Thursday, January 14, 2010

rumah kedua

#Cuplikan 4

“Gi, jadi ketemuan gak?”
“Jadiiiii!! Gila susah banget sih ngehubungin lo. Dua minggu ngilang gak ada kabar!”
“Yauda, di toko nyokap gue aja ya. Gue on the way ke sana”
“Ya ampuuun, mendadak amaaat! Gue kesana sekarang, tungguin ya.. Jangan kabur dulu!”
“Iya, buru ya.. takutnya gue berubah pikiran”
“Iya.. tapiiii..”
“Apa?”
“Gratis ya? Hehe.. kan toko nyokap lo? Pleaseee??”
“Dengan catatan, 30 menit dari sekarang, gue uda harus denger suara cempreng lo.”
Klik.

Hanya satu yang saya benci selama menghabiskan waktu disini, angkot hijaunya enggak nahan. Mungkin mata pencaharian utamanya penduduk kota ini adalah supir. Sedangkan mata pencaharian keduanya adalah pawang hujan. Keseimbangan dua sisi. Bogor tetap tersohor dengan kemenarikannya. Semakin dibuat macet oleh pelancong setiap akhir pekan.

Mungkin Raffles juga jatuh cinta pada kota ini. Meninggalkan sebuah bangkai untuk dijadikan kenangan. Bangkai paling aduhai. Berbentuk bunga raksasa untuk dipuja.

Toko kue Ibu berada di daerah Taman Kencana, tempat wisata kuliner paling asyik di Bogor. Hanya saja toko itu tidak terletak dipusatnya, akan tetapi berada dideretan perumahan. Toko Ibu cukup unik. Desain rumah tua dimana bentuk batu-batunya terlihat jelas. Bagian yang paling menyenangkan dari ini adalah tungku perapian yang bukan hanya sekadar pajangan. Tidak hanya itu, bagian tengahnya dipercantik dengan piano putih yang biasa dimainkan oleh pengunjung yang seringnya tergolong piawai, atau hanya anak kecil yang sedang ikut-ikutan Ibu mereka belanja kue dan kemudian merengek penasaran ingin memencet tuts yang menjadi ciri khas instrument musik ini.

Kami bisa menyadari setiap pengunjung yang masuk, ada suara gemerincing lonceng. Ibu tidak perlu menyetel sebuah mesin penerima tamu yang akan berkata “Welcome” secara otomatis. Wanita yang masih terlihat cantik diumurnya yang genap 45 tahun pada bulan Maret itu senantiasa menyambut ramah “Selamat Datang” kepada semua jenis pengunjung, sesibuk apapun dia. Baik sedang di kasir, tungku oven, ataupun sedang diam termangu sambil menyender di pembatas teras samping.

Inilah toko kue impian kami. Ibu tahu benar bagaimana memanjakan perut anak kesayangannya ini. Apapun bisa menjadi lezat melalui tangan ajaibnya. Bahkan, kini toko Ibu menjadi spesialis paling laris dipesan diberbagai acara pernikahan. Alamak, mamak!! Kau tidak pernah membuat saya berhenti mengagumimu.

2nd home, nama yang Ibu pilih. Rumah bagi siapapun yang ingin singgah. Tidak membeli pun tak apa. Pun Ibu suka memberikan teh hangat cuma-cuma untuk penduduk sekitar yang sekadar berteduh dari hujan. Ibu memang Ibu terbaik. Dia tidak pernah mengeluh sejatuh apapun dia, selalu berbagi, mengajarkan supaya saya berusaha berdiri disaat berdiri bukanlah sesuatu yang mudah.

Toko ini memang rumah kedua untuk siapapun yang berada didalamnya. Beberapa meja dan bangku dari bahan kaca dan plastik bening memenuhi bagian dalam maupun teras samping dan belakang. Sebagian kue dipajang di etalase setting-an meja bar yang dipadu padan dari bahan kayu dan kaca. Dominasi warna putih, bukan dominasi tepatnya, tapi semua interior bagian dalam memang berwarna putih, seperti Lily. Televisi berukuran 14 inch digantung di bagian tengah ruangan, di sekitar etalase kue sebelah kanan mesin minuman. Pengunjung dipersilahkan meracik sendiri minuman yang diinginkan.

Sudah lewat 4 menit, Anggi belum datang.
“Bu, kalau Anggi datang, suruh langsung ke teras atas aja ya”
“Gak gerimis, Nak? Mau ngapain kamu diatas?”
“Udah berhenti kok, Bu. Aku mau cari insipirasi buat tulisanku.”
“Oh, yauda.. tapi nanti Ibu baca dong sayang!”

Spot ini selalu memanggil saya untuk menghabiskan waktu setiap pukul 4 sore hingga malam hari. Saya merasa lebih dekat dengan langit, padahal batang pohon rindang itu berjarak sangat tipis dengan payung meja yang terletak paling pinggir di teras atas. Lantainya dari kayu. Hanya muat untuk kapasitas 4 sofa yang sengaja diletakan sepanjang bagian pembatas. Bagian tengah malah sengaja dikosongkan. Ibu mengisinya dengan menempatkan ayunan pantai. Dari sini saya bisa melihat terangnya lampu lapangan baseball tempat murid-murid keturunan warga asing di kota ini berlatih tiap malam. Ada keceriaan dalam keletihan yang amat sangat.

“Callista!!” kecemprengan Anggi mengusir semua burung gereja.
“Lo telat 23 menit, jatah traktirannya hangus yah.”
“Kejam kamu, PKI!” protesnya.
“Haha enak aja! Kok telat sih, tumben?”
“Iya ni, tadi gue ngalamin kejadian menegangkan sekaligus kocak parah. Tadi sebenernya gue kesini bareng Darta. Tapi berhubung pengen buru-buru, gue memutuskan buat motong jalan terus naik bemo sampai di pengkolan depan.”
“Hahaha, segitu pengen ditraktirnya yah? Sampe motong-motong gitu.”
“Tunggu dulu! Gue belum selesai ceritanya! Tiba-tiba pas kita mau ngelewatin rel kereta, Bemonya mogok!” cerita Anggi antusias.
“Hahahahahaha”
“Terus si Darta panik, dan dia ga bisa gerak sama sekali. Yaudalah yah, seperti biasa, gue yang berperan sebagai superhero-nya. Gue turun cepet-cepet..”
“Dan dorong bemonya sekuat tenaga!!!” ucap kami berbarengan. “Hahahahahha begoooooo!!!”

Keperkasaan sahabat yang satu ini memang luar biasa. Teman terhebat sekaligus yang pertama saya kenal setelah kami diusir dari Jakarta. Anggia Renata. Hanya dengannya saya bisa sangat se-extrovert oti, padahal kenyataannya adalah saya tipikal introvert-nya manusia awam, karena berpikir bahwa menjadi pendiam itu keren.

Saya adalah seorang pelamun, jika lamunan terasa singkat, maka akan saya lanjukan dalam sebuah mimpi. Tuangan imajinasi tak terkendali, alam bawah sadar yang tidak membutuhkan emosi. Gratis yang penuh unsur dramatis. Tidak dikenakan tarif dan tidak perlu menjadi arif. Lewat bermimpi, siapapun bisa menjadi siapapun. Apapun bisa berwujud apapun. Dimanapun bisa tampil digambarkan dimanapun. Kapanpun bisa diatur kapanpun. Ini hanyalah soal kemauan. Mau bermimpi dan berimajinasi seberani seperti apakah yang saya inginkan. Intinya berani untuk tersenyum ketika melamun, berkelakar ketika membayangkan sesuatu yang liar, tanpa takut menjadi siapapun, mempunyai apapun, terjebak dimanapun, tidak terikat kapanpun, atau bahkan tidak perlu pusing memikirkan bagaimanapun untuk menjawab alas an mengapapun.

Berhenti bekerja sebagai seorang analyst yang telah menerima apresiasi di salah satu perusahaan consumer goods multinasional adalah keputusan yang mudah diambil. Saya hanya tidak ingin mimpi ini terbatasi oleh suatu zona kenyamanan untuk menjadi seorang yang kaya dan berada. Masa menganggap mendapat pujian itu adalah sesuatu yang hebat pun sudah lewat. Ketika saya merasa bahwa ternyata didikte oleh suatu rutinitas adalah penjara, maka saya putuskan untuk keluar dan menghirup udara kebebasan di luar dinding gedung tinggi yang telah saya tempati dua tahun terakhir ini. Yang saya pahami betul yakni untuk menjalani hidup sesejahtera mungkin, saya membutuhkan cinta dari pekerjaan yang saya jalankan.

Jangan paksa saya untuk terbangun dari mimpi yang serba tanggung. Lantas tersadar dalam keadaan dahi bersimbah keringat, merasa bingung karena akhir cerita yang menggantung, lalu berusaha mengingat tentang reka mimpi apa yang baru terlintas. Saya tidak ingin berada dalam keadaan setengah tidur, dan jangan paksa saya untuk memejamkan mata hanya karena saya belum berani menerima kenyataan hidup yang sebenarnya.

“Cal?”
“Please, don’t ask me to find a job!” pintaku lembut selayaknya seorang adik meminta tolong diambilkan gelas minumnya yang berada di atas meja hanya karena badan si kakak lebih tinggi untuk meraihnya.
“Kok tau gue mau tanya itu?”
“Karena gue yakin bahwa kita udah berteman selama 11 tahun”
“Sayang aja otak lo. Disaat semua orang berani mengorbankan apappun untuk mendapatkan pekerjaan, lo malah mangkir dari rel kemapanan seenaknya saja.”

Aku melihat sorot penuh pertanyaan dari Anggi, seorang putri kecil manis yang kini beranjak dewasa dan semakin merekah. Rambut ikalnya diizinkan untuk meneguhkan pernyataan bahwa rambut adalah mahkota wanita. Komposisi wajah yang pas, dan lekukan badan yang menjadi doa setiap perempuan. Yah, intinya Anggi cantik, baik, asik, enerjik, anti bajingan tengik, dan berisik. Berisik sekali karena hujan pertanyaannya.

“Lo pinter banget gitu loh, Cal!”
“Maka dari itu, Gi! Gue sadar kalau gue pinter dan gue jadi ga pengen aja ngegunain otak gue sebatas 14 lantai, 3 x 1,5 meja tulis, 30 cm jarak bangku ke komputer, dan apapun yang terlukis di pikiran lo tentang citra sebuah kantor”, Jawab saya santai.
“Bukannya pekerjaan lo kemaren adalah cita-cita lo banget ya?”
“Oh betul! Tepatnya, cita-cita alternatif yang diajukan ke otak setelah cita-cita menjadi arsitek luluh lantah karena gue tahu bahwa gue males gambar.” Sambil mengingat arsitek adalah pilihan kedua setelah menjadi dokter, cita-cita umum seorang gadis yang mengenakan rok merah.

“Terus lo lebih memilih menganggur?”
“Menganggur itu bukan kutukan! Ini pilihan, Nona! Lagian siapa juga yang ga ada kerjaan?”
“Terus apa? Menghabiskan waktu sepanjang hari dengan mimpi tak kunjung bangun?”
”Eh, lo gak bosen menggunakan kata ’terus’ untuk mengawali pertanyaan ya?hehe.. Percuma, Gi.. Lo ga akan pernah ketemu mentok kalau pengen berdebat sama gue.. hehe” godaanku menanggapi nada tinggi yang tak sengaja dimainkannya.
”Terus rencana lo selanjutnya apa?”
“Tenang, gue udah punya rencana hebat yaitu menjalani hidup tanpa rencana.”
“Lo tuh aneh!” hardiknya
“Mungkin.. masih mungkin loh yah.. mungkin gue pengen apply jadi fotographernya para ninja atau tukang tato atau pekerjaan lain yang membebaskan pikiran.”
“Ralat pernyataan gue bahwa lo tuh aneh. Lo tuh sakit, sakit jiwa!”

Bulan memang mungkin tidak sekeren matahari di pikiran anak kecil yang menganggap bahwa matahari itu jagoannya. Anak kecil yang menganggap bahwa untuk merasakan terang mereka tidak membutuhkan lampu untuk menjadi terang. Sedangkan kecantikan bulan menjadi pudar karena warna-warni lampu temaram kota nan aduhai. Lampu taman, lampu gedung pencakar langit, lampu sorot kendaraan, pernak-pernik lampu neon hias, atau sekadar lampu merah yang hanya mempunyai tiga warna. Tidak ada satu pun manusia yang ingin wajahnya disamakan dengan kecantikan bulan. Manusia beragumen bahwa permukaan bulan itu berongga, tidak cakep untuk ditransformasikan ke dalam bentuk wajah. Padahal foto yang diklaim menangkap momen para astronot berlompat-lompat dipermukaan bulan saja masih diragukan. Siapa yang tahu kebenaran bahwa bulan itu berongga tidak rata. Memangnya ada yang menjamin bahwa paras matahari itu mulus, licin, dan merata? Boro-boro memfoto matahari, tidak ada yang sanggup menatapnya dengan mata telanjang.

Saya hanya tidak ingin menjadi manusia seperti itu. Yang menyempitkan pandangannya terhadap sesuatu yang hanya mereka berani lihat dan sibuk menerka tentang apa yang dianggapnya hebat. Padahal Tuhan menciptakan matahari dan bulan karena suatu alasan. Tentunya bukan sekadar alasan saling melengkapi untuk pertanda adanya siang dan malam. Pasti banyak kesempurnaan yang ingin dipertontonkan melalui dua benda angkasa tersebut. Bahkan masih ada puluhan juta bintang dan meteorid, atau mungkin lebih, hanya saja kita tidak tahu pasti. Saya tidak takut untuk menguak rupa matahari. Hanya saja saya ingin bersyukur bahwa saya sudah mempunyai bayangan tentang bulan, dan belajar bagaimana keindahannya. Saya bersyukur untuk menjadi apa adanya, dan tidak ingin terjebak dalam perlombaan menjadi siapa yang lebih hebat. Hanya karena materi ataupun kenikmatan duniawi. Satu yang saya yakini, tidak ingin hanya seperti siang dan malam, tidak akan kubiarkan hidup ini berotasi di satu dimensi.

No comments: