Wednesday, February 10, 2010

22 hari sebelum hari itu

#Cuplikan 8 (published FB 250110)

"Tumben pagi-pagi gini Ibu udah heboh manggil,"

Menuruni anak tangga, bidadari itu sudah kembali rupanya, Satin Zetarina. "Ziiieee!!" teriakku, kangen sekali.

"Callissss!!!" kamu makin cantik aja."
"Hahahaa, cantik kamu, buktinya udah ada yang buru-buru pengen ngawinin. Aku sih gak cantik-cantik amat, tapi keren!" pelukku mesra sambil bercanda narsis.

Kami hanya terpaut 3 tahun, sepupu dari garis keluarga Ibu. Sewaktu remaja, Zie rajin menginap dirumahku. Bermacam ritual kawula muda aktif kami jalani bersama hingga akhirnya terhenti karena saya harus pindah ke Jakarta, awal dimana ayah tidak seperti ayah yang dulu lagi. Hubungan saya dan Zie otomatis terputus. Hingga akhirnya enam bulan yang lalu, Zie menelepon dari kotanya, mengabarkan bahwa dalam beberapa bulan ke depan, Zie akan menetap di Jakarta. Menikah, itu tujuan utamanya.

"Sudah dulu kangen-kangenannya, sarapan sini bareng Ibu" ajak Ibu sambil menaburkan butiran cokelat meses diatas lembar roti berlapis mentega.
"Callis bawa ke kamar aja ya, Bu. Udah gak sabar pengen ngobrol panjang sama Zie" rengekku manja.
"Ya sudah. Kalau begitu kamu istirahat saja dulu ya, Zie. Tante mau jalan ke toko. Cal, kapan-kapan ajak Zie main ke 2nd home!"

Setelah memberikan nampan berisi dua tangkap roti bakar cokelat dan susu putih di gelas besar yang cukup ramping, Ibu pamit meninggalkan kami dengan mengenakan terusan bahan kaos berwarna hijau dengan gambar kelopak bunga berwarna merah keemasan. Sedangkan Zie dengan senyum cantiknya masih terpukau mengamati isi rumah kami yang sederhana namun penuh dengan karya fotografi. Salah satunya terpampang potret Ibu yang sedang memegang kamera SLR manual dengan lense tele. Dalam foto itu, Ibu terlihat sangat mewah dengan kemeja putih gombrongnya. Kerahnya sengaja ditekuk lebih tinggi. Rambut ikalnya yang menggantung dibiarkannya dikuncir lebih atas dari yang biasanya. Kulitnya selalu terlihat putih seperti namanya.

"Sekarang pacar kamu siapa, Cal?"Pertanyaan umum basa-basi yang ditujukan seorang teman lama yang baru bertemu setelah sekian lama kepada temannya yang sudah berada di kawasan 'seharusnya sudah punya tambatan hati'. Tapi sebaliknya hati ini tersumbat.
"Penting banget ya pertanyaan itu sehingga harus dilontarkan pertama kali? Helllo, Zie!"
"Hehe, penting doooong. Abisnya ini kamar gak ada foto cowonya. Aku nanyanya serius. Tapi terserah sih kalau gak mau cerita, mungkin kamu ngerasa udah gak nyaman lg ya cerita sama aku?"
"Gak ada. Dari pertama kali kita ketemu, terpisah, sampai akhirnya kamu muncul lagi, aku masih belum ketemu Mr. Right."
"Oke deh, Miss. Right. Pastinya kamu mahluk Tuhan yang paling sempurna ya, sampe-sampe harus ketemu sama mahluk tipe sempurna lainnya?"
"Hahhahaa, gak gituuuuuu!!"

Inilah kondisi pertemanan kami dimana satu sama lain bebas mengutarakan isi otak tanpa mempedulikan isi hati lawan bicaranya. Tapi, kami bisa lakukan itu sesantai mungkin. Tidak perlu basa-basi dan tidak perlu menjadi keki.

Salahkan ayah yang sangat buruk dalam memberikan teladan di saat puteri semata wayangnya beranjak remaja. Menjadi tidak percaya akan sisi baik yang dimiliki para pria yang tersebar di jagad raya. Romantisme menjadi hal yang memualkan. Ketulusan pria yang menunjukkan rasa suka pun menjadi hal yang menyebalkan.

"Emangnya kamu gak pengen ya mesra-mesraan?" diiringi tawa kecilnya.
"Ya ampun Zie, kalau cuma sebatas hubungan fisik yang aku pengenin dari suatu ikatan, itu dangkal banget."
"Iya, aku juga becanda kok. Aku cuma aneh aja sama kamu. Cantik, pinter, baik, tapi sayangnya gak laku-laku," sindirnya.

Zie mulai duduk di meja kebesaranku. Tempat dimana saya menjadi Tuhan saat mempemainkan semua tokoh yang ada di dalam cerita. Menulis sudah bukan menjadi aktivitas sekunder maupun tersier lagi. Saya mulai menciptakan lakon-lakon imajiner, berbicara dengan mereka, meluapkan perasaan, bahkan meciptakan karakter sesuai dengan apa yang diinginkan.Tuhan berzodiak libra, yang terlalu mengikuti suasana hati dan memerlukan banyak alasan untuk dipertimbangkan agar segala sesuatunya terlihat harmoni. Libra yang banyak dipengaruhi unsur gemini si muka dua, yang menciptakan realitas terpuji dalam kehidupan tercela.

"Waw, udah panjang juga ya ceritanya. Rencananya mau dijadii novel ya kalau sudah selesai?"
"Enggak."
"Trus?"
"Mau di-delete dan memulainya dengan cerita yang baru."
"Hah? Kok gitu?"
"Karena tak begini.. kau hianati hati ini, kau curangi aku," balasku sambil menyilangkan kedua telunjuk mengimitasi gaya Anang yang cukup fenomenal.
"Hahahahhaha" tawa kami pun pecah.

Terkadang, sangat wajar apabila manusia berlaku sangat egois dan overprotektif atas apa yang mereka miliki. Karena terlalu mencintai, tunduk pada hati, kehilangan kepercayaan diri, sehingga tidak ingin berbagi. Dan saya menyukai diriku yang seperti ini, keras kepala dan keras hati.

"Aku sempet nanya sih sama Aldy apakah dia mau kalau ceritanya aku sebarin di toko buku atau internet. Tapi Aldy kayanya marah, dia gak jawab pertanyaanku."
"Hah? Aldy?"
"Iya itu, yang lagi kamu baca."
"Kamu tuh gak berubah ya? Tetep aneh! Jangan-jangan selama ini kamu suka ngobrol sendiri di depan laptop?"
"Iya, hahahhahhaa"
"Sakit jiwaaaaaa!"

Berbicara dengan tokoh yang dibuat bukanlah sesuatu yang tidak waras. Justru saya terbiasa menjadi amuba dan membelah diri untuk merasa apa yang dirasakan para tokoh hasil kreasi. Saya bisa menangis dan tertawa karena rekayasa yang mereka lakoni. Tokoh-tokoh itu punya hak yang sama rata dalam mendapatkan atensi penulisnya. Tapi bukan berarti saya membangun unsur komunis dalam jiwa para tokoh imajiner.

"Banyak hal yang terjadi setelah aku pindah ke Jakarta."
"Iya, mama sempet cerita. Aku turut prihatin ya, Cal"
"Prihatin buat apa? Semuanya udah lewat kok."

Ibu belajar membuat kue. Bermacam bahan adonan telah diracik. Terkadang Ibu terlalu banyak mencampurkan telur yang dapat menimbulkan bau amis. Tapi setelah gagal, Ibu lalu mencoba sekian kali sampai akhirnya berhasil membuat kue yang lezat untuk dinikmati. Kami tidak akan bisa seperti ini tanpa niat mencoba untuk bangkit lagi dan lagi. Saya dan Ibu berada dalam keadaan terpuruk dimana kami banyak ditempa kesedihan. Tapi untuk menjadi permata, batu-batu itu juga ditempa ribuan kali. Kini bentuknya sudah bagus, bisa dijadikan perhiasaan. Pribadi yang kuat yang terpancar dalam reinkarnasi kami.

"Ngomong-ngomong ada yang aneh ya dari rumah ini?" kernyitan kening Zie semakin berlipat.
"Hah? Aneh apanya?"
"Aku perhatiin kok gak ada tv-nya ya? Kayak hidup dijaman primitif amaaaaat!"
"Hehe, biarin!"

Kemudian Zie beralih memperhatikan ketikan cerita yang saya karang. Sedangkan aku tenggelam dalam lekukan kasur berisikan kapuk. Cukup primitif emang. Tapi selama memberikan kenyamanan, tidak ada alasan untuk disingkirkan.

"Cal, gue perhatiin si tokoh Aldy ini kok kamu buat spesial banget ya?"
"Sengaja."
"Biar bisa jadi pacar imajiner?"
"Hahaha, pengennya siiiiih," saya mulai cengar-cengir karena malu.

Memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia yang kita tempati bersama. Hanya saja saya terlalu yakin pada hati kecil tentang seseorang yang akan datang itu memang tidak percuma untuk ditunggu. Mungkin saya dianggap terlalu banyak memberikan kriteria untuk memilih pasangan, terlalu tinggi dalam menetapkan stándar. Louis Vuitton dan Charles & Keith, keduanya banyak diminati oleh pembeli. Tapi para pembeli itu lebih tertarik untuk menjatuhkan pilihannya pada Charles & Keith. Mereka bilang, saya seperti Louis Vuitton, tidak dipilih bukan karena cacat atau tidak indah. Hanya saja, nilai untuk mendapatkannya sangat tinggi sehingga para pembeli tersebut bahkan agak ragu memasuki store-nya. Mereka lebih baik penasaran daripada harus terkaget dan minder pada harga yang terpampang. Padahal kenyataannya tidak seperti itu, saya tidak ingin menjadi Louis.

"Eh gimana? Kok bisa sih tiba-tiba mau nikah aja?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Panjang ceritanya. Segala sesuatunya dilancarin gitu aja. Lusa deh aku ajak kamu ketemuan sama dia. Bisa?"
"Hmmm sampai kayaknya ga bisa deh," sambil mengingat-ingat tentang rencana yang akan dilakukan.
”Yaaaah, kenapa?” raut muka Zie agak kecewa.
”Rencananya sih mau lari. Lari dari kenyataan”

Terhanyut hingga berada di sebuah areal lapang nan gersang, sesekali kulihat rumput-rumputan tumbuh dan mengering. Tiupan angin diantara kabut, menerbangkan butiran pasir hingga menyulitkan paru-paru bernapas. Sebuah gunung suci, tempat masyarakat Tengger mengadakan upacara Kasodo pada tengah malam setiap bulan purnama di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan jawa, setahun kali. Akan saya baptis diri ini di sana, menjadi seorang Callista yang baru, bertemu cinta yang baru.

“Ke Gunung Brahma, Bromo.”

No comments: