpa henti seperti petugas penunggu pintu rel kereta. Layaknya terserang dehidrasi nikotin. Saya tidak bisa membenci keenam anak bengal itu, tapi juga tidak menyukainya. Bagaimanapun juga, kami pernah terpuruk bersama. Walau lubang hitam yang saya masuki semakin dalam, mereka pernah merasa apa yang saya rasa. Walau semakin terjerembab ke lubang yang salah, mereka selalu ada.

“Bokap lo makin sering muncul aja di tv”
“Hah?”
“Lo gak tau? Muka bapak lo gak berenti-berenti masuk pemberitaan kriminal. Masa lo gak pernah liat?”
”Enggak. Gue ga peduli.”

Ruang hampa udaralah yang kini kami diami. Tiada suara. Hening, tanpa satu katapun yang ingin disampaikan. Begitupun dengan Judith, dia tahu apa yang mesti dilakukannya ketika keceplosan menyebutkan satu kata yang paling tidak ingin kudengar. Ayah.

Ayah yang mengantarkan saya pada kehidupan menyedihkan seperti ini. Secara tidak langsung. Betapa kebencian padanya sungguh tak tertahankan. Cinta Ayah tidak sebesar cinta Ibu. Tapi cinta Ibu terhadap keluarga jauh tak terkira. Ibu tidak memberikan perlawan ketika ayah berubah menjadi monster. Sebenarnya, kami tidak dibuang, kami juga tidak mengucilkannya. Hanya saja Ibu memilih untuk mengasingkan diri dengan membawa anak semata wayangnya untuk dibesarkan dengan penuh kasih sayang, bukan diayomi oleh gelapnya dunia penjahat.

Tidak menyetel televisi adalah cara pintas untuk menutup segala akses tentang pria yang punya andil dalam penciptaan realitas saya di dunia. Sejak kasus kriminal pertamanya meluap sekitar lima tahun lalu ke media massa, saya dan Ibu mengisolasi diri dengan tidak mengkonsumsi berita dari sumber manapun. Kejahatannya mulai tercium, tapi ayah berhasil menyuap semua aparat yang bertanggung jawab menegakkan hukum di Indonesia. Tidak ada bukti kuat untuk dijadikan fakta. Jangankan dipergunjingkan di pengadilan, diwawancara pihak kepolisian pun tidak. Mungkin jeruji besi tidak berhasil memenjarakannya, tapi kami berhasil menjatuhinya hukuman mati untuknya dari kehidupan kami.

Setelahnya, saya bertemu Judith dan yang lain, Lucita, Nando, Gisel, Didan, dan Yonas. Merasa nyaman bersama karena memiliki cerita yang sama, ketidakpuasaan terhadap takdir yang tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Hidup kami boleh dikatakan serumit trigonometri maupun algoritma. Lucita dan Nando berpacaran sejak mereka berseragam biru-putih. Tapi Lucita tidak berkeberatan ketika mengetahui bahwa saya pernah tidur dengan kekasihnya. Lucita menganggap itu adalah hal yang wajar karena alibi berada di bawah pengaruh candu yang mematikan. Hubungan mereka pun tetap aman dan tentram. Nando berasal dari keluarga yang cukup besar, salah satunya Gisel yang bekerja sebagai editor majalah gaya hidup masyarakat Jakarta. Mau tidak mau Gisel akan sering meliput acara fashion show yang sering memakai Didan ketika melenggang indah menampilkan busana terbaru dari desainer kenamaan. Didan, seorang model yang namanya sempat melambung dan menjadi sorotan utama wartawan gosip ketika dia dipergoki berciuman dengan Yonas di belakang panggung sebelum pentas berlangsung. Didan dan Yonas memang berpasangan pada kenyataannya, hanya saja Belem berani dipublikasikan demi menjaga ketenaran. Apes memang, padahal saat itu Yonas juga tidak niat datang karena dia merasa sudah cukup sering untuk menjadi suporter setia yang menonton, memperhatikan detail tiap gerak Didan, untuk kemudian memberikan komentar tentang kekurangan pasangannya selama pagelaran berjalan. Hanya saja, Yonas dipaksa Judith yang membutuhkan free pass untuk masuk ke acara malam itu. Fotographer adalah profesi dipilih Judith. Dia harus mengambil angle terbaik apabila ingin menjual hasil jepretannya dan menghasilkan uang untuk dibelikan narkoba yang dia butuhkan. Sama halnya seperti saya yang rela untuk melucuti semua pakaian yang melekat dan berpose telanjang sebagai model Judith, demi sebuah serbuk putih yang diharamkan karena efek candu yang mematikan.

”Dith, gue juga bukan nabi. Tapi yang gue tau, nabi juga pernah buat salah.”
”Yah lo ceramah. Sssssttt, sebentar jangan ngomong dulu. Gue mau nyari sumber suara adzan. Pengen tau letak mesjid terdekat di kampung ini biar lo bisa puas ceramah di sana!”
“Please, dengerin gue Dith kali ini. Ini karena gue peduli sama lo dan yang lain.”
“Udah telat, Cal.”
“Lo bahkan belum nyoba buat stop hura-hura atau tergantung sama madat kayak gini. Mau sampai kapan? Sampai akhirnya gue denger kalau lo udah mati gara-gara overdosis.”
“Mungkin ini fase hidup yang harus gue lewatin, Cal. Lo gausah ikut campur.”
“Gue tau ini fase hidup yang harus lo lewatin. Tapi setiap masa yang kita masuki juga pasti akan lebih berat dari yang sebelumnya. Kalau di fase yang ini aja lo masih butuh bantuan obat-obat itu, lo ga akan bisa survive untuk seterusnya.”

Lingkaran setan yang dihuni anak setan. Termasuk saya, anak seorang setan. Ayah yang harus bertanggung jawab hingga saya memiliki masa tersuram dalam hidup. Masa peralihan dimana saya begitu kaget bahwa hidup tidak seindah dongeng yang sering Ibu ceritakan dahulu. Saya lupa bagian bahwa Cinderella maupun puteri dalam dunia perdongengan lainnya juga melewati kesengsaraan. Dan Ibulah yang menjadi peri. Ibu yang memiliki tongkat kecil untuk menyulap beban dan cobaan menjadi sesuatu yang bisa dihadapi dengan senyuman. Mungkin karena Ibu pula, saya tidak bisa sepenuhnya membenci ayah. Karena ayahlah, aku lahir ke dunia lewat rahim Ibu, dan dibesarkan oleh kedua tangan yang penuh cinta.

”Mau kemana, Cal?”
”Balik ya, sepupu gue ngajak ketemuan sejam lagi. Udah telat ni gue. Lo baek-baek, Dith.”

Saya membalikkan badan sambil mengangkat sebelah tangan sebagai tanda salam perpisahan, hingga akhirnya, “Cal, kemaren gue ngeliat bokap lo!”

Langkah ini terhenti dan langsung saja kedua earphone Ipod dipasangkan untuk menutupi kedua gendang telinga pertanda bahwa saya tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Volumenya pun dipertinggi. “Sama nyokap lo, Cal! “

Masa lalu sebagai sebuah Jeruk. Buah yang harus dikupas dan baru dapat diketahui apakah rasanya manis atau asam setelah saya menelannya. Biji-biji yang terdapat didalamnya bukanlah kotoran yang harus dibuang sembarang. Apabila ditanam di tanah gembur, maka pohonnya bisa tumbuh subur tanpa harus dirawat. Tumbuh dari tangisan hujan yang mengguyur.

Colosseum menyajikan pertunjukan spektakuler dimana terjadi pertarungan venetaiones (binatang), antara tahanan dan binatang, noxii (eksekusi tahanan), naumachiae (pertarungan air) dengan cara membanjiri arena, dan pertarungan antara munera (gladiator). Bentuknya yang elips atau bulat dimaksudkan untuk mencegah para pemain yang ingin kabur ke arah sudut. Struktur yang hebat dengan tempat duduk yang bertingkat. Masa sulit yang sudah saya lewati dan tidak ingin saya masuki kembali. Menganggap hidup sebagai permainan macam ini harus segera dihentikan, sudah terlalu banyak memakan korban jiwa.

No comments: