Thursday, December 30, 2010

Dear ui,

Dear ui,



Pas aku ngerapihin barang-barang ke koper kamu lima hari lalu, tiba-tiba kamu berhenti terus ngomong, “Buka lemariku deh, kamu pilih baju mana yang kamu suka. Koperku ga akan muat kalau bajuku dibawa semua”. Saat itu juga, aku benar-benar yakin bahwa kamu emang akan pergi, jauh, ningalin Indonesia, teman, keluarga, dan aku, orang yang kamu kenal sejak Juni 2007.



“Kamu mau yang ini?”, “Mau”. Aku ambil sweater oranye dari tangan kamu. Gak ada yang yang spesial dari baju hangat polos itu. Tapi aku inget banget, baju itu kamu pakai pas pertama kita kenalan, saat statusku masih anak magang di Astra International. Di situ pertama kali kita ketemu hingga akhirnya jadi teman dekat.



Nama bekennya Rully Anggia. Biasa dipanggil Ui.

Nama panjangnya Irene Rully Ayu Anggia, mungkin banyak yang tidak tahu.

Dan pertanggal 3 Juli 2010, namanya sah bertambah menjadi Rully Anggia Sianipar.



“Seandainya Colombus punya peta sehingga tidak nyasar dan menemukan benua Amerika, mungkin kamu gak harus terpisah sejauh ini.” Mungkin orang hanya mengiyakan pepatah, “Belajarlah hingga ke negeri Cina”. Dan Alin Sianipar tidak pernah sampai di Orange Country, Los Angeles.



Tiga itu masih buncit. Tiga tahun itu masih sebentar kok. Tapi aku gak ngebahas ukuran dari segi kuantitas, tapi dari kualitas, frekuensi, dan durasi. Mungkin dikarenakan jarak rumah kita yang hanya 10 menit. Intensitasnya jadi sangat tinggi. Kamu itu terlalu kocak dan bertingkah seperti bocah untuk berumur 29 tahun, padahal umurku masih 23 tahun. Tapi aku senang sekali, luar biasa senang, bermain dengan bocah seperti kamu.



Lama-kelamaan, orang-orang yang berada di sekitar aku juga pada tua-tua umurnya haha. Cara berpikirku semakin tua dan kelakuan kamu semakin muda. Damn damn damn. Tapiiii, makin lama temanku makin banyak. Hal ini juga jadi alasan kenapa aku betah sebetah-betahnya main sama kamu. Kamu yang kenalin aku pada banyak hal baru; temen baru, jalan-jalan tikus baru, cerita baru, pengalaman baru. Aku makasi banyak ya..



Libra. Kamu total plin plan. Tapi ramah amaaaat, makanya banyak temen, banyak yang sayang, banyak yang care. Perhatian. Terus nih, hal yang paling aku kagumi dari kamu. Gimana kamu nyayangi keluarga kamu. Gimana kamu sangat bertanggung jawab dengan papa mama dan de ruud. Gimana kamu selalu ngutamain keluarga kamu. Kamu bener-bener orang yang sangat tidak pelit dengan keluarga. Harusnya aku bilang ke banyak orang, “Belajar tuh dari Ui”. Keluarga kamu pasti bakalan kangen kamu ya.



Dilbert. Otakmu juga kurang dari satu ons, aku sampe cape nanggepinnya. Apalagi kalau kamu minta main tebak-tebakan pelajaran, dari 10 cuma 1 pertanyaan yang bener. Tapi kalau urusan debat, kamu pasti juara. Seumur-umur belum pernah aku menang debat dari kamu. Semua disanggah alasan tepat dan ngotot. Biasanya kalau rese kamu kumat, lebih baik aku diem. Toh kamu gak akan bisa marah lama-lama. Badan kamu mungil, tapi urusan berantem, nyali nomor satu. Dari pengendara motor kampungan, preman pinggir jalan, sampai kenek metromini juga dilawan. Aku selalu inget gimana kamu berantem dijalan kayu putih pas ujan-ujan sama tukang ojek, kamu teriakin orang buat mindahin motornya karena ngalingin jalan, kamu yang ngotot gak mau dibayar kembalian pake permen sama mbak2 alfamart, “Kalau mbak balikin pakai permen, saya juga bakal bayar pakai permen ya!”.. Kalau udah mulai darah tinggi gini, aku biasanya mundur selangkah, mundur, mundur, pura-pura jadi patung.



Aku nangis banget tadi pas sampe rumah. Sedih tau ke depannya ga akan ada kamu, padahal biasanya mau sarapan aja bareng. Ini bukan patah hati macam orang yang diputusin pacar gitu lho. Rasa gak enaknya nih semacam kayak aku punya tangan kanan, terus tangannya putus, dan itu nyebabin jalannya oleng karena kehilangan keseimbangan. Itu yang aku rasa.



Hidup kamu masuk ke dalam 55kg koper yang dibawa. Dan aku pun tau apa aja isinya. Hidup kamu yang baru, yang dimulai dari nol lagi. Ada euforia baru. Selamat ya buat kenaikan kelasnya. Pelajaran baru, temen-temen baru, bangku baru. Selanjutnya aku harap, keinginan kamu punya anak juga cepat terwujud ya. Jangan lupa pake nama dariku, “RuSia”. Tapi camkan, hehe, aku tetep ga tertarik dengan lobi2 kamu untuk jadi besanan. Hahaha, kasian anakku punya mertua kayak kamu.



Usahain liat sesuatu dari positifnya aja. Kamu gampang kepikiran, stress, asam lambung naik, sakit lagi. Kolesterol dan asam uratnya juga diturunin (kamu inget kan apa yang boleh dan gak boleh dimakan?). Tapi kalau sakit dikit jg jangan parnoan ya, kamu mah hobi konsumsi obat macem2, ga baik kan buat badan. Terus, kamu juga jangan minderan ya, aku gak pernah boong kok kalau muji kamu cantik, dan aku rasa orang-orang juga gitu. Kamu ga gendud, kamu udah kurusan kok. Makannya juga jangan sok ditahan-tahan ya, kamu si anak harus sarapan. Biasanya kalau telat makan, kamu suka pusing gak jelas gitu. Jaga kesehatan ya, kamu gampang sakit.



Mbak ui, mbak ui jeleeeekkk!! Ini aku nangis mulu ngetiknya. Tapi aku ga khawatir kok, kamu kan anak pintar, anak hebat, anak tangguh, anak berani, pasti bisa yaaa. Kalau kamu bilang ke aku “Selama ini kamu ga bisa apa-apa tanpa kamu”, itu gak bener. Semua apa yang kamu jalanin itu karena usaha kamu, justru aku yang banyak belajar dari kamu. Kan ada Alin, aku percaya banget dia bisa jagain kamu. Jangan berantem-berantem ya. Alin beruntung banget bisa dapet kamu. Tolong dijaga aset Solo, Kanjeng Ratu kelakuan Nyonya besar!.



Selingan : barusan kamu BBM aku cuma kasih tau “aku lg pup”. Pasti aku bakalan kangen bangeeeet. Bahkan di kantor pun, kalau kamu lagi buang air besar, kamu suka gak jelas bbm aku laporan lagi pup. Joroooook!! Ga sopan weeeek! Jelek!



"Amu, mamat, enyaaaak, masa tih, pipiiiii, enapaaa, jam rapaaa, bentaaan, enapaaaaa, tini dooon, beneeen," gonna miss those words. Selamat ya sayaaaang, selamat menempuh hidup baru yang sesungguhnya. 8971,54 miles atau 14437,91 km itu banyak mamat tiiih angkanya. Ga jauh kooookkk (jauh tiiiiiih, huaaaa T_T, ini gimana niiii, huhuhuhu). Seneng-seneng disana, jangan lupa buat sebut nama masing2 pas doa ya.



Selama ini kita selalu pasang badan satu sama lain. Jadi mata, tangan, bahkan bahu satu sama lain. Oya, banyak banget ya nanya "ntr lo gimana pas ui ga ada? Nangis dong lo?", yaelah.. Menurut loooo??!!



Diawal memutuskan keluar dari comfort zone emang ga ada enak-enaknya, tapi aku harap hal ini akan membawa kita ke kelas yang lebih tinggi dan menjadi juara di kelas masing-masing. Amin.. Kalau kita bareng-bareng mulu, mungkin kita ga akan bisa liat objek lain.



Makasi ya buat semua cerita yang udah pernah ditulis bareng. Makasi ya buat pertemanan yang sangat menyenangkan. Makasi ya buat perasaan kesel, air mata, teriakan yang ngebuat aku dan kamu saling ngehargain perasaan masing-masing. Makasi untuk contoh keberanian dan kesabaran yang kamu lakuin. Makasi udah anggep aku seberharga ini, padahal 3 tahun lalu aku cuma anak abg cupu. Makasi udah jd spoke person terbaik yang selalu lebay membangga-banggakan aku ke orang lain. Makasi udah dikenalin ke keluarga dan temen-temen kamu. Makasi untuk selalu support dan terima baik jeleknya aku, ga ada yang lebih menyenangkan dari ini semua. Sekarang kamu lagi kejar kebahagiaan kamu, aku pun insya allah :)



Aku sedih, sedih banget. Cepet balik ya.. Aku tungguin, pasti.



Love,

Pipi

Efek kekenyangan, jadi ngaco. Batal Nulis!

Sesuatu yang baik akan datang bagi mereka yang menunggu.

Kalimat itu yang pernah beberapa kali saya baca secara tidak sengaja.
Padahal tidak ada yang menyenangkan dari aktivitas menunggu. Tidak
ada. Terlebih jika ditambahkan status tidak pasti.


Di dalam doa saya, saya selalu meminta supaya saya dijadikan manusia yang selalu bersyukur sekaligus bersabar akan setiap nikmat dan keindahan yang telah, sedang, ataupun akan saya dapat.

Melihat ke atas akan membuat saya selalu berharap dan rendah diri. Melihat ke bawah akan membuat saya mawas diri supaya tidak terpuruk. Melihat ke samping akan membuat saya diam dan berpikir "apa lagi". Tapi saya sadar bahwa saya manusia yang selalu ingin mendapat lebih dan lebih. Lagian, dari lubuk hati yang paling dalam, sebagai manusia dan yang paling penting sebagai
perempuan, saya tetap teguh pada prinsip "tumbuh tuh ke atas, bukan ke samping." ("-"!)

Monday, July 19, 2010

tolong, stop bertingkah

Dear adisty,
Kursor laptop ga mau gerak, dan aku kepengen banget komentar tentang isu yang satu ini.

"Tolong jangan berlaku seenaknya."
Walau saya sering hilaf melakukannya, bahkan kamu pun pernah menjadi salah seorang korban. (Gapapa kalau mau suntrungin anak brengsek ini, dari abg aja udah berulah :p).

Suatu saat saya menyesal karena telah berlaku sangat buruk, menyia-nyiakan tahun yang terlewati tanpa orang yang sebenarnya bisa menghargai saya. Saya "kepinggirkan" mereka dengan atau tidak sengaja. Tanpa latar belakang yang jelas, namun sayangnya, saya dalam keadaan sadar.

Tanpa alasan, alasan seenaknya!

Kesalahan itu ditebus dengan menjalankan hal baik dan semakin baik pada teman, lingkungan, atau sesuatu yang baru. Entah karena euforia atas ke-baru-an atau antisipasi pengulangan kesalahan lama, atau bentuk konkret pengalih penyesalan?

"Tolong lihat saya sebagaimana saya melihat kamu".

Saya terus berharap bahwa saya akan menuai apa yang saya tanam. Bukan, bukan karena pamrih. Tapi mungkin lebih karena kepalang bertaruh. Bertaruh memilih lingkungan yang baru daripada lingkungannya kamu. Wajar apabila saya memiliki ekspektasi yang menyenangkan.

Saya membiarkan saya terus bertanya "Kenapa sih lo seenaknya aja?" disaat ada orang lain yang mungkin berkata "Gila lo parah bgt deh, seenaknya aja!" kepada saya. Atau saya setengah mati pengen diakui dan dihargai eksistensinya oleh seseorang disaat seorang lain yang terlupakan itu tidak pernah capai mendukung apa yang saya ceritakan.

"Saya mengeluh betapa saya tidak suka diperlakukan tidak baik kepada orang yang mungkin merasa saya perlakukan tidak baik."

Tolong stop berbicara dan dengarkan saya tanpa harus memotong. Dunia ini isinya bukan tentang kamu.

Tolong stop mengalihkan dan mulai memperhatikan ketika saya berbagi cerita. Masalah saya tidak seringan angin untuk diabaikan.

Tolong stop menganggap remeh apa yang saya suka dengan berargumen bahwa "yah, selera kan beda-beda". Kamu bukan nabi untuk memutuskan mana yang baik atau buruk. Atau kamu gak sekeren itu untuk mengatakan lo cupu dan lo maksimal banget.

Tolong stop berkata keras dan memaki. Tanpa harus dikatakan alasannya, tolong hargai diri kamu sendiri.

Tolong stop betindak tidak mengindahkan/peduli dengan hal-hal yang penting bagi saya walau terlihat sangat rumit. Karena disaat inilah saya butuh kamu untuk berbicara, inilah waktumu.

Tolong stop datang dan berkunjung sekehendaknya, karena saya bernyawa, bukan benda. Saya pun penghuni, bukan rumah untuk ditinggali lalu pergi kemudian kembali lantas pergi lagi.

Tolong stop merasa tahu yang terbaik buat saya. Kamu bukan Firaun, dan saya bukan penyembah berhala.



Dear Disty,
Salah semakin menjadi hal yang lumrah. Semakin tua, kita jarang menggunakan tip-X saat menulis dengan pulpen. Kesalahan itu kita coret dan selanjutnya diabaikan.

Kenyamanan menulis itu penting, tanpa takut salah atau dianggap salah. Kenyamanan menulis cerita dalam kehidupan, pekerjaan, pertemanan, keseharian, atau bahkan percintaan.

Kenyamanan tanpa meminta "tolong", melarang "tolong jangan", perintah "stop", mendikte, mengacuhkan. Kenyamanan saat kita bersama seseorang dalam keadaan diam. Kenyamanan saat kita jalan ditempat asing tanpa rasa takut. Kenyamanan saat ada manusia lain yang melihat saya seadanya. Karena kita nyaman, kita berteman!


"Tolong stop memusuhi saya, karena satu-satunya yang diingat adalah perkenalan kita."

Monday, July 12, 2010

"pertanyaan", hanya saja saya tidak yakin.

dear adisty,

Saya kurang bisa berpikir jernih karena ada kevakuman yang menjadikan saya jatuh melankolis namun tetap terlihat apa-adanya. Tidak memaksakan, tapi ini jelas ambigu. Kaya akan tawa namun miskin akan kenyamanan.

Timbul kerancuan.

Pertanyaan-pertanyaan dan harapan itu akan selalu ada, namun tidak ada satu hal pun yg membuat saya tidak bersyukur atas apa yg telah saya dapat. Jika belum lengkap, saya tahu bahwa segalanya pantas untuk ditunggu.

Lantas saya tidak berpendapat, atau bahkan bergerak. Saya kira diam itu emas. Ternyata kediaman hanya menambah jarak atau memperjauh apa, siapa, dan dimana saya ingin berada. Semoga saja tidak terlambat, menyesal, hingga akan berakhir dan meninggalkan satu kalimat tanya yang diawali dengan kata mengapa.

Ketidaktahuan dalam memulai.

Egois, saya hanya mengikuti kata hati, dan secara lantang menyatakan saya tidak butuh kompas untuk tahu dan peduli pada apa yang saya butuhkan. Yang saya inginkan adalah yang terbaik. Oh, betapa sombongnya saya. Keras kepala dan tidak ingin memahami, "apa yang kamu mau?". Saya lupa saya bukan nabi.

Kosong, kosong, dan kosong.
Pelik.

Diantara diam dan memulai.
Diantara menunggu dan maju.
Diantara keinginan dan kebutuhan.

Karena kita hidup, dan selamanya akan terus memilih.

march 2008.

Our story is awfully amazing,
We have each other from our first hello,
We’ve been happy, sad, laugh and yell each other,, 99% we solved it well.

With only 7 months period, feels like we’ve known each other for so many years.

I know Sometimes, I have many different moods, hurt your feeling, make you cry, and be as fragile as I can be… but, with all my weaknesses above,
you can make everything looks worth fighting!
you can make me share my feeling and thoughts with you, laugh and cry with you..

And the most importantly
You can guide me through all the obstacles.

Thank you…
Thank you for being such an amazing person for me, a good example, and a great motivator.

Thank you…
Thank you for the hours of bus trip you took to go see me, the thousands of pages of books you hate that you read all night, so that you could finish all your work and come to see me every weekend.

Thank you Love,

If eventually, separated will be the best solution (solution of being realistic of course), but you will always have my mind and my heart.

This is a promise I make, for loving me this much,, for teaching me this much, and for caring me this much.

What we have is a never ending Love story.

Monday, June 7, 2010

kamu

Ketika pada akhirnya saya melihat saya melalui bola hitam dalam kedua mata itu, saya telah menerima mukjizat hebat berupa perasaan terindah.

Jika pun saya seorang orator dunia yang bisa mengatakan "Lihat dia, lihat bagaimana saya melihatnya!!", saya akan lebih memilih untuk menyuarakan lantunan doa kepada Tuhan yang Maha Kuasa yang menciptakan perasaan Maha Romantis ini.

Apabila saya diminta untuk menceritakan seperti apa kamu dan karakternya dalam satu kata yang mengagumkan, saya pun kesal dan putus asa. Saya tidak bisa, tidak mampu. Saya depresi untuk dibungkam. Karena pada kenyataannya, saya mampu menjabarkan kamu dalam rentetan kata yang tak terhingga, dengan raut wajah antusias luar biasa.

Saya tidak peduli berapa jumlah penduduk dunia yang berhasil disensus. Perhitungan menjadi tidak masuk akal karena ketika berdua, maka kita akan menjadi satu. Rumus paling sederhana adalah aku dijumlah dengan kamu sama dengan kita.

Saya tidak peduli berapa luasnya dunia, seberapa jauh kita terpisah oleh daratan dan lautan, karena saya yakin bahwa kita tetap melihat langit yang sama.

Saya ikhlas menerima kamu. Saya ikhlas menunggu selama ini dan entah sampai kapan, hingga saatnya keikhlasan ini menghadirkan kamu.

Sunday, April 11, 2010

the game

Setiap orang pernah gagal. Tapi bagaimanapun juga, saya yang punya kendali penuh untuk tetap gagal atau berbalik melesat menuju keberhasilan. Hidup adalah permainan, sebuah kompetisi.

Ibaratnya sebuah permainan bola basket.

"5 posisi dalam satu tim, mainkan semuanya dengan satu pemain, saya si multitalenta. Multitalenta dalam fungsi sebagai playmaker, foward, shooter, maupun center. Kelincahan dalam memandu permainan, pemberi umpan, penembak, dan si pe-rebound..

Saya mengendalikan bola. Jangan teriak stop supaya saya berhenti berlari kesana-kemari mengatur irama permainan. Jangan teriak minta dioper, karena dari posisi ini, sudut pandang saya lebih luas untuk mencari celah kepada siapa harus mengoper walaupun dijaga ketat secara men to men. Passing! Saya seorang playmaker.

Catch the ball! Hooop. Saya yang tadinya berada di depan, kini secepat kilat berganti peran yang berada di sisi kanan atau kiri, sebagai seorang foward. Menerobos defense dari benteng pertahanan yang harus dihadapi.. Berpikir cepat untuk menjalankan taktik selanjutnya. Melirik ke kanan dan ke kiri. Ayo putuskan! Apakah saya harus mengoper kesempatan ini, mencoba men-drive ke arah lebih dekat, atau tetap bermain di luar zona 3points (zona yang masih cukup jauh dari ring) secara hati-hati?.

Hey, rupanya sekarang saya sudah menjadi shooter dan cutting ke arah dalam. Oper sekaligus tangkap! Tanpa berpikir panjang, sense menembak saya pun muncul. Panggilan jiwa tentang saat yang tepat untuk menembak. Jump and two point shoooooot!

Aaarrrrghh.. Saya gagal sebagai shooter. Bolanya masih mental, muntah di daerah bibir ring.. Gagal? Kesempatan itu kandas.

Hey tenang!! Saya juga berperan sebagai center, dan tugasnya adalah me-rebound. Lompat setinggi mungkin untuk menangkap kesempatan (bola) yang jatuh tadi dan kemudian mencoba menembak kembali. Ah, ternyata lompatan saya kurang tinggi dan rebound saya pun gagal.. Saya kalah.

Sekarang, bola itu lepas dari tangan. Semua usaha dari masing-masing posisi tidak membuahkan hasil. Saya capai dengan kegagalan. Dan saat bola itu tidak di pihak saya, saya merasa stres. Kemana wasit? Saya kecewa!!

Belum selesai. Belum saatnya berkecil hati, waktu saya masih cukup. Berhunbung saya menjelma sebagai seluruh posisi, saya tahu satu hal tentang apa yang harus segera saya lakukan : STEAL THE BALL, tanpa melakukan fault!

Gagal sekali, dua kali, tiga kali tidak akan membuat saya menyerah sebelum waktu pertandingan usai. Yang saya butuhkan hanyalah time out. Menenangkan pikiran, melepas letih, merencanakan kembali strategi yang tepat.

Baiklah, permainan saya mulai kembali!"

Gagal rebound itu ga enak, gagal rebound itu wajar, tapi yang berikutnya pasti berhasil! Teriakan pendukung dalam stadion ini, teriakan ini.. :)

bioskop termegah

Coba perhatikan dalam dunia yang berputar di sekitarmu. Seberapa kenalnya kamu dengan mereka? Hey! Mereka bisa jadi seorang saudara, kerabat, pacar, teman. Beberapa diantaranya menjadi luar biasa menarik sehingga kita penasaran dan terus menempatkan mereka untuk tetap ada di sekitar sini. Tidak peduli jelek baiknya. Ini bukan hanya tentang saya/anda, tapi tentang mengapa saya/anda tetap memperhatikan siapa saja yang ingin saya/anda perhatikan. Kerumitan hidupnya adalah jalan cerita yang ingin diketahui. Karena itulah saya dan mereka berbagi peran. Dimana dia yang satu bercerita dan yang lain menjadi seorang penonton, atau sebaliknya. Mengapa kalian begitu menarik di mata saya? Wahai teman-temanku, sesungguhnya hidup kalian penuh intrik dan drama!

"Kamu adalah bioskop termegah.
Dalam sebuah iklan, kau menawarkan beberapa judul yang menjual cerita tentang hidupmu. Di sana menampilkan sinopsi singkat yang membuat saya penasaran mengapa kamu begitu layak untuk ditonton. Dengan memperlihatkan suatu gambar untuk menjual sosok, sebuah 'cover' yang indah.

Aku datang. Ruang tamu kehidupanmu cukup nyaman, seperti ruang tunggu untuk menimbang dan memilih tayangan apa yang ingin aku saksikan. Ruang itu adalah loket. Tak peduli berapa biaya yang harus kukeluarkan. Sungguh aku ingin membayar setiap sen untuk melihat kisah dalam jadwal tayang sore-mu.

Baiklah, film apa yang kau putar? Dan mana yang paling menarik? Horor, untuk kehidupan yang membuatmu ketakutan. Mengapa harus bayar jika ingin melihatmu takut? Sungguh aku tidak ingin. Action, untuk kehidupan yang membuat letih jatuh dan berlari. Mengapa harus bayar jika ingin melihatmu mengeluarkan peluh? Sungguh aku kurang tertarik. Komedi, untuk kehidupan yang membuatmu patut ditertawakan. Mengapa harus bayar jika ingin melihatmu begitu terlihat konyol? Sungguh aku ingin mencari bagian yang lain. Drama, untuk kehidupan yang membuatmu hidup. Mengapa aku harus berpikir ulang untuk segera membayar? Sungguh aku ingin, tertarik, dan 1 tiket untuk menyaksikan bagian ini. Ke-drama-an mu.

Selama dua jam ke depan aku akan memaksimalkan seluruh inderaku. Mata untuk keanggunanmu, telinga untuk kemerduanmu, kulit untuk bulu kuduk yang merinding terpana olehmu, lidah untuk tertegun, dan hidung untuk memastikan aku masih bernafas, masih hidup, semakin hidup saat menikmati cerita hidupmu.

1 tiket untuk 1 kursi kecil dalam posisi tegak. Sedangkan kau!!!! Kau begitu besar dalam layar beratus-ratus inchi! Kau paksa aku supaya fokus. Jika aku bosan, kamu sediakan kudapan yang bisa aku beli di dapur yang terletak dekat ruang tamu. Dapur yang menjual pop corn, nachos, sandwich, soda, ataupun cokelat hangat. Sebuah antisipasi yang terencana.

Sial!! bahkan kau belum memulai ceritamu, tapi kau sudah sajikan cuplikan-cuplikan menarik dalam trailer yang menggelitik rasa ingin tahu yang diwakili oleh kalimat, "next time, film ini harus gue tonton deh!".

Drama. Drama. Drama. 2 jam penuh drama. Drama. Drama. Drama. Aku melihat sekelilingku. Ada yang menangis. Ada yang yang tertidur. Ada yang tak berhenti mengunyah pop corn. Ada yang mengutak-atik handphone. Ada yang berciuman. Ada yang mengejekmu. Ada yang tetap fokus. Dan aku yang mencoba untuk mengerti jalan cerita, mencoba menikmati, kadang tertawa, sering terpana, sesekali-kali menggelengkan kepala. Tapi kau tidak peduli didalam layar lebar mu, kau tetap : Drama. Drama. Drama.

Selesai, dan lampu exit menyala. Penonton tidak diperkenankan berkomentar. Keluar dari pintu yang sama namun dengan pemikiran dan tanggapan berbeda. Tidak ada kotak kritik dan saran. Kita hanya bayar untuk menonton film, bukan untuk berkomentar, Bung!

Lampu dinyalakan kembali. Kehidupan penuh drama, dalam bioskop termegah."

Ps : bagaimanapun jg, aku tetap menanti aksi tegang kalian, jeritan horor kalian, dan jatuh cinta pada kelucuan kalian. Kalian yang sangat : Drama.

Wednesday, April 7, 2010

ugly truth & beautiful lie

"Bu, saya tidak suka dengan teman baru di sekolah"
"Kenapa, Nak?"
"Anaknya rese!"
"Resenya itu bagaimana?"
"Ya gitu!"
"Gitunya itu gimana, Sayang?"
"Dia rebut temen-temenku. Sekarang mereka lebih suka sama dia!!"

"Gimana responsnya Sera?"
"Dia suka kok!"
"Suka? Kok? Udah?"
"Iya, katanya Gani itu nice dan lucu"
"Nice? Lucu? Terus"
"Pokoknya strategi kita berhasil kayaknya, mudah-mudahan bisa lanjut ya!!"
"Iya deh :)"
"Tapi, Sera bilang kalo lo ganteng."
"Hah?"
"Cieee..."

"Aku kecewa banget ya sama kamu!"
"Maaf.."
"Kenapa sih kamu harus bohong mulu? Kenapa sih ga kasih tau yang sebenarnya aja?"
"Maaf, tapi aku ga maksud bohong"
"Munafik!"
"Aku cuma takut sama kamu."

"Lo berhak buat nentuin kebahagiaan lo!"
"Iya, tau.."
"Terus kenapa masih pengen nyusahin diri demi orang lain?"
"Karena gue lebih bahagia kalau dia lebih bahagia"
"Sakit jiwa!"
"Percuma, lo ga akan ngerti"

"Udah deh, ngaku aja sama aku"
"Apa yang mesti diakuin?"
"Kamu suka kan sama dia?"
"Suka sebagai teman, gak lebih"
"Kenapa sih gak jujur aja sama aku? Aku ngerasa ga dianggep sahabat sama kamu, krn km ga jujur, dan temen itu ga pernah bohong!"
"Buat apa aku bohong tentang hal yang jawabannya emang enggak??"

"Apa sih yang salah dari dia?"
"Dia cuma jelek. Itu aja."

"Kita ke Bandung, yuk?"
"Nanti ya dikabarin pastinya."
"Basi lo, gue tau lo kaya gimana. Bilang aja enggak dari awal!"

"Jadi beliin buat aku gak?"
"Enggak"
"Gimana sih? Aku kan mau!"
"Lho, kan kemaren pas aku tawarin, kamu bilang gausah!"
"Inisiatif kek!"

"Kenapa ya dia ga angkat telf gue?"
"Males kali"
"Atau mungkin sibuk?"
"Mungkin"
"Tapi kok dia jadi ga pernah ada kabarnya lagi ya?"
"Menurut lo?"
"Apa jangan-jangan dia sakit?"
"Udah deh, dia cuma ga tertarik sama lo!"

"Gue benci kerjaan gue"
"Kenapa?"
"Karena gue ga suka bos gue"

"Lain kali gausah bohong!"
"Lain kali gausa marah kalau aku jujur"

"Maaf ya aku ga bs pacaran sama kamu"
"Kenapa?"
"Karena kita sahabatan"
"Terus?"
"Kita lebih cocok jd temen."
"Kata siapa?"

"Aku sll dptin apa yg aku mau"
"Aku juga"
"Jadi aku kecewa bgt krn gagal dlm tes ini"
"Aku lolos"

"Lo gausa repot2 jd mencoba memahami gue"
"Tapi itu cara gue berteman"
"Yauda kalau gitu kita stop temenan"

"Selamat ulang tahun"
"Iya makasi"
"Kamu dimana?"
"Dirumah, aku ngantuk bgt. Jd pgn tdr aja"
Klik. "Tante, titip kado aja kalau gitu"

"Happy birthday to me"
"Haha aneh km, km yg ulang tahun kok kamu yang bawa kue kesini?"
"Karena aku pgn diucapin selamat yang langsung dari kamu."

"Please jangan tag fotonya ya"
"Karena pacarku ga suka aku temenan sama kamu"

"Kenapa sih km cuma bisa marahnya ke aku doang"
"Karena aku sayang sama km"
"Kamu ga sayang papa mama kamu?"

"Kamu tuh kenapa? Rumit bgt tau gak!"
"Terus yang simple tuh kayak gimana?"
"Gausa terlalu ikut campur dlm menilai mana yg baik atau yg buruk"
"Oh aku kira itu gunanya teman"

"Pola pikir kita tuh beda bgt ya"
"Iya"
"Jadi kita lebih milih diem buat ngehindarin konflik?"

"Aku bingung gimana caranya ngerjain ini"
"Aku sebel bgt sama temenku"
"Iya, dr td ga nemu-nemu caranya"
"Tapi emang uda males sih temenan sama dia"
"Oke.. Oke.. Lagi-lagi balik ke kamu ya topik pembicaraannya"

"Suka ga oleh-olehnya"
"Suka lha"
"Beneran?"
"Iya namanya juga oleh-oleh sih"

"Aku gendud"
"Kamu cantik kok"
"Aaa kamu boong!"
"Kan aku bilangnya kamu cantik"

"Kamu sayang sama aku?"
"Sayang"
"Kenapa?"
"Karena kamu sayang sama aku"

terkadang, seringnya, baik itu kurang cukup.

Empat huruf bermakna biasa. Efeknya juga segitu dramatis. Sebatas baik, saja.

Memang tidak berarti kurang. Tapi jelas tidak cukup (untuk manusia haus aktualisasi). Baik mungkin sekasta dengan "ok" dan ga ada orang yang merasa dihargai sebegitunya lewat 2 huruf O & K.

"Gimana penampilan gue?", "Ok kok", "Ok?" "Iya, kan ok itu bagus", "Oh, stidaknya Ok".. Ga kurang kok, tapi 'kok' kurang menyenangkan yah kedengarannya.

"Gimana tuh cowok?", "Dia baik kok", "Terus" "Ya.. Dia baik". Lumayanlah, tapi bukan sesuatu yang dibanggakan.

"Besok jalan yuk", "ok" *sebenarnya gue lebih berharap kalo respons-nya, 'yuk!'*

Biasa aja. Biasa bgt. Terlalu sederhana. Kena tanggung. Kurang spesial. Mentok amat. Sulit diintropeksi. Tapi.. ok-lah. Tapi, baiklah..

Touch my heart oouuugh I'm on fire! Saya juga berkaca. Jelasin deh definisi baik yang sesungguhnya. Bukan sedangkal lawan kata yang menyatakan bahwa baik itu tidak jelek.

Jadi inget, Tuhan tidak pernah menciptakan manusia dengan kejelekan. Berarti manusia baik semua. Dan menjadi baik adalah sesuatu yang umum. Mungkin saya termasuk kaum haus pengakuan, dan kamu juga! Kita barengan berlomba buat menjadi lebih dari yang lain dengan pergi ke bimbingan les, dokter kulit, studio musik, mall, toko perhiasan, rumah ibadah, lebih lama di kantor, tempat happening, dll. Dipermainkan kaum kapitalis yang selalu muncul setiap kita berkaca, kontemplasi, melihat orang lain, atau lewat mimpi. Digandrungi budaya pop, masa kini.

Baik sudah pasti kalah dengan luar biasa. Tapi terkadang baik juga bisa kalah dengan hal yang minus.
"Gue ga terlalu suka cowo/cewe yg terlalu baik", "Knp?" "Kurang dinamika aja"

Baik itu cuma sekadar penilaian dengan nomor urut pertama.
"Dia baik, tinggi, ganteng, pinter pula!"
Bukan, "Dia pinter, ganteng, baik pula!" *rasio 1 diantara 10 untuk yg menyebutkan baik sebagai nomor buntut dlm penilaian*

Selayaknya golongan bersyukur, saya bersyukur menjadi atau mendapatkan yang baik. Seraya menghindari persepsi takabur, di dalam sini saya akui bahwa saya ingin menjadi atau mendapatkan yang lebih dari sekadar baik. Saya tidak ingin dikenal sebagai "Oh, itu loh Vintya yang baik". Bahkan kedua orang tua saya pun juga berpikiran yg sama dengan cara mereka berkata seperti ini sejak saya kecil, "Sekolah nak yang pinter supaya jadi Dokter". Doktrin dari usia dini untuk menjadi lebih. Kenapa bukan, "Sekolah nak supaya jadi baik"..

Hahhahahaha, sumpah ya, baik tuh nature, bakat. Manusia itu bawaannya baik. Ga ada yang satupun ibu hamil mengusap perutnya seraya berdoa, "Tuhan semoga anak saya baik". Tuhan juga ga pernah kepikiran nyiptain manusia jahat. Mubazir buat menuh-menuhin neraka.

Mulai sekarang, tiap ada yang menilai saya itu baik, saya bersyukur skaligus sedih. Disinyalir masuk surga, tapi ga ada perubahan signifikan semenjak dilahirkan.

"Hey, kamu baik.." "Terus?" "Senang berkenalan dengan anda!"

Hanya saja.. alam semesta kurang mendukung.

Beginilah jawaban jika ditanya kenapa masih aktif menyepi.
Saya cuma agak trauma in relationship sama alam semesta.

Saya pernah pacaran sama matahari, tapi dia emosian, jadinya begitu timbul masalah sedikit, eh dia panasan.
Bulan juga ga asik, masak dia datangnya pas malem doang? emang saya apaan?!!
Hmm pas lagi belajar suka sama awan, eh tiba-tiba dia ngilang ditiup si angin, ffiiiuhhh, mana ga sanggup amat kalo tiba-tiba dia nangis hujan. Belum lagi, saya ga kuat sama dramanya tiap petir ganggu keharmonisan kita.
Pendekatan sama bintang juga kurang mulus, sok superstar, basi! Madingnya uda siap terbit! Huh.. Gunung juga rese, kalau lagi keluar adatnya, ga ada tendeng aling-aling, main meletus aja!.
Meteroid hanya menjadi penonton. Kurang sedap, kelewat unpredictable, kalo lagi kumat sifat menyebalkannya, suka nyerang bumi, seringnya maen keroyokan pula!..

Hmm, nampaknya udara yang paling menyenangkan saat ini. Dia selalu ada dan saya butuhkan, bahkan tanpa saya sadari. Tapi tampaknya saya mesti hati-hati, terlalu banyak kandungannya. Nitrogen, hidrogen, oksigen.. salah hirup, bisa keracunan :(\

Huuuuhhhh, beginilah saya!
Alam semesta nampaknya krg mendukung.. Hahaha.
Kalau begitu, target operasi selanjutnya adalah penghuninya saja, seorang manusia :)

Wednesday, February 10, 2010

Hello, Stranger!!

#Cuplikan 9 (published FB 280110)

Soekarno-Hatta. Pagi Buta.
Pikiran ini mulai mengacak, mengapa bukan Pattimura - Hayam Wuruk? Apa karena letaknya yang di Jakarta sehingga harus diorientasikan dengan tokoh kenamaan yang besarnya di ibukota? Kenapa bukan Pitung - Jampang? Apa harus pahlawan nasional? Siapapun hey siapapun, tolong jawab pertanyaan saya! Kalian sepertinya masih mengantuk ya? Iya, kita sama-sama mengantuk. Bahkan, saya mulai melindur, di sini terlihat banyak burung dalam bentuk yang sangat besar, tidak berbulu, dan kulitnya pun dari alumunium.

Otak ini masih kekurangan oksigen sehingga hidung pun meminta bantuan mulut supaya membuka lebar dan bisa meraup banyak oksigen sebanyak-banyaknya. Mungkin saking bersemangatnya, saya memutuskan untuk tidak tidur setelah berkemas. Menumpang Damri paling pagi untuk sampai disini tepat pada saat adzan Subuh dikumandangkan. Tidak sempat membeli tiket kepergian menuju Jawa Timur via online. Sengaja. Kepergian ini terlalu mendadak, semendadak Soekarno dan Bung Hatta yang diculik ke Rengasdengklok untuk segera memutuskan bahwa Indonesia sudah bisa merdeka keesokan harinya.

Penerbangan apa saja asal yang paling murah dan paling pagi. Politik ogah rugi, rugi waktu, rugi tenaga, rugi uang. Saya sengaja tidak membawa banyak perlengkapan, hanya satu tas besar yang dibisa dijinjing. Saya masih menerapkan ilmu lari dari kenyataan, yang namanya kabur itu tidak persiapan matang.

Terminal keberangkatan dalam negeri. Koridor ini terlalu lebar jika belum dipenuhi para wisatawan domestik maupun mancanegara.

”Hey!!”
Tiba-tiba saja ada yang membalikkan tubuhku kemudian memeluknya begitu saja. Sejenak saya reka ulang rencana kepergiaan ini. Kabur itu tanpa ijin, kabur itu tidak mengajak teman, kabur itu berarti tidak janjian atau tidak untuk menemui seseorang. Jadi saya yakin, bahwa saya sedang dizalimi. Dan hal terbaik yang harus dilakukan adalah mendorong paksa tubuh lelaki tegap ini.

”Sorry untuk hal ini, tapi tolong bantu saya sekali lagi. Bisa pinjam KTPnya?”
Apa muka kantuk ini membuat saya seperti berada dalam pengaruh obat-obatan terlarang? Sehingga saya harus diperiksa oleh polisi yang berpakaian preman demi menghindari kecurigaan para bandar dan pemadat? Tapi, jelas saya sedang berada dalam keadaan mengumpulkan setengah liter jiwa yang belum berkumpul karena rasa kantuk. Dengan mudahnya, saya mengabulkan permintaan orang ini. Rupanya beberapa bulan absen bersosialisasi dengan kehidupan nyata bisa mempengaruhi otak menjadi bodoh, karena jelas-jelas dia bukan polisi yang berhak melihat identitas penduduk dengan surat perintah!

Kini lelaki itu membeli tiket ’entah kemana kalau saya boleh tahu’ dengan menggunakan identitas saya. Analisa otak saat ini adalah sudah pasti nanti saya akan berhadapan dengan polisi karena gegabah memberikan tanda pengenal kepada seseorang yang melakukan tindakan penipuan.

”Yuk ikutin saya.”
Entah mengapa saya membiarkan tangan lelaki asing ini merangkul mesra bahuku, tempat kedua malaikat pencatat amal baik dan buruk bertengger. Menggiringku melewati petugas bandara. Lolos pemeriksaan pertama dan menuju gate ’yang bahkan saya tidak tahu yang mana’. Lelaki ini terlalu bagus untuk dikatakan teroris, jenggotnya tipis, mungkin akan terasa kasarnya apabila ada yang mengenainya. Baunya harum memakai parfum, bukan minyak nyongnyong. Dia memakai topi baseball, bukan kopeah. Tasnya pun digendong dipunggung, bukan menyeret sebuah koper. Kecepatan langkah kami pun tanpa ritme. Berarti dia tidak berhati-hati jika yang dibawanya adalah sebuah bom.

Sesekali kutengokkan kepalaku ke belakang, mencoba menerka apa yang terjadi. Atau apa jangan-jangan dia selebritis? Bisa jadi! Di rumah tidak ada televisi sehingga saya tidak tahu perkembangan gosip. Pun saya cukup alergi dalam hal membaca, alhasil tabloid, majalah, bahkan koran hanya sesekali dibaca apabila sedang diperpustakaan, melewati loker koran, di bus atau metro mini ketika mengintip baca, atau di tempat gratisan lainnya. Tapi sepertinya bukan. Karena tidak ada satupun orang yang tertarik, berteriak, menunjuk, ataupun minta foto. Atau apa karena dia menyamar? Apa dia seorang intel?

”Bisa lebih cepet gak jalannya?”
”Hah?” Oh rupanya dia orang sinting, atau penculik.

Siapapun? Siapapun? Saya yakin saya tidak melindur, tapi saat ini ada lelaki bertopi, kacamata hitam, mengenakan jaket, mengendong tas hitam, dan menyuruh saya untuk jalan lebih cepat. Siapapun? Siapapun? Apakah ada yang peduli? Karena mungkin saja saya dihipnotis dan menuruti apa yang dikatakan oleh lelaki asing ini. Bahkan kini saya mulai mempercepat langkah. Siapapun? Siapapun? Apakah ada yang bisa membawakan saya air minum? Cairan yang bisa mencairkan lidah beku? Siapapun? Siapapun? Apakah ada yang tahu dimana letak pita suara? Karena tampaknya pita ini terbelit sehingga hanya mampu mengeluarkan kata ’Hah?’.

Siapapun, tolong saya!
Saya hanya bisa merengek dalam hati berusaha supaya tidak terlihat takut. Ada yang pernah bilang, kalau lihat setan harus pura-pura berani biar setannya pergi. Tapi sepanjang menuju gate, kepala saya dalam keadaan tertunduk, sehingga saya berani bertaruh kalau dia mempunyai kaki dan keduanya menyentuh tanah.

Tuhan saya berjanji tidak akan pernah nakal lagi, saya berjanji tidak akan pernah kembali ke Colosseum dan akan lebih sering meluangkan waktu di 2nd home, saya janji akan melamar pekerjaan lagi sesuai kemauan Ibu, saya janji menyempatkan waktu bertemu calon suaminya Zie, saya janji saya akan selalu ingat perkataan guru TK tentang aturan jangan mau dikasih permen sama orang asing, apalagi kalau sampai diajak pergi!. Saya janji, Tuhan!

”Kita mau kemana? ” Akhirnya janji saya didengar Tuhan, saya diizinkan bersuara lagi.
”Nanti kamu juga tahu.”
”Oke, kita pisah di gate yang kita tuju”
”Kamu ikut saya,” gantian dia yang kali ini menengok ke belakang, mengecek.
”Percuma, toh saya juga gak pegang tiket apa-apa.”

“Yak, silahkan masuk, Pak”
Kami lolos di batas pemeriksaan koper yang kedua. Memasuki boarding room ternyata cukup kosong, entah karena terlalu pagi atau hampir saatnya take off? Laki-laki ini tampaknya sudah mempersiapkan semuanya. Kini tangan kanannya memegang tangan kiriku erat. Tanpa batas apapun, dan lapisan kulit terluar masing-masing pun bersentuhan. Hangat dan tidak berkeringat membuatku tidak menolak walau tidak diajak. Dipaksa dan malah terbiasa. Kami memasuki lorong menuju seat masing-masing.

”Selamat datang.”
Sambutan penuh senyum dengan tarikan bibir sejajar sama rata ke kiri dan ke kanan. Entah berapa lama mereka harus dilatih senyum supaya terlihat seikhlas itu.

”Maaf yah.” permintaannya.
”Maaf seperti itu masuk ke kategori permintaan atau pemberitahuan? Yang jelas, dengan menculik saya, anda tidak akan dapat apa-apa. Saya gak punya tampang anak orang kaya.”
”Hahahahhaa.”

Lepas sekali, renyah. Mungkin hatinya sudah lega. Entah apa yang dihindarinya. Dan entah apa yang membuatku sudah duduk dalam keadaan pasang seatbelt sendiri seperti ini? Bromo! Bagaimana dengan gunung suci tempat pembaptisanku? Bulan Kasodo! Pasir dalam tiupan angin itu akan menghilang begitu saja. Tidak! Lampu tanda pemasangan sabuk pengaman sudah menyala. Oh tidak! Pelarianku yang tanpa rencana ini. Aku yakin penculikan ini bukan ke Rengasdengklok karena bulan Agustus sudah lewat.

”Mau kemana kita?”
”Ssssstttt,” didekatkannya telunjuk kanan ke arah bibir tanda memintaku untuk mendengarkan apa yang dikatakan pramugari maskapai ini.

”....... pesawat akan mendarat di Bandara Hassanuddin pada pukul 11.55 WITA”
Sulawesi??? Ibuuuuuuu!!!

Kami membiarkan setengah jam pertama berjalan sunyi. Tidak perlu bertanya dan dilarang menjelaskan. Cukup menetralisir kenyataan bahwa kami berada dalam situasi aneh. Ini tidak bisa dibilang penculikan karena saya diseret dalam keadaan sadar. Lagipula tidak ada perlawanan apapun, baik itu berteriak, atau mencoba melepaskan gengamannya. Dia membiarkanku untuk duduk di pojok. Dekat jendela dan melihat kapas-kapas putih melayang di langit.

”Nih, sarapan dulu!”
Aku melihat lelaki ini menjawab pertanyaan pramugari yang menawarkanku sebuah menu untuk dipilih. Inisiatifnya mungkin timbul karena menganggap bahwa sandera memang tidak diperkenankan berbicara dengan saksi mata supaya tidak dicurigai.

”Kamu tuh siapa sih sebenarnya? Dan sedang berada dalam masalah apa?”
Dia hanya diam sempat kaget, dan menatapku aneh. Gerakan itu memang bukan hal yang sepatutnya dilakukan oleh penculik. Tapi lagi-lagi senyum seperti itu yang ditampilkan. Kini, dia membiarkan rambut pendeknya disapu udara dari pendingin ruang pesawat. Saya pun sudah bisa melihat bayangan wajahku di bola mata cokelatnya setelah ia melepas kacamata hitam yang dipakai sejak peristiwa pemelukan paksa tadi.

”Callista, saya cuma mau ajak kamu jalan-jalan. Tenang saja. Lagian kamu sendirian kan perginya? Sepertinya kamu juga belum punya tujuan mau kemana, makanya dari tadi bolak-balik di depan loket.”

Rupanya lelaki asing ini memperhatikan gerak-gerikku sejak turun dari taksi. Seenaknya saja menyebut namaku tanpa memberitahukan namanya.

Tana Toraja. Dimana masyarakatnya keturunan para leluhur yang berasal dari nirwana yang turun menggunakan tangga dari langit, yang hingga sekarang tangga itu dipercaya masih berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua, atau Tuhan Yang Maha Kuasa dalam bahasa Toraja.

Dalam kepercayaannya, Aluk Todolo, manusia hidup di bumi ini hanya untuk sementara. Selama tidak ada satupun manusia yang bisa menahan matahari untuk terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda. Seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo, tempat berkumpulnya semua roh. Hanya saja, tidak setiap arwah bisa dengan sendirinya menuju ke puyo. Diperlukan sebuah upacara penguburan sesuai status sosial orang tersebut semasa hidupnya jika tidak ingin tersesat. Wujud setengah dewa itu memerlukan korban tumbal untuknya dari keluarga dan kerabat lewat upacara persembahan.

To na indanriki’ lino. To na pake sangattu’.
Kunbai lau’ ri puyo. Pa’ Tondokkan marendeng.
Manusia hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah, negeri manusia yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.


Mungkin saya ternyata diculik untuk dijadikan sesembahan adat setempat. Tapi sepertinya ini hanya kekhawatiran berlebihan akibat belum sempat tidur dan merasa letih. Ada yang aneh, saya merasa menjadi seperti Callista yang lain. Yang bukan pembangkang. Apa karena saya hanya ingin menyerah pada alam semesta, terserah mau dibawa kemana. Tapi dengan lelaki asing? Apa hanya karena menyukai segala sesuatu spontan? Tapi ini spontan yang kelewatan! Bagaimana kalau lelaki tak bernama ini ternyata memang seorang penjahat? Buronan polisi? Atau salah seorang masyarakat Toraja?

Sesekali saya mengalihkan pandangan kearahnya. Dia terlalu asik dengan buku saku miliknya. Saya agak tenang setelah menyadari bahwa penumpang yang duduk di sampingnya ternyata berlaku sangat ramah padanya, seakan-akan mereka berdua sudah saling kenal.

”Kalau ngantuk tidur aja dulu. Nanti saya bangunin sesampainya di bandara. Perjalanan masih panjang.” seakan-akan malas mendengarkan lanjutannya, saya mengubah posisi badan membelakangi, supaya tubuh ini lebih nyaman. Memejamkan mata untuk pertama kalinya, semoga ini hanya mimpi.

Gendang telingaku berhasil menangkap gelombang suara pemberitahuan bahwa pesawat telah mendarat. Kemudian ada stimuli di otak yang mengatakan bahwa ternyata ini bukan mimpi. Perjalanan tak terencana ini sepertinya sebuah bencana. Callista harus tergera sadar. Perlahan kubuka mata, di luar sana matahari begitu terik. Rupanya sudah sampai, karena kapas awan sudah berganti aspal landasan. Tampaknya ada yang mengganjal kepalaku karena kening ini tidak nyeri walaupun posisi tidur ini sangat aneh. Setelah mata terbuka lebar, saya tersentak kaget karena posisi wajah lelaki asing itu menghadap tempatku duduk, dengan tangan yang bersandar dipembatas tempat duduk kami untuk menopang wajahnya yang tak berdosa ketika tertidur. Sedangkan tangan yang satunya lagi menahan keningku yang berhimpitan dengan dinding pesawat. Pantas saya merasa nyaman.

”Bangun, sudah sampai.” bisikku membangunkan.
Sisi kanan wajahnya terkena sinar mentari Indonesia Tengah sebelah utara. Setelah mengulat, dia mengajakku keluar. Dan lagi-lagi saya terpaku lalu mengikutinya.

”Kita cuma transit, sebentar lagi pesawatnya berangkat. Tapi kali ini ga terlalu jauh kok. Capek ya?”
”Kita mau kemana?”
Rupanya saya bukan akan dijadikan sesembahan. Satu masalah dan prasangka sirna. Setelah mendarat di selatan Sulawesi, ternyata kami harus bergeser sedikit ke arah tenggara hingga sampailah di suatu kota bernama Baubau untuk kemudian berlanjut ke Lasalimu dengan menggunakan mobil. Perjalanan belum usai, kami masih harus menumpang kapal cepat dengan memakan waktu selama satu jam untuk menuju Wanci yang merupakan pintu gerbang taman laut yang kami tuju, di Pulau Wangiwangi.
Wakatobi, surga lautan, jantungnya Coral Triangle. Taman Laut Nasional yang terletak 500 kilometer sebelah tenggara Kendari, atau sekitar 700 kilometer sebelah timur Makassar. Penculikan terbaik yang ditebus dengan keindahan tak tertandingi. 25 kelompok terumbu karang dan 590 jenis ikan mempercantik warna - warni permukaan dan alam bawah laut yang menyerupai taman firdaus. Sungai-sungai jernih mengalir di beberapa pulau. Perahu mengapung seolah melayang di atas air.
Perjalanan teramat jauh dan ketegangan yang kusembunyikan ini luar biasa menguras tenagaku. Bahkan aku sudah banyak bicara dengan si penculik ini. Sosoknya tidak sedingin penampilannya. Dia cukup sering memberikan pesonanya lewat senyum kepada setiap orang yang melihatnya, tak peduli apakah dibalas atau tidak. Dari percakapan-percakapan yang terucap, saya tahu bahwa dia memiliki kosa kata yang sangat baik, gaya bicara cerdas, wawasan luas, pribadi yang fleksibel tapi juga tegas. Beberapa kali aku berhasil dibuatnya tertawa, seakan-akan kami sudah akrab dan pernah bertemu sebelumnya. Tampak beberapa persamaan, salah satunya keinginan akan suatu kebebasan hidup. Bebas mengekspresikan apa yang kami inginkan tanpa dibatasi. Keinginan membobrok penjara yang telah dibuat oleh manusia disekeliling kami yang hanya menghadirkan sebuah derita untuk dikurung bersama.

Saya pun menjadi tahu alasan apa yang mendasari mengapa dia harus menculik saya. Rupanya saya hanya dijadikan kamuflase untuk menghindari seseorang yang dibayar untuk membuntutinya. Entah siapa dan karena hal apa sehingga harus dimata-matai, karena dia pun tidak tahu. Yang pasti, sebagai ganti rugi, segala biaya dalam perjalanan ini menjadi tanggungannya. Harus kurelakan upacara Kasodo dalam kemeriahan pasir cokelat gunung menjadi pesta terumbu dalam kemewahan pasir putih taman laut. Dari Bromo ke Wakatobi.

Matahari di langit manapun akan selalu sama. Jutaan mata yang tersebar di segala penjuru dunia akan tetap yakin bahwa jingga akan selalu menghias langit senja. Resort Seruni, sebuah penginapan yang kami pilih untuk singgah selama berada di pulau ini. Arsitekturnya, luar biasa! Tidak terlalu luas dan terkesan sangat private. Saya tidak yakin apakah kami bisa beristirahat di sini apalagi setelah mengetahui bahwa dia belum melakukan reservasi. Tapi kami tetap melangkah menuju lobi. Menurutnya, sebagai manusia kita harus berani mencoba, berani bertaruh supaya peruntungan selalu berpihak pada kita. Kepercayaan diri orang mulai membuatku simpatik. Aku bersimpatik pada orang asing. Aku tidak peduli bahwa dia tidak mempunyai nama. Saya dan kamu sudah cukup dalam dunia kita.

Nuansa emas dan hitam. Sekelompok atau seeorang investor pasti sudah menganalisis keuntungan yang akan didapatnya hingga seberani ini menanamkan investasi dengan mendirikan resort mewah di ujung negeri antah berantah. Yang berkunjung pasti hanyalah pelancong berduit yang menginginkan ketenangan dalam petualangan. Tidak cukup banyak terlihat tamu yang lalu lalang.

”Kok ga ada yang jaga ya? Oh iya kan jadi lupa, ini KTP kamu.” akhirnya kembali juga.
”Ngomong-ngomong aku belum tau nama kamu,” terlihat lagi sebuah senyuman indah.

“Selamat datang di Resort Seruni. Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” seseorang dengan logat penduduk setempat mengalihkan perhatian kami.

”Bisa pesan kamar, 2?” tanyanya kepada sang receptionist.
”Maaf, bapak ini, Aldy kan? Aldy Pranata? Pantesan kok dua hari ini gak siaran. Rupanya cuti liburan. Wah Pak, saya gak pernah absen loh nonton berita. Makin seru kasusnya!”
” Aldy Pranata,” sambil menyodorkan tangan ke arahku.

”Bisa Pak, mari saya antar ke kamar. Lewat sini.”

Saya hanya terbengong dan merasa bahwa detik di waktu Indonesia bagian tengah sedang terhenti. Gerak mereka sangat melamban sehingga saya bisa melihat dengan sangat jelas apa saja yang sedang mereka lakukan. Seorang receptioniost berlogat warga setempat dan seorang pembawa berita dengan kosa kata berbicara yang sangat baik. Dia membuka jaket yang sedang dikenakannya. Hanya balutan kaos berwarna putih dengan gambar band rock terkenal asal Inggris yang tersisa. Seorang Aldy yang membungkuk untuk mengangkat tasku yang terjatuh. Kemudian lengan bajunya tersingkat, dan terlihatlah sebuah lukisan dadu di kulitnya yang kuning. Bahkan kini aku bisa mengingat ceramah seorang penjudi yang mengajariku untuk selalu bertaruh dalam menyikapi hidup sewaktu akan memasuki lobi. Satu masalah dan prasangka sirna, diganti satu tanda tanya besar.

”Cal, kok bengong. Yuk?”

22 hari sebelum hari itu

#Cuplikan 8 (published FB 250110)

"Tumben pagi-pagi gini Ibu udah heboh manggil,"

Menuruni anak tangga, bidadari itu sudah kembali rupanya, Satin Zetarina. "Ziiieee!!" teriakku, kangen sekali.

"Callissss!!!" kamu makin cantik aja."
"Hahahaa, cantik kamu, buktinya udah ada yang buru-buru pengen ngawinin. Aku sih gak cantik-cantik amat, tapi keren!" pelukku mesra sambil bercanda narsis.

Kami hanya terpaut 3 tahun, sepupu dari garis keluarga Ibu. Sewaktu remaja, Zie rajin menginap dirumahku. Bermacam ritual kawula muda aktif kami jalani bersama hingga akhirnya terhenti karena saya harus pindah ke Jakarta, awal dimana ayah tidak seperti ayah yang dulu lagi. Hubungan saya dan Zie otomatis terputus. Hingga akhirnya enam bulan yang lalu, Zie menelepon dari kotanya, mengabarkan bahwa dalam beberapa bulan ke depan, Zie akan menetap di Jakarta. Menikah, itu tujuan utamanya.

"Sudah dulu kangen-kangenannya, sarapan sini bareng Ibu" ajak Ibu sambil menaburkan butiran cokelat meses diatas lembar roti berlapis mentega.
"Callis bawa ke kamar aja ya, Bu. Udah gak sabar pengen ngobrol panjang sama Zie" rengekku manja.
"Ya sudah. Kalau begitu kamu istirahat saja dulu ya, Zie. Tante mau jalan ke toko. Cal, kapan-kapan ajak Zie main ke 2nd home!"

Setelah memberikan nampan berisi dua tangkap roti bakar cokelat dan susu putih di gelas besar yang cukup ramping, Ibu pamit meninggalkan kami dengan mengenakan terusan bahan kaos berwarna hijau dengan gambar kelopak bunga berwarna merah keemasan. Sedangkan Zie dengan senyum cantiknya masih terpukau mengamati isi rumah kami yang sederhana namun penuh dengan karya fotografi. Salah satunya terpampang potret Ibu yang sedang memegang kamera SLR manual dengan lense tele. Dalam foto itu, Ibu terlihat sangat mewah dengan kemeja putih gombrongnya. Kerahnya sengaja ditekuk lebih tinggi. Rambut ikalnya yang menggantung dibiarkannya dikuncir lebih atas dari yang biasanya. Kulitnya selalu terlihat putih seperti namanya.

"Sekarang pacar kamu siapa, Cal?"Pertanyaan umum basa-basi yang ditujukan seorang teman lama yang baru bertemu setelah sekian lama kepada temannya yang sudah berada di kawasan 'seharusnya sudah punya tambatan hati'. Tapi sebaliknya hati ini tersumbat.
"Penting banget ya pertanyaan itu sehingga harus dilontarkan pertama kali? Helllo, Zie!"
"Hehe, penting doooong. Abisnya ini kamar gak ada foto cowonya. Aku nanyanya serius. Tapi terserah sih kalau gak mau cerita, mungkin kamu ngerasa udah gak nyaman lg ya cerita sama aku?"
"Gak ada. Dari pertama kali kita ketemu, terpisah, sampai akhirnya kamu muncul lagi, aku masih belum ketemu Mr. Right."
"Oke deh, Miss. Right. Pastinya kamu mahluk Tuhan yang paling sempurna ya, sampe-sampe harus ketemu sama mahluk tipe sempurna lainnya?"
"Hahhahaa, gak gituuuuuu!!"

Inilah kondisi pertemanan kami dimana satu sama lain bebas mengutarakan isi otak tanpa mempedulikan isi hati lawan bicaranya. Tapi, kami bisa lakukan itu sesantai mungkin. Tidak perlu basa-basi dan tidak perlu menjadi keki.

Salahkan ayah yang sangat buruk dalam memberikan teladan di saat puteri semata wayangnya beranjak remaja. Menjadi tidak percaya akan sisi baik yang dimiliki para pria yang tersebar di jagad raya. Romantisme menjadi hal yang memualkan. Ketulusan pria yang menunjukkan rasa suka pun menjadi hal yang menyebalkan.

"Emangnya kamu gak pengen ya mesra-mesraan?" diiringi tawa kecilnya.
"Ya ampun Zie, kalau cuma sebatas hubungan fisik yang aku pengenin dari suatu ikatan, itu dangkal banget."
"Iya, aku juga becanda kok. Aku cuma aneh aja sama kamu. Cantik, pinter, baik, tapi sayangnya gak laku-laku," sindirnya.

Zie mulai duduk di meja kebesaranku. Tempat dimana saya menjadi Tuhan saat mempemainkan semua tokoh yang ada di dalam cerita. Menulis sudah bukan menjadi aktivitas sekunder maupun tersier lagi. Saya mulai menciptakan lakon-lakon imajiner, berbicara dengan mereka, meluapkan perasaan, bahkan meciptakan karakter sesuai dengan apa yang diinginkan.Tuhan berzodiak libra, yang terlalu mengikuti suasana hati dan memerlukan banyak alasan untuk dipertimbangkan agar segala sesuatunya terlihat harmoni. Libra yang banyak dipengaruhi unsur gemini si muka dua, yang menciptakan realitas terpuji dalam kehidupan tercela.

"Waw, udah panjang juga ya ceritanya. Rencananya mau dijadii novel ya kalau sudah selesai?"
"Enggak."
"Trus?"
"Mau di-delete dan memulainya dengan cerita yang baru."
"Hah? Kok gitu?"
"Karena tak begini.. kau hianati hati ini, kau curangi aku," balasku sambil menyilangkan kedua telunjuk mengimitasi gaya Anang yang cukup fenomenal.
"Hahahahhaha" tawa kami pun pecah.

Terkadang, sangat wajar apabila manusia berlaku sangat egois dan overprotektif atas apa yang mereka miliki. Karena terlalu mencintai, tunduk pada hati, kehilangan kepercayaan diri, sehingga tidak ingin berbagi. Dan saya menyukai diriku yang seperti ini, keras kepala dan keras hati.

"Aku sempet nanya sih sama Aldy apakah dia mau kalau ceritanya aku sebarin di toko buku atau internet. Tapi Aldy kayanya marah, dia gak jawab pertanyaanku."
"Hah? Aldy?"
"Iya itu, yang lagi kamu baca."
"Kamu tuh gak berubah ya? Tetep aneh! Jangan-jangan selama ini kamu suka ngobrol sendiri di depan laptop?"
"Iya, hahahhahhaa"
"Sakit jiwaaaaaa!"

Berbicara dengan tokoh yang dibuat bukanlah sesuatu yang tidak waras. Justru saya terbiasa menjadi amuba dan membelah diri untuk merasa apa yang dirasakan para tokoh hasil kreasi. Saya bisa menangis dan tertawa karena rekayasa yang mereka lakoni. Tokoh-tokoh itu punya hak yang sama rata dalam mendapatkan atensi penulisnya. Tapi bukan berarti saya membangun unsur komunis dalam jiwa para tokoh imajiner.

"Banyak hal yang terjadi setelah aku pindah ke Jakarta."
"Iya, mama sempet cerita. Aku turut prihatin ya, Cal"
"Prihatin buat apa? Semuanya udah lewat kok."

Ibu belajar membuat kue. Bermacam bahan adonan telah diracik. Terkadang Ibu terlalu banyak mencampurkan telur yang dapat menimbulkan bau amis. Tapi setelah gagal, Ibu lalu mencoba sekian kali sampai akhirnya berhasil membuat kue yang lezat untuk dinikmati. Kami tidak akan bisa seperti ini tanpa niat mencoba untuk bangkit lagi dan lagi. Saya dan Ibu berada dalam keadaan terpuruk dimana kami banyak ditempa kesedihan. Tapi untuk menjadi permata, batu-batu itu juga ditempa ribuan kali. Kini bentuknya sudah bagus, bisa dijadikan perhiasaan. Pribadi yang kuat yang terpancar dalam reinkarnasi kami.

"Ngomong-ngomong ada yang aneh ya dari rumah ini?" kernyitan kening Zie semakin berlipat.
"Hah? Aneh apanya?"
"Aku perhatiin kok gak ada tv-nya ya? Kayak hidup dijaman primitif amaaaaat!"
"Hehe, biarin!"

Kemudian Zie beralih memperhatikan ketikan cerita yang saya karang. Sedangkan aku tenggelam dalam lekukan kasur berisikan kapuk. Cukup primitif emang. Tapi selama memberikan kenyamanan, tidak ada alasan untuk disingkirkan.

"Cal, gue perhatiin si tokoh Aldy ini kok kamu buat spesial banget ya?"
"Sengaja."
"Biar bisa jadi pacar imajiner?"
"Hahaha, pengennya siiiiih," saya mulai cengar-cengir karena malu.

Memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia yang kita tempati bersama. Hanya saja saya terlalu yakin pada hati kecil tentang seseorang yang akan datang itu memang tidak percuma untuk ditunggu. Mungkin saya dianggap terlalu banyak memberikan kriteria untuk memilih pasangan, terlalu tinggi dalam menetapkan stándar. Louis Vuitton dan Charles & Keith, keduanya banyak diminati oleh pembeli. Tapi para pembeli itu lebih tertarik untuk menjatuhkan pilihannya pada Charles & Keith. Mereka bilang, saya seperti Louis Vuitton, tidak dipilih bukan karena cacat atau tidak indah. Hanya saja, nilai untuk mendapatkannya sangat tinggi sehingga para pembeli tersebut bahkan agak ragu memasuki store-nya. Mereka lebih baik penasaran daripada harus terkaget dan minder pada harga yang terpampang. Padahal kenyataannya tidak seperti itu, saya tidak ingin menjadi Louis.

"Eh gimana? Kok bisa sih tiba-tiba mau nikah aja?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Panjang ceritanya. Segala sesuatunya dilancarin gitu aja. Lusa deh aku ajak kamu ketemuan sama dia. Bisa?"
"Hmmm sampai kayaknya ga bisa deh," sambil mengingat-ingat tentang rencana yang akan dilakukan.
”Yaaaah, kenapa?” raut muka Zie agak kecewa.
”Rencananya sih mau lari. Lari dari kenyataan”

Terhanyut hingga berada di sebuah areal lapang nan gersang, sesekali kulihat rumput-rumputan tumbuh dan mengering. Tiupan angin diantara kabut, menerbangkan butiran pasir hingga menyulitkan paru-paru bernapas. Sebuah gunung suci, tempat masyarakat Tengger mengadakan upacara Kasodo pada tengah malam setiap bulan purnama di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan jawa, setahun kali. Akan saya baptis diri ini di sana, menjadi seorang Callista yang baru, bertemu cinta yang baru.

“Ke Gunung Brahma, Bromo.”

Friday, January 22, 2010

Aku ternyata rekayasa Saya

#Cuplikan 7

“Ini sudah kali ketiga aku mendapat surat ancaman dalam seminggu terakhir. dan aku tahu benar siapa bajingan yang mengirimkannya.”

Libur akhir pekan. “Lona, kamu lihat sepatu lariku gak?”?

Kuobrak-abrik lemari sepatu tapi tak berhasil ditemukan. Sabtu pagi adalah waktu terbaik dalam satu minggu. Aku tidak perlu berperang melawan kemacetan, sumber ketidakwarasan penduduk kota dimana sering terdengar sekawanan binatang haram dielu-elukan dari balik setir kemudi.

“Aha, ketemu! Lona, aku jalan dulu ya. Kamu mau sarapan apa?”

Bagaimanapun juga, aku ingin membahagiakan ikan kesayanganku, karena hanya dia satu-satunya tempat aku mencurahkan segala gundah hati. Aku tidak peduli dengan kenyataan bahwa Lona bernapas dengan insang, kenyataan bahwa Lona tidak punya paru-paru itu tidak mengapa. Lain halnya apabila ternyata dia punya telinga, berarti selama ini Lona hanya akting peduli. Tapi memang Lona agak aneh, setiap kali sesi curhat, Lona tetap asyik berenang kian kemari.

”bluUUup bLuuuPP bluUUuuP”
”Lona, kamu aneh. Ditanyain kok malah niup-niup air. Kalau nanti kembung, gimana? Dah Lona, jaga rumah ya, jangan keluyuran soalnya lagi banyak penculikan!”

Berlari adalah momen dimana aku bisa merasa lepas. Bebas mengendalikan kapan harus menambah kecepatan atau malah berhenti karena kecapaian. Satu jam sudah cukup sukses membuat napasku terengah-engah, setidaknya satu minggu sekali. Keringat ini sudah membasahi seluruh bagian kaos yang diselimuti sweater abu-abu. Pagi ini cukup sepi, padahal sudah garis sudah menunjuk angka 7. Taman DeRaksa, masih dalam kompleks apartment yang kutinggali. Pepohonan besar menghiasi track untuk pejalan kaki dan pelari, dikotori daun-daun mulai berguguran. Warnanya hijau kecokelatan.

Dinding pemisah antara DeRaksa dan Dirjani berhasil kupanjat. Masih menjadi pertanyaan besar kenapa Dirjani ditutup untuk umum. Aku yakin alasannya bukan karena taman ini angker. Rumput golfnya masih rapih seperti selalu diurus. Lampu tamannya pun masih berfungsi, mungkin lupa dimatikan oleh si penjaga yang ketiduran. Ada bangku panjang dengan sandaran berwarna cokelat tua dan unsur besi hijau dibagian pinggir untuk pijakan tangan. Sudah pasti masih ada yang sering berkunjung ke taman ini. Tapi siapa?

”Woi, gue telfon ga diangkat”
“Hahaha, mampu gaji berapa emangnya lo sampe gue harus angkat telfon di hari libur?” candaku pada Tari, nama lama dalam kehidupanku.
“Jadi ini nih sambutan buat temen lo yang baru kembali dari luar kota?” kami berpelukan tanpa perasaan.

Tari adalah temanku sejak kecil hingga sekarang, menjadi sahabat di kompleks kami yang penuh kenangan. Sembilan tahun sejak perkenalan, Tari bersama yang lainnya harus ikut ayahnya yang berdinas ke Surabaya. Sebenarnya, Tari bisa saja memilih untuk tidak ikut saat itu, apalagi ayahku sudah menawarkan rumah kami apabila Tari ingin tetap berdomisili dan melanjutkan SMA-nya Jakarta. Bersamaku, teman sekaligus seseorang yang sudah dianggap kakak laki-lakinya.

”Ya ampun, udah hampir 10 tahun lho kita gak ketemu. Kenapa gak ngabarin? Kan bisa gue jemput di Cengkareng.”
”Gue sengaja mau bikin kejutan. gue tadi juga mampir ke rumah lo. Sempet ketemu Bunda juga, makanya gue tau lo tinggal di sini”
“Pindah untuk seterusnya kan nih? Bukan cuma mampir?”

Selain Lona, Tari juga tahu segalanya. Jarak sudah putus asa berusaha memutus tali silahturahmi kami. Selain hanya 10 cm jika dihitung di peta Indonesia, teknologi pun semakin mendekatkan kami. Jadi tidak alasan untuk alpa bertegur sapa.

”Rencananya gue balik ke sini lusa. Tapi, sengaja gue percepat. prihatin sama keadaan lo yang uda kena teror dua kali, haha. Siapa sih orangnya?”
”Yah, kalau gue tau, namanya bukan teroris. Ketiga, bukan kedua.” kutunjukkan surat yang kebetulan kukantongi sebelum menghirup oksigen pagi. Tari membaca tulisan itu berulang kali, hanya kernyitan yang dia tampakkan. ”Elo bikin masalah sama seseorang, Dy?”
”Gue ga punya musuh sama sekali kok, tapi..”
”Tapi?”
”Ah udahlah, nanti saja bahasnya. kita balik ke apartment” ajakku sambil perlahan-lahan meninggalkan Tari yang masih tenggelam di bangku kayu.

Hal yang baru aku sadari dari pemandangan di sekitar Dirjani adalah adanya sebentuk prisma dari bahan granit. Beberapa tangkai bunga menghalangi, mungkin sengaja supaya tidak menarik perhatian para begundal yang berani melompat kemari. Kuseka tetes embun yang menempel,

”Kau adalah karya terindah Tuhan yang bisa aku inderai. Mata ini mengagumi cara matamu menunjukkan cintamu yang sederhana. Saat telingaku rindu mendengarkanmu membacakan buku ketika aku terlelap dipangkuanmu,di saat itu pula aku ingin membaui aroma kopi yang menempel pada bulu-bulu halus disekitar hidung dan dagumu. Mungkin harapanku untuk menyentuh dan meraba wajahmu adalah hal yang mustahil. Tapi aku tidak akan pernah berhenti untuk mengatakan pada dunia bahwa aku mencintaimu. Pernah, saat ini, dan selamanya."

Sekilas aku menoleh bangku taman itu. Bisa kubayangkan bagaimana sepasang manusia bisa saling mencintai tapi harus terpisahkan. Dirjani, area khusus bagi si penulis syair bersama belahan jiwanya. Tempat menghabiskan waktu di bawah matahari. Menikmati teduhnya siang dengan berbekal makanan favorit yang sudah disiapkannya dalam keranjang. Sang pria membacakan cerita dan sang wanita merapihkan alas untuk bersantai dan bersantap siang. Renyah tawa bisa terdengar, senyum lebar bisa tergambar. Cinta untuk memenuhi hati.

”Dy, ayo buruan!” teriakan Tari mengagetkanku. ”Gue udah minta dibukain pagernya nih.”
”Loh kok?” aku agak heran karena ternyata ada penjaga yang mengawasi taman ini, dan tampaknya cukup ramah dengan tidak mengusirku yang kurang ajar memasuki daerah ”terlarang”.

”Lo sangka gue bisa tau lo di sini dari siapa? dari Bapak ini, dia yang kasih tau kalo lo disini saat gue nanya orang receptionist.” penjelasan Tari sambil memberikan uang ala kadarnya karena telah memberikan jasa memberi tahu dimana keberadaan orang yang paling ingin ditemuinya beberapa menit yang lalu. ”Makasi yah, Pak”

”Kita naik sepeda aja yuk baliknya” Tari sudah mempersiapkan sepeda untuk kami tumpangi.
Dan aku hanya terdiam melihatnya sinis, ”Jadi, sampe sekarang lo belum bisa naik sepeda? Ya ampun Aldy!!!!” disambut tawanya yang menggelegar.


Sabtu dan Minggu selalu berjalan dengan sangat cepat. Dan aku harus membiasakan diri didikte rutinitas kembali. Suasana studio cukup panik setelah mendapat peringatan dari penelepon misterius yang mengancam akan bertindak hal yang tidak diinginkan apabila kami tidak mengindahkan apa yang dimintanya. Tapi, pertunjukkan harus tetap berlangsung, aku harus menjaga supaya konsentrasi tidak buyar dan tetap stabil mengarahkan pandangan pada satu titik kamera. Beberapa kali aku mencuri lihat apa yang sedang terjadi. Beberapa diantaranya mulai berbisik dan berpantomim gusar. Seusai siaran langsung, bos besar memanggil seluruh tim berita untuk berunding diruangannya.

”Gue minta pengertiannya supaya kita nutup kasus ini.”
”Tapi kan itu cuma ancaman, Bos!” seru yang seorang kameramen yang mendapat dukungan.
”Tapi lo gak akan sempet meralat apa yang lo bilang sekarang kalau ancaman yang lo bilang itu sudah berubah jadi kenyataan,” si bos memang masih cukup tenang dalam mengarahkan kami untuk mengikuti apa yang dimintanya. Tampak gurat kekecewaan dari sekumpulan jurnalis yang idealis. Mereka tidak peduli pada apa yang akan terjadi, selama masih menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan pada masayarakat luas.

Jurnalisme adalah pilar keempat dalam negara demokrasi, yang memiliki peran penting dalam memberikan informasi, mencerdaskan, dan menghibur masyarakat melalui media. Pers, si anjing penjaga, yang mengontrol bagaimana kekuasaan itu dijalankan oleh yang memiliki kekuasaan. Idealisme jurnalis menuntut kami untuk tidak menodai fungsi pers sehingga menjadi tercoreng. Terpaku dalam pikiran bahwa pers yang baik akan menghasilkan masyarakat yang baik.

Hanya keberanian yang menjadi aset, modal, dan bekal bagi para kami untuk terus meliput. Selanjutnya, tingkat keberanian lebih tinggi akan diperlukan untuk menerbitkan apa yang telah kami liput. Risiko adalah suatu seni yang harus dinikmati supaya kami tetap berkarya. Keberanian untuk memilih tunduk pada kejujuran berita daripada setumpuk sogokan. Keberanian mendapat perlakuan kurang terhormat bahkan dalam suasana terancam.

Kebebasan informasi bereinkarnasi sebagai anugerah berkah reformasi. Sayangnya, pers dan wartawan menjadi sosok yang ditakuti, karena dapat menjatuhkan musuh melalui pengaturan agenda berita. Jurnalis adalah pendekar dengan segala keterbatasan, yang menjamin setiap masyarakat berhak atas segala berita yang jujur dan akurat.

”Oke, semua bubar. Semua sudah jelas. Dan tolong, topik utama besok dialihkan ke Gempa kemarin saja. Terima kasih semua. Forum ditutup.”

Kekecewaan tertuang dalam raut wajah semua orang yang berkumpul, tak terkecuali si bos yang kini sedang melamun sambil bertolak pinggang dengan pandangan tertuju pada tumpukan map yang berserakan di meja. Ada keputusasaan dalam wajahnya.

Buah Simalakama. Jujur adalah relatif, saat kami berusaha jujur, kami menjadi sangat tidak fleksibel sehingga harus dipersulit untuk menggali kasus yang lebih dalam. Pun begitu ketika mengejar keinginan yang diimpikan, kami dikatakan tidak realistis. Dan bila kami berusaha menapaki jalan untuk memperoleh kesempurnaan, kami dikatakan terlalu perfeksionis dan dipenuhi ambisi. Maka, sungguhlah menyesakkan apabila kami harus menerima kekalahan atas sebuah teror. Stop mencari segala fakta yang dapat membungkam yang bersalah ketika tak kuasa dihujani argumen dan bukti yang nyata.

Setelah semua pergi, aku pun berpikiran untuk menyusul mereka.
”Dy, sebentar!”
”Menurut lo, apa yang gue lakuin ini salah?”
“Salah atau benar sudah udah gak penting lagi. Semua argumen juga akan diabaikan. Apa masih perlu pendapat saya?”

Dasi ini sudah kulonggarkan paksa. Kubuka satu kancing sehingga kaos putih didalamnya pun terlihat. Beberapa kali si bos mengusap kasar kepalanya, pertanda dia berusaha memikirkan sesuatu karena berada dalam tekanan. Belum sempat kaki kiri kupijakkan kelantai melewati ruangan tak berpintu ini,

”Gue tau lo dapet teror, Dy.”
“Dari mana lo tau?”
“Gak penting darimana gue tau, yang penting lo dan yang lain terjamin keselamatannya”
“Udahlah gak penting. Kita urus aja urusan masing-masing,” hardikku.
”Gue kasih lo cuti minggu depan. Ini perintah, bukan untuk dibantah.”
****


CTRL + S. ”Akhirnyaaaaa, bab ke 9 tulisan ini beres juga.”
”Hmmm, Aldy, karakter yang mengesankan. Entah apa yang akan dilakukannya lagi nanti. Tuhaaan, berikanlah insiprasi pada otak ini!!!”

Saya membaca berulang kali cerita yang sudah berjalan cukup panjang, sampai tidak tidur semalaman karena terlalu asyik melanjutkan naskah yang ingin segera ditamatkan.

”Callista! ayo turun dulu, ada kejutan buat kamu.” teriakan Ibu cukup menganggu kantuk.
Terlalu banyak kejutan dan pertanyaan. Maka bertanyalah akan penasaranmu, dan hampirilah,
”Sebentar, Bu!”

Thursday, January 21, 2010

Colosseum

#Cuplikan 6

“Mau kemana neng?”
“Ke dalam, Pak. Emangnya sekarang udah dilarang ya?”
“Oh silahkan sajah, tapi Bapak saranin jangan sendirian atulah”
“Kenapa, Pak? Saya sudah sering kesini kok, dan aman-aman saja”
“Oh yasudah kalau begitu, asal hati-hati saja. Maklum disini teh sepi kalau sore”
“Iya, Pak, makasi ya. Saya masuk dulu”
“Sok atuh, silahkan”

Colosseum, nama yang saya berikan sebagai tempat pelarian untuk menyendiri. Bukan di Roma dimana para penemu terkemuka dilahirkan. Tetapi, 63km dari Jakarta dan masih butuh perjuangan selama 45menit untuk masuk ke pedesaan penuh liku. Bangunan yang belum sempat terselesaikan ini sungguh menyerupai Colosseum asli versi mini, peninggalan sejarah berupa gedung pertunjukan yang pernah menjadi bagian dari 7 Keajaiban Dunia, yang dibangun 1900 tahun silam.

Saya melihat sekeliling. Masih sama, tetap klasik, unik, dan cukup eksentrik untuk berada di sebuah pedesaan. Rupanya menyerupai stadion dari tumpukan batu yang disemen. Tidak ada sepetak keramik, pasir, atau alas apapun yang membalutinya. Tidak ada atap dan dibiarkan terbuka. Mungkin dananya keburu dikorupsi sehingga pembangunannya tidak tuntas, dirampok aparat yang keparat. Sama halnya dengan Raja Herod yang pada tahun 64 M merampok kuil besar di Jerusalem untuk membangun konstruksinya. Tapi, ini indah. Salah satu keajaiban dipinggiran kota.

Pintu masuknya pun hanya sebuah pagar rusak setinggi dada. Tidak terkunci sehingga tidak harus dipanjat oleh wisatawan aneh yang ingin meluangkan waktu untuk melamun sejenak. Di dekat pagar ada sebuah menara tak terurus, entah apa gunanya. Sedangkan di sebelah kiri, terdapat area balapan motor bagi anak kampung yang hobinya ugal-ugalan. Saya langkahkan kaki ini dengan mengumpulkan keberanian. 20 langkah dan saya sudah melewati lapangan basket dimana ringnya sudah bengkok tak karuan, mungkin masih sering digunakan pemuda sekitar. Disampingnya, terdapat lapangan tenis. Dinding kawat yang melapisinya sudah dipenuhi sarang laba-laba. Tiang lampu yang berdiri renta di setiap sudut lapangan pun sudah kehilangan neonnya, mungkin dicuri. Sungguh aneh memang, entah apa yang ada dipikiran arsitektur lingkungan ini, mungkin tadinya ditujukan untuk kompleks sarana olahraga.

Ilalang ini sudah terlalu panjang. Bagian yang paling tidak menyenangkan adalah durinya. Menyayat penuh kepedihan. Tinggal beberapa lagi dan akhirnya akan segera saya temui anak tangga menuju Colosseum. Sekilas saya merasa mejelma sebagai saint saiya yang bertugas menyelamatkan Athena. Yang harus melewati reruntuhan anak tangga untuk mencapai kuil berikutnya dan melawan satu per satu dewa yang melambangkan 12 zodiac.

"Hey Callista! Akhirnya nyampe juga lo!! Buruan woi!!"

Judith. Si anak bengal yang tampaknya selalu membeli kaos berwarna hijau toska disetiap toko yang disinggahinya. Posisi badan sempoyongan, entah sudah berapa botol minuman keras yang diteguknya selama sejam kebelakang.

Mungkin konsep awal bangunan ini untuk dijadikan stadion bola kecil-kecilan. Tapi bukannya dihuni rumput halus yang seragam berwarna hijau, lahannya malah dipenuhi jutaan ilalang terlihat indah ketika bersatu memenuhi arena. Walau hanya rumput jangkung tidak tururus dengan hijau diseling kuning gading, saya selalu takjub. Terbuai melalui pejaman mata saat menghirup oksigen yang bebas mengalir kian kemari. Matahari sudah mulai turun dan membentuk secerca sinar jingga di ufuk barat.

“Cal, dimana lo? Gue gak suka ya kalo lo masih suka ngumpul bareng anak-anak brengsek itu!” gemetar ponsel di saku celana membuyarkan pandangan kosong ketika menikmati atmosfer senja. Sms dari Gia.

Hanya Judith yang masih berada dalam keadaan setengah sadar. Dia kerap bernyanyi dengan nada ajian menyembah berhala, hanya dia dan setan yang tahu, bahkan Tuhan pun tidak mau tahu. Enam manusia yang dikategorikan sebagai sekumpulan anak berandal telah total mengotori tempat sakral ini. Tergeletak tak karuan setelah menutup tahap pertama pesta narkoba, rehat sambil menunggu tahap kedua.

“Hallo cantik, tumben kali ini undangan gue lo tanggepin. Gue kirain lo udah mati, cuma belum ketemu bangkainya aja.”
”Lepas ga, Dith! Lagian gue kesini bukan karena lo semua.”
”Terus apa? Pasti lo kangen kan sama sentuhan mesra seorang Judih Bagaskara?”
”Lepas ga! Atau!” sambil mencoba menyingkirkan tangan Judith yang berusaha mencopoti kancing baju bagian atas.
”Atau apa? Gak usah sok suci deh! Basi woooy! Gue udah pernah liat badan lo tanpa kain apapun.”
”Udahlah, Dit. Gue lagi ga mau ribut.” Satu batang rokok saya pilih untuk mencairkan suasana.
“Nah, gitu dong. Gue kira lo udah bener-bener tobat. Ada penyedapnya gak tuh rokok? Nih pake yang punya gue aja, biar ga cupu“ disertai kelakarnya yang menganggu.

Kuhisap tanpa henti seperti petugas penunggu pintu rel kereta. Layaknya terserang dehidrasi nikotin. Saya tidak bisa membenci keenam anak bengal itu, tapi juga tidak menyukainya. Bagaimanapun juga, kami pernah terpuruk bersama. Walau lubang hitam yang saya masuki semakin dalam, mereka pernah merasa apa yang saya rasa. Walau semakin terjerembab ke lubang yang salah, mereka selalu ada.

“Bokap lo makin sering muncul aja di tv”
“Hah?”
“Lo gak tau? Muka bapak lo gak berenti-berenti masuk pemberitaan kriminal. Masa lo gak pernah liat?”
”Enggak. Gue ga peduli.”

Ruang hampa udaralah yang kini kami diami. Tiada suara. Hening, tanpa satu katapun yang ingin disampaikan. Begitupun dengan Judith, dia tahu apa yang mesti dilakukannya ketika keceplosan menyebutkan satu kata yang paling tidak ingin kudengar. Ayah.

Ayah yang mengantarkan saya pada kehidupan menyedihkan seperti ini. Secara tidak langsung. Betapa kebencian padanya sungguh tak tertahankan. Cinta Ayah tidak sebesar cinta Ibu. Tapi cinta Ibu terhadap keluarga jauh tak terkira. Ibu tidak memberikan perlawan ketika ayah berubah menjadi monster. Sebenarnya, kami tidak dibuang, kami juga tidak mengucilkannya. Hanya saja Ibu memilih untuk mengasingkan diri dengan membawa anak semata wayangnya untuk dibesarkan dengan penuh kasih sayang, bukan diayomi oleh gelapnya dunia penjahat.

Tidak menyetel televisi adalah cara pintas untuk menutup segala akses tentang pria yang punya andil dalam penciptaan realitas saya di dunia. Sejak kasus kriminal pertamanya meluap sekitar lima tahun lalu ke media massa, saya dan Ibu mengisolasi diri dengan tidak mengkonsumsi berita dari sumber manapun. Kejahatannya mulai tercium, tapi ayah berhasil menyuap semua aparat yang bertanggung jawab menegakkan hukum di Indonesia. Tidak ada bukti kuat untuk dijadikan fakta. Jangankan dipergunjingkan di pengadilan, diwawancara pihak kepolisian pun tidak. Mungkin jeruji besi tidak berhasil memenjarakannya, tapi kami berhasil menjatuhinya hukuman mati untuknya dari kehidupan kami.

Setelahnya, saya bertemu Judith dan yang lain, Lucita, Nando, Gisel, Didan, dan Yonas. Merasa nyaman bersama karena memiliki cerita yang sama, ketidakpuasaan terhadap takdir yang tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Hidup kami boleh dikatakan serumit trigonometri maupun algoritma. Lucita dan Nando berpacaran sejak mereka berseragam biru-putih. Tapi Lucita tidak berkeberatan ketika mengetahui bahwa saya pernah tidur dengan kekasihnya. Lucita menganggap itu adalah hal yang wajar karena alibi berada di bawah pengaruh candu yang mematikan. Hubungan mereka pun tetap aman dan tentram. Nando berasal dari keluarga yang cukup besar, salah satunya Gisel yang bekerja sebagai editor majalah gaya hidup masyarakat Jakarta. Mau tidak mau Gisel akan sering meliput acara fashion show yang sering memakai Didan ketika melenggang indah menampilkan busana terbaru dari desainer kenamaan. Didan, seorang model yang namanya sempat melambung dan menjadi sorotan utama wartawan gosip ketika dia dipergoki berciuman dengan Yonas di belakang panggung sebelum pentas berlangsung. Didan dan Yonas memang berpasangan pada kenyataannya, hanya saja Belem berani dipublikasikan demi menjaga ketenaran. Apes memang, padahal saat itu Yonas juga tidak niat datang karena dia merasa sudah cukup sering untuk menjadi suporter setia yang menonton, memperhatikan detail tiap gerak Didan, untuk kemudian memberikan komentar tentang kekurangan pasangannya selama pagelaran berjalan. Hanya saja, Yonas dipaksa Judith yang membutuhkan free pass untuk masuk ke acara malam itu. Fotographer adalah profesi dipilih Judith. Dia harus mengambil angle terbaik apabila ingin menjual hasil jepretannya dan menghasilkan uang untuk dibelikan narkoba yang dia butuhkan. Sama halnya seperti saya yang rela untuk melucuti semua pakaian yang melekat dan berpose telanjang sebagai model Judith, demi sebuah serbuk putih yang diharamkan karena efek candu yang mematikan.

”Dith, gue juga bukan nabi. Tapi yang gue tau, nabi juga pernah buat salah.”
”Yah lo ceramah. Sssssttt, sebentar jangan ngomong dulu. Gue mau nyari sumber suara adzan. Pengen tau letak mesjid terdekat di kampung ini biar lo bisa puas ceramah di sana!”
“Please, dengerin gue Dith kali ini. Ini karena gue peduli sama lo dan yang lain.”
“Udah telat, Cal.”
“Lo bahkan belum nyoba buat stop hura-hura atau tergantung sama madat kayak gini. Mau sampai kapan? Sampai akhirnya gue denger kalau lo udah mati gara-gara overdosis.”
“Mungkin ini fase hidup yang harus gue lewatin, Cal. Lo gausah ikut campur.”
“Gue tau ini fase hidup yang harus lo lewatin. Tapi setiap masa yang kita masuki juga pasti akan lebih berat dari yang sebelumnya. Kalau di fase yang ini aja lo masih butuh bantuan obat-obat itu, lo ga akan bisa survive untuk seterusnya.”

Lingkaran setan yang dihuni anak setan. Termasuk saya, anak seorang setan. Ayah yang harus bertanggung jawab hingga saya memiliki masa tersuram dalam hidup. Masa peralihan dimana saya begitu kaget bahwa hidup tidak seindah dongeng yang sering Ibu ceritakan dahulu. Saya lupa bagian bahwa Cinderella maupun puteri dalam dunia perdongengan lainnya juga melewati kesengsaraan. Dan Ibulah yang menjadi peri. Ibu yang memiliki tongkat kecil untuk menyulap beban dan cobaan menjadi sesuatu yang bisa dihadapi dengan senyuman. Mungkin karena Ibu pula, saya tidak bisa sepenuhnya membenci ayah. Karena ayahlah, aku lahir ke dunia lewat rahim Ibu, dan dibesarkan oleh kedua tangan yang penuh cinta.

”Mau kemana, Cal?”
”Balik ya, sepupu gue ngajak ketemuan sejam lagi. Udah telat ni gue. Lo baek-baek, Dith.”

Saya membalikkan badan sambil mengangkat sebelah tangan sebagai tanda salam perpisahan, hingga akhirnya, “Cal, kemaren gue ngeliat bokap lo!”

Langkah ini terhenti dan langsung saja kedua earphone Ipod dipasangkan untuk menutupi kedua gendang telinga pertanda bahwa saya tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Volumenya pun dipertinggi. “Sama nyokap lo, Cal! “

Masa lalu sebagai sebuah Jeruk. Buah yang harus dikupas dan baru dapat diketahui apakah rasanya manis atau asam setelah saya menelannya. Biji-biji yang terdapat didalamnya bukanlah kotoran yang harus dibuang sembarang. Apabila ditanam di tanah gembur, maka pohonnya bisa tumbuh subur tanpa harus dirawat. Tumbuh dari tangisan hujan yang mengguyur.

Colosseum menyajikan pertunjukan spektakuler dimana terjadi pertarungan venetaiones (binatang), antara tahanan dan binatang, noxii (eksekusi tahanan), naumachiae (pertarungan air) dengan cara membanjiri arena, dan pertarungan antara munera (gladiator). Bentuknya yang elips atau bulat dimaksudkan untuk mencegah para pemain yang ingin kabur ke arah sudut. Struktur yang hebat dengan tempat duduk yang bertingkat. Masa sulit yang sudah saya lewati dan tidak ingin saya masuki kembali. Menganggap hidup sebagai permainan macam ini harus segera dihentikan, sudah terlalu banyak memakan korban jiwa.

Wednesday, January 20, 2010

Rebellion

#Cuplikan 5

kamu seperti hantu
terus menghantuiku
kemanapun tubuhku pergi
kau terus membayangi aku

salahku biarkan kamu
bermain dengan hatiku
aku tak bisa memusnahkan
kau dari pikiranku ini

di dalam keramaian
aku masih merasa sepi
sendiri memikirkan kamu
kau genggam hatiku
dan kau tuliskan namamu
kau tulis namamu

tubuhku ada di sini
tetapi tidak jiwaku
kosong yg hanya kurasakan
kau telah tinggali hatiku

Aku bukanlah Mas Boy yang muda lagi perkasa. Hanya seorang anak laki-laki sehat yang dilahirkan dari ibu yang cantik, dibesarkan dilingkungan cukup menarik, dengan asupan gizi terbaik. Anak semata wayang dari seorang dosen terkemuka dan dokter umum biasa di Ibu kota. Stamina 8, mapan 8.5, otak 9, paras 9.5. Ingat, tidak ada laki-laki yang sempurna, mungkin itu pula mengapa Tuhan tidak menorehkan angka 10 dalam profil pribadiku saat ia menitipkan aku lewat rahim Bunda. Wanita keturunan Jawa dan Sunda yang dinikahi seorang lelaki peranakan Betawi dan Sumatera Selatan. Ada empat adat yang mengalir dalam darah ini. Harusnya aku menjadi seorang yang tau bagaimana caranya bermasyarakat, bukannya tidak tahu adat. Ternyata empat adat terlalu banyak, aku bingung harus mengikuti yang mana dan akhirnya memutuskan untuk pura-pura tidak tahu saja.

Ayah sempat memaksa agar berprofesi menjadi seorang pengacara. Banyak duit, kononnya. Kemudian saya teringat bahwa surga itu ditelapak kaki bunda, bukan ayah. Berhubung bunda menyetujui keinginanku untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi, jadi aku tidak ragu menampik keinginan ayah. Dunia komunikasi itu penuh sensasi. Walau katanya kerja sebagai budak media kurang menghasilkan, saya tetap pada pendirian. Toh sekarang ujungnya sama, aku dibayar karena pekerjaanku menggunakan mulut untuk menyampaikan berita kepada umat manusia. Begitupun dengan pengacara, yang menggunakan mulut untuk membela seorang terdakwa. Porsi “umat” lebih banyak daripada “seorang”, maka jatuhlah pilihan menjadi pembawa berita. Argumen bodoh itulah yang sempat aku ajukan untuk meredakan amarah seorang ayah. Bagaimanapun juga surga ada di telapak kaki Bunda. Tapi Bunda sempat bilang bahwa kuncinya ayah yang pegang. Jadi, aku harus membuat si juru kunci menjadi tidak terlalu keki.

”We can not not communicate”, kalimat yang cukup popular di telinga setiap mahasiswa komunikasi. Tapi tidak dengan saya. Saya tidak bisa mengatakan kepada dunia bahwa saya mencintai siapa. Tidak mungkin. Tidak boleh. Tidak bisa. Mungkin, kata-kata itu pula lah yang akan dikatakan semua orang kepadaku apabila aku bercerita tentang kondisiku, “tidak mungkin,, tidak boleh,, tidak bisa,,”.

Saya tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini. Dan itupula yang akan dikatakan oleh kedua orang tuaku saat mereka tahu yang sebenarnya. Bunda pingsan dan ayah menyuruhku bunuh diri. Mereka tidak pernah berdoa untuk melahirkan pria yang akan menyukai sesamanya. Sebagai manusia yang manusiawi, aku mempunyai kemampuan merasakan cinta. Cinta datang dan untuk bermacam situasi dan lingkungan, dari keluarga, teman, ataupun lingkungan sekitar. Tapi bagiku, yang terpenting adalah aku harus mencintai diri sendiri. Cinta akan datang jika aku mencintai diriku sendiri yang bebas mencintai siapapun yang kukehendaki. Tak terkecuali.

Dan kini ketika cinta itu harus direlakan untuk pergi, aku bak menjalani program rehabilitasi yang katanya bisa mengobati rasa patah hati. Melepas dari segala candu yang penuh nestapa. Yang tega membuatku harus merasakan nista. Aku tidak pernah bisa memarahi atau menceramahi diri untuk bisa menyukai siapa. Menjatuhkan pilihan kepada seorang pasangan sesuai adat. Dan sayangnya, tidak satupun dari keempat adat yang mengalir ini memperbolehkan aku memilih laki-laki.

Kosong, seperti tembang yang dipopulerkan Dewa. Ditemani hantu yang membuntutiku. Bayangan tentangnya. Bagaimana bisa saat di tengah keramaian dan aku masih merasa sepi? Sendiri memikirkan kamu. Sebuah rupa yang masih bisa kugambarkan tanpa harus memejamkan mata. Hantu yang berani-beraninya mencuri hati dan menorehkan namanya dengan menggunakan spidol permanen supaya tidak bisa terhapus. Hantu sialan. Hantu jahanam. Hantu terkutuk. Hantu yang akan selalu menjadi masa lalu.

“Beneran gak sakit yah, mas?”
“Sedikit sih, tapi setelah itu biasanya jadi nyandu.” Jawabku kepada salah satu pelanggan.
“Saya gak nyangka lho mas, seorang pembaca berita terkenal seperti mas ternyata seorang tattoo artist!”
“Pilih dulu deh mas gambarnya, nanti makin lama lho. Prosesnya bisa makan waktu enam jam kalau gambarnya besar.”

Tiap gambar mempunyai arti dan filosofi bahkan konsekuensi. Bahkan ada anggapan bahwa setiap pemilik tato harus bisa mengamalkan apa yang tergambar pada tubuhnya sepanjang usia. Namun kini, tato telah menjadi bagian dari tren, gambarnya dipilih dengan berbagai alasan. Seni merajah tubuh bukan lagi milik kalangan preman dan seniman.

Bangsa Yunani kuno memakai tato sebagai tanda pengenal para anggota dari badan intelijen, mata-mata perang pada saat itu. Aku mulai menggali tentang asal muasal tato yang mulai menjamah Cina sekitar tahun 2000 SM. Wen Shen atau lebih dapat diartikan sebagai akupunktur badan. Dimasanya, tato dijadikan tanda bahwa seseorang itu berasal dari golongan budak dan tahanan sehingga harus dirajahi ke setiap tubuh mereka. Lain halnya dengan budaya tato yang lahir dari wanita etnis minoritas Drung, Dai, dan Li. Budaya tato dalam etnis ini dijadikan sebagai penangkal bahaya saat mereka diserang oleh etnis lain untuk dijadikan sebagai budak. Demi menghindari terjadinya perkosaan, para wanita tersebut kemudian mentato wajah mereka untuk membuat mereka kelihatan kurang menarik di mata sang penculik. Sedangkan di Indonesia, oleh suku dayak, tato dianggap seperti lentera atau lampu penerang menuju surga layaknya damar yang digunakan zaman dulu untuk penerang kegelapan.

“Saya ini atlet bola lho mas, masih amatiran sih”
“Terus?” aku cukup aneh karena pelanggan ini langsung cerita padahal saya tidak mewajibkan isi biodata sebelum di tato.
“Jadi kan keren aja mas. Mudah-mudahan tato bisa membuat saya memperbaiki badan saya biar ga kurus-kurus amat.”
“Hubungannya apa ya?”
“Kalau saya nge-gol-in, saya pasti buka baju. Kan malu kalo tato naga ini keliatannya jadi cacing. Makanya, dengan pakai tato, mudah-mudahan saya jadi semakin niat buat ngebesarin otot.”
“Oh gitu ya. Sekarang sudah jadi tren sih ya. Padahal bagi suku Mentawai, seseorang sampai bunuh-bunuhan supaya bisa mendapat tato di tangan musuhnya. Makanya bikin tato gak boleh sembarangan.” aku berusaha memberikan penjelasan kepada pelanggan gila bergaya ini.

Menjadi penato adalah hobi yang tersalurkan. Alangkah hore-nya apabila melakukan sesuatu yang disenangi kemudian dibayar. Sama seperti halnya dibayarin pacar, INDAH. Ini adalah bakat dari seorang kakek yang memang pelukis terkenal dijamannua, dan akulah yang mendapat keberuntungan turunan. Sebisa mungkin kusempatkan untuk menangani langsung para pelanggan. Sayangnya, kesibukan pekerjaan kantoran ini tidak terelakkan sehingga aku harus mempercayai beberapa bawahan untuk berkreasi seapik mungkin. Terlebih kasus teranyar di seluruh media di Indonesia yang menjadi “agenda setting” sebulan terakhir ini benar-benar menyita waktuku untuk tetap tinggal di studio dan lapangan. Lagi-lagi kasus korupsi dan pembunuhan yang masih menjadi misteri. Tidak ada yang berani disumpah dan bersaksi. Mereka terlalu pengecut dan murahan untuk berhadapan dengan para mafia hukum. Biarkan aku menjadi aparat yang berwenang mencari berita, menyiarkan, berdebat, hingga dipaksa untuk stop berkoar-koar lewat layar kaca. Khalayak berhak tahu kebenaran yang harus segera diungkap.

“Kalau mas Aldy pasti tatonya banyak yah?”
“Ha? Oh, cuma satu,” aku sampai pada kesimpulan bahwa orang ini sungguh sangat bawel.
“Apa, mas?” oh ralat, bukan hanya bawel, ternyata dia Maha Ingin Tahu.
“Dadu.”

Bagiku, hidup adalah taruhan. Aku tidak bisa hanya sekadar memilih untuk hidup bahagia di dunia dan masuk surga setelahnya. Bertaruh adalah kenyataan yang harus dihadapi bagi yang masih ingin merasakan nikmatnya bernafas.

Cukup untuk hari ini. Langkah ini membawa kembali ke apartemen yang hanya ditempati oleh aku dan Lona. Lona hanyalah ikan berwarna merah dan kuning keemasan dengan titik biru berkelompok di sekitar mata indahnya. Diameternya kurang lebih 20cm, dan terlihat sangat makmur di kolam super besar. Mungkin karena dia menjadi ratu di dalam situ, satu-satunya yang kuberi makan, tak ada saingan. Sama seperti pemiliknya, sendiri.

Aku tidak pernah menyalahkan Ben yang mencampakkanku. Meski begitu, aku tetap menyukainya. Sama halnya seperti aku yang sangat menyukai Jakarta. Kota dimana Ben hidup dan tinggal. Dimana kita masih bisa melihat matahari yang sama di langit yang sama. Kami berpisah baik-baik setelah Ben memilih untuk membahagiakan kedua orang tuanya dan dijodohkan dengan anak salah satu koleganya. Kemudian aku menjadi pincang. Ini hanya karena aku tidak sekuat Adam bahagia ketika tulang rusuknya diambil kemudian “adakadabraaaa” menjelma seorang Hawa untuk menjadi pasangan seumur hidup dan beranak pinak. Kenyataannya, pakai terapi dan kecanggihan teknologi kedokteran seperti apapun, Ben dan aku tidak akan pernah bisa berkembang biak. Aku bukan Siti Maryam yang bisa melahirkan bayi tanpa ada yang membuahi. Lagipula Siti Maryam itu berlabel : PEREMPUAN, sehingga masih punya kesempatan dan kemungkinan untuk melahirkan. Sedangkan aku, 100% laki-laki tulen. Dan keluarga Ben, butuh seorang anak laki-laki untuk diwariskan garis keturunan marganya.

Aku tidak pernah menyalahkan Ben yang pergi begitu saja. Ini adalah awal yang baru. Masalah sederhana. Aku tidak dipilihnya. Sakit tapi harus diterima. Dibuang oleh sang tersayang. Ben telah menghancurkan segala harapan, melanggar yang telah diucapkan, berkhianat, kemudian pergi hingga membuatku merasakan derita seperti ini. Tapi aku tetap memilih untuk hidup, dan.. memutuskan untuk bertaruh dan melihat bagaimana kami di akhir cerita.

Aku melihat sebuah amplop klasik terselip di kolong pintu,
“Aldy,tutup kasus sampai disini atau kamu yang mati. ‘M’.”

Thursday, January 14, 2010

rumah kedua

#Cuplikan 4

“Gi, jadi ketemuan gak?”
“Jadiiiii!! Gila susah banget sih ngehubungin lo. Dua minggu ngilang gak ada kabar!”
“Yauda, di toko nyokap gue aja ya. Gue on the way ke sana”
“Ya ampuuun, mendadak amaaat! Gue kesana sekarang, tungguin ya.. Jangan kabur dulu!”
“Iya, buru ya.. takutnya gue berubah pikiran”
“Iya.. tapiiii..”
“Apa?”
“Gratis ya? Hehe.. kan toko nyokap lo? Pleaseee??”
“Dengan catatan, 30 menit dari sekarang, gue uda harus denger suara cempreng lo.”
Klik.

Hanya satu yang saya benci selama menghabiskan waktu disini, angkot hijaunya enggak nahan. Mungkin mata pencaharian utamanya penduduk kota ini adalah supir. Sedangkan mata pencaharian keduanya adalah pawang hujan. Keseimbangan dua sisi. Bogor tetap tersohor dengan kemenarikannya. Semakin dibuat macet oleh pelancong setiap akhir pekan.

Mungkin Raffles juga jatuh cinta pada kota ini. Meninggalkan sebuah bangkai untuk dijadikan kenangan. Bangkai paling aduhai. Berbentuk bunga raksasa untuk dipuja.

Toko kue Ibu berada di daerah Taman Kencana, tempat wisata kuliner paling asyik di Bogor. Hanya saja toko itu tidak terletak dipusatnya, akan tetapi berada dideretan perumahan. Toko Ibu cukup unik. Desain rumah tua dimana bentuk batu-batunya terlihat jelas. Bagian yang paling menyenangkan dari ini adalah tungku perapian yang bukan hanya sekadar pajangan. Tidak hanya itu, bagian tengahnya dipercantik dengan piano putih yang biasa dimainkan oleh pengunjung yang seringnya tergolong piawai, atau hanya anak kecil yang sedang ikut-ikutan Ibu mereka belanja kue dan kemudian merengek penasaran ingin memencet tuts yang menjadi ciri khas instrument musik ini.

Kami bisa menyadari setiap pengunjung yang masuk, ada suara gemerincing lonceng. Ibu tidak perlu menyetel sebuah mesin penerima tamu yang akan berkata “Welcome” secara otomatis. Wanita yang masih terlihat cantik diumurnya yang genap 45 tahun pada bulan Maret itu senantiasa menyambut ramah “Selamat Datang” kepada semua jenis pengunjung, sesibuk apapun dia. Baik sedang di kasir, tungku oven, ataupun sedang diam termangu sambil menyender di pembatas teras samping.

Inilah toko kue impian kami. Ibu tahu benar bagaimana memanjakan perut anak kesayangannya ini. Apapun bisa menjadi lezat melalui tangan ajaibnya. Bahkan, kini toko Ibu menjadi spesialis paling laris dipesan diberbagai acara pernikahan. Alamak, mamak!! Kau tidak pernah membuat saya berhenti mengagumimu.

2nd home, nama yang Ibu pilih. Rumah bagi siapapun yang ingin singgah. Tidak membeli pun tak apa. Pun Ibu suka memberikan teh hangat cuma-cuma untuk penduduk sekitar yang sekadar berteduh dari hujan. Ibu memang Ibu terbaik. Dia tidak pernah mengeluh sejatuh apapun dia, selalu berbagi, mengajarkan supaya saya berusaha berdiri disaat berdiri bukanlah sesuatu yang mudah.

Toko ini memang rumah kedua untuk siapapun yang berada didalamnya. Beberapa meja dan bangku dari bahan kaca dan plastik bening memenuhi bagian dalam maupun teras samping dan belakang. Sebagian kue dipajang di etalase setting-an meja bar yang dipadu padan dari bahan kayu dan kaca. Dominasi warna putih, bukan dominasi tepatnya, tapi semua interior bagian dalam memang berwarna putih, seperti Lily. Televisi berukuran 14 inch digantung di bagian tengah ruangan, di sekitar etalase kue sebelah kanan mesin minuman. Pengunjung dipersilahkan meracik sendiri minuman yang diinginkan.

Sudah lewat 4 menit, Anggi belum datang.
“Bu, kalau Anggi datang, suruh langsung ke teras atas aja ya”
“Gak gerimis, Nak? Mau ngapain kamu diatas?”
“Udah berhenti kok, Bu. Aku mau cari insipirasi buat tulisanku.”
“Oh, yauda.. tapi nanti Ibu baca dong sayang!”

Spot ini selalu memanggil saya untuk menghabiskan waktu setiap pukul 4 sore hingga malam hari. Saya merasa lebih dekat dengan langit, padahal batang pohon rindang itu berjarak sangat tipis dengan payung meja yang terletak paling pinggir di teras atas. Lantainya dari kayu. Hanya muat untuk kapasitas 4 sofa yang sengaja diletakan sepanjang bagian pembatas. Bagian tengah malah sengaja dikosongkan. Ibu mengisinya dengan menempatkan ayunan pantai. Dari sini saya bisa melihat terangnya lampu lapangan baseball tempat murid-murid keturunan warga asing di kota ini berlatih tiap malam. Ada keceriaan dalam keletihan yang amat sangat.

“Callista!!” kecemprengan Anggi mengusir semua burung gereja.
“Lo telat 23 menit, jatah traktirannya hangus yah.”
“Kejam kamu, PKI!” protesnya.
“Haha enak aja! Kok telat sih, tumben?”
“Iya ni, tadi gue ngalamin kejadian menegangkan sekaligus kocak parah. Tadi sebenernya gue kesini bareng Darta. Tapi berhubung pengen buru-buru, gue memutuskan buat motong jalan terus naik bemo sampai di pengkolan depan.”
“Hahaha, segitu pengen ditraktirnya yah? Sampe motong-motong gitu.”
“Tunggu dulu! Gue belum selesai ceritanya! Tiba-tiba pas kita mau ngelewatin rel kereta, Bemonya mogok!” cerita Anggi antusias.
“Hahahahahaha”
“Terus si Darta panik, dan dia ga bisa gerak sama sekali. Yaudalah yah, seperti biasa, gue yang berperan sebagai superhero-nya. Gue turun cepet-cepet..”
“Dan dorong bemonya sekuat tenaga!!!” ucap kami berbarengan. “Hahahahahha begoooooo!!!”

Keperkasaan sahabat yang satu ini memang luar biasa. Teman terhebat sekaligus yang pertama saya kenal setelah kami diusir dari Jakarta. Anggia Renata. Hanya dengannya saya bisa sangat se-extrovert oti, padahal kenyataannya adalah saya tipikal introvert-nya manusia awam, karena berpikir bahwa menjadi pendiam itu keren.

Saya adalah seorang pelamun, jika lamunan terasa singkat, maka akan saya lanjukan dalam sebuah mimpi. Tuangan imajinasi tak terkendali, alam bawah sadar yang tidak membutuhkan emosi. Gratis yang penuh unsur dramatis. Tidak dikenakan tarif dan tidak perlu menjadi arif. Lewat bermimpi, siapapun bisa menjadi siapapun. Apapun bisa berwujud apapun. Dimanapun bisa tampil digambarkan dimanapun. Kapanpun bisa diatur kapanpun. Ini hanyalah soal kemauan. Mau bermimpi dan berimajinasi seberani seperti apakah yang saya inginkan. Intinya berani untuk tersenyum ketika melamun, berkelakar ketika membayangkan sesuatu yang liar, tanpa takut menjadi siapapun, mempunyai apapun, terjebak dimanapun, tidak terikat kapanpun, atau bahkan tidak perlu pusing memikirkan bagaimanapun untuk menjawab alas an mengapapun.

Berhenti bekerja sebagai seorang analyst yang telah menerima apresiasi di salah satu perusahaan consumer goods multinasional adalah keputusan yang mudah diambil. Saya hanya tidak ingin mimpi ini terbatasi oleh suatu zona kenyamanan untuk menjadi seorang yang kaya dan berada. Masa menganggap mendapat pujian itu adalah sesuatu yang hebat pun sudah lewat. Ketika saya merasa bahwa ternyata didikte oleh suatu rutinitas adalah penjara, maka saya putuskan untuk keluar dan menghirup udara kebebasan di luar dinding gedung tinggi yang telah saya tempati dua tahun terakhir ini. Yang saya pahami betul yakni untuk menjalani hidup sesejahtera mungkin, saya membutuhkan cinta dari pekerjaan yang saya jalankan.

Jangan paksa saya untuk terbangun dari mimpi yang serba tanggung. Lantas tersadar dalam keadaan dahi bersimbah keringat, merasa bingung karena akhir cerita yang menggantung, lalu berusaha mengingat tentang reka mimpi apa yang baru terlintas. Saya tidak ingin berada dalam keadaan setengah tidur, dan jangan paksa saya untuk memejamkan mata hanya karena saya belum berani menerima kenyataan hidup yang sebenarnya.

“Cal?”
“Please, don’t ask me to find a job!” pintaku lembut selayaknya seorang adik meminta tolong diambilkan gelas minumnya yang berada di atas meja hanya karena badan si kakak lebih tinggi untuk meraihnya.
“Kok tau gue mau tanya itu?”
“Karena gue yakin bahwa kita udah berteman selama 11 tahun”
“Sayang aja otak lo. Disaat semua orang berani mengorbankan apappun untuk mendapatkan pekerjaan, lo malah mangkir dari rel kemapanan seenaknya saja.”

Aku melihat sorot penuh pertanyaan dari Anggi, seorang putri kecil manis yang kini beranjak dewasa dan semakin merekah. Rambut ikalnya diizinkan untuk meneguhkan pernyataan bahwa rambut adalah mahkota wanita. Komposisi wajah yang pas, dan lekukan badan yang menjadi doa setiap perempuan. Yah, intinya Anggi cantik, baik, asik, enerjik, anti bajingan tengik, dan berisik. Berisik sekali karena hujan pertanyaannya.

“Lo pinter banget gitu loh, Cal!”
“Maka dari itu, Gi! Gue sadar kalau gue pinter dan gue jadi ga pengen aja ngegunain otak gue sebatas 14 lantai, 3 x 1,5 meja tulis, 30 cm jarak bangku ke komputer, dan apapun yang terlukis di pikiran lo tentang citra sebuah kantor”, Jawab saya santai.
“Bukannya pekerjaan lo kemaren adalah cita-cita lo banget ya?”
“Oh betul! Tepatnya, cita-cita alternatif yang diajukan ke otak setelah cita-cita menjadi arsitek luluh lantah karena gue tahu bahwa gue males gambar.” Sambil mengingat arsitek adalah pilihan kedua setelah menjadi dokter, cita-cita umum seorang gadis yang mengenakan rok merah.

“Terus lo lebih memilih menganggur?”
“Menganggur itu bukan kutukan! Ini pilihan, Nona! Lagian siapa juga yang ga ada kerjaan?”
“Terus apa? Menghabiskan waktu sepanjang hari dengan mimpi tak kunjung bangun?”
”Eh, lo gak bosen menggunakan kata ’terus’ untuk mengawali pertanyaan ya?hehe.. Percuma, Gi.. Lo ga akan pernah ketemu mentok kalau pengen berdebat sama gue.. hehe” godaanku menanggapi nada tinggi yang tak sengaja dimainkannya.
”Terus rencana lo selanjutnya apa?”
“Tenang, gue udah punya rencana hebat yaitu menjalani hidup tanpa rencana.”
“Lo tuh aneh!” hardiknya
“Mungkin.. masih mungkin loh yah.. mungkin gue pengen apply jadi fotographernya para ninja atau tukang tato atau pekerjaan lain yang membebaskan pikiran.”
“Ralat pernyataan gue bahwa lo tuh aneh. Lo tuh sakit, sakit jiwa!”

Bulan memang mungkin tidak sekeren matahari di pikiran anak kecil yang menganggap bahwa matahari itu jagoannya. Anak kecil yang menganggap bahwa untuk merasakan terang mereka tidak membutuhkan lampu untuk menjadi terang. Sedangkan kecantikan bulan menjadi pudar karena warna-warni lampu temaram kota nan aduhai. Lampu taman, lampu gedung pencakar langit, lampu sorot kendaraan, pernak-pernik lampu neon hias, atau sekadar lampu merah yang hanya mempunyai tiga warna. Tidak ada satu pun manusia yang ingin wajahnya disamakan dengan kecantikan bulan. Manusia beragumen bahwa permukaan bulan itu berongga, tidak cakep untuk ditransformasikan ke dalam bentuk wajah. Padahal foto yang diklaim menangkap momen para astronot berlompat-lompat dipermukaan bulan saja masih diragukan. Siapa yang tahu kebenaran bahwa bulan itu berongga tidak rata. Memangnya ada yang menjamin bahwa paras matahari itu mulus, licin, dan merata? Boro-boro memfoto matahari, tidak ada yang sanggup menatapnya dengan mata telanjang.

Saya hanya tidak ingin menjadi manusia seperti itu. Yang menyempitkan pandangannya terhadap sesuatu yang hanya mereka berani lihat dan sibuk menerka tentang apa yang dianggapnya hebat. Padahal Tuhan menciptakan matahari dan bulan karena suatu alasan. Tentunya bukan sekadar alasan saling melengkapi untuk pertanda adanya siang dan malam. Pasti banyak kesempurnaan yang ingin dipertontonkan melalui dua benda angkasa tersebut. Bahkan masih ada puluhan juta bintang dan meteorid, atau mungkin lebih, hanya saja kita tidak tahu pasti. Saya tidak takut untuk menguak rupa matahari. Hanya saja saya ingin bersyukur bahwa saya sudah mempunyai bayangan tentang bulan, dan belajar bagaimana keindahannya. Saya bersyukur untuk menjadi apa adanya, dan tidak ingin terjebak dalam perlombaan menjadi siapa yang lebih hebat. Hanya karena materi ataupun kenikmatan duniawi. Satu yang saya yakini, tidak ingin hanya seperti siang dan malam, tidak akan kubiarkan hidup ini berotasi di satu dimensi.