Friday, January 22, 2010

Aku ternyata rekayasa Saya

#Cuplikan 7

“Ini sudah kali ketiga aku mendapat surat ancaman dalam seminggu terakhir. dan aku tahu benar siapa bajingan yang mengirimkannya.”

Libur akhir pekan. “Lona, kamu lihat sepatu lariku gak?”?

Kuobrak-abrik lemari sepatu tapi tak berhasil ditemukan. Sabtu pagi adalah waktu terbaik dalam satu minggu. Aku tidak perlu berperang melawan kemacetan, sumber ketidakwarasan penduduk kota dimana sering terdengar sekawanan binatang haram dielu-elukan dari balik setir kemudi.

“Aha, ketemu! Lona, aku jalan dulu ya. Kamu mau sarapan apa?”

Bagaimanapun juga, aku ingin membahagiakan ikan kesayanganku, karena hanya dia satu-satunya tempat aku mencurahkan segala gundah hati. Aku tidak peduli dengan kenyataan bahwa Lona bernapas dengan insang, kenyataan bahwa Lona tidak punya paru-paru itu tidak mengapa. Lain halnya apabila ternyata dia punya telinga, berarti selama ini Lona hanya akting peduli. Tapi memang Lona agak aneh, setiap kali sesi curhat, Lona tetap asyik berenang kian kemari.

”bluUUup bLuuuPP bluUUuuP”
”Lona, kamu aneh. Ditanyain kok malah niup-niup air. Kalau nanti kembung, gimana? Dah Lona, jaga rumah ya, jangan keluyuran soalnya lagi banyak penculikan!”

Berlari adalah momen dimana aku bisa merasa lepas. Bebas mengendalikan kapan harus menambah kecepatan atau malah berhenti karena kecapaian. Satu jam sudah cukup sukses membuat napasku terengah-engah, setidaknya satu minggu sekali. Keringat ini sudah membasahi seluruh bagian kaos yang diselimuti sweater abu-abu. Pagi ini cukup sepi, padahal sudah garis sudah menunjuk angka 7. Taman DeRaksa, masih dalam kompleks apartment yang kutinggali. Pepohonan besar menghiasi track untuk pejalan kaki dan pelari, dikotori daun-daun mulai berguguran. Warnanya hijau kecokelatan.

Dinding pemisah antara DeRaksa dan Dirjani berhasil kupanjat. Masih menjadi pertanyaan besar kenapa Dirjani ditutup untuk umum. Aku yakin alasannya bukan karena taman ini angker. Rumput golfnya masih rapih seperti selalu diurus. Lampu tamannya pun masih berfungsi, mungkin lupa dimatikan oleh si penjaga yang ketiduran. Ada bangku panjang dengan sandaran berwarna cokelat tua dan unsur besi hijau dibagian pinggir untuk pijakan tangan. Sudah pasti masih ada yang sering berkunjung ke taman ini. Tapi siapa?

”Woi, gue telfon ga diangkat”
“Hahaha, mampu gaji berapa emangnya lo sampe gue harus angkat telfon di hari libur?” candaku pada Tari, nama lama dalam kehidupanku.
“Jadi ini nih sambutan buat temen lo yang baru kembali dari luar kota?” kami berpelukan tanpa perasaan.

Tari adalah temanku sejak kecil hingga sekarang, menjadi sahabat di kompleks kami yang penuh kenangan. Sembilan tahun sejak perkenalan, Tari bersama yang lainnya harus ikut ayahnya yang berdinas ke Surabaya. Sebenarnya, Tari bisa saja memilih untuk tidak ikut saat itu, apalagi ayahku sudah menawarkan rumah kami apabila Tari ingin tetap berdomisili dan melanjutkan SMA-nya Jakarta. Bersamaku, teman sekaligus seseorang yang sudah dianggap kakak laki-lakinya.

”Ya ampun, udah hampir 10 tahun lho kita gak ketemu. Kenapa gak ngabarin? Kan bisa gue jemput di Cengkareng.”
”Gue sengaja mau bikin kejutan. gue tadi juga mampir ke rumah lo. Sempet ketemu Bunda juga, makanya gue tau lo tinggal di sini”
“Pindah untuk seterusnya kan nih? Bukan cuma mampir?”

Selain Lona, Tari juga tahu segalanya. Jarak sudah putus asa berusaha memutus tali silahturahmi kami. Selain hanya 10 cm jika dihitung di peta Indonesia, teknologi pun semakin mendekatkan kami. Jadi tidak alasan untuk alpa bertegur sapa.

”Rencananya gue balik ke sini lusa. Tapi, sengaja gue percepat. prihatin sama keadaan lo yang uda kena teror dua kali, haha. Siapa sih orangnya?”
”Yah, kalau gue tau, namanya bukan teroris. Ketiga, bukan kedua.” kutunjukkan surat yang kebetulan kukantongi sebelum menghirup oksigen pagi. Tari membaca tulisan itu berulang kali, hanya kernyitan yang dia tampakkan. ”Elo bikin masalah sama seseorang, Dy?”
”Gue ga punya musuh sama sekali kok, tapi..”
”Tapi?”
”Ah udahlah, nanti saja bahasnya. kita balik ke apartment” ajakku sambil perlahan-lahan meninggalkan Tari yang masih tenggelam di bangku kayu.

Hal yang baru aku sadari dari pemandangan di sekitar Dirjani adalah adanya sebentuk prisma dari bahan granit. Beberapa tangkai bunga menghalangi, mungkin sengaja supaya tidak menarik perhatian para begundal yang berani melompat kemari. Kuseka tetes embun yang menempel,

”Kau adalah karya terindah Tuhan yang bisa aku inderai. Mata ini mengagumi cara matamu menunjukkan cintamu yang sederhana. Saat telingaku rindu mendengarkanmu membacakan buku ketika aku terlelap dipangkuanmu,di saat itu pula aku ingin membaui aroma kopi yang menempel pada bulu-bulu halus disekitar hidung dan dagumu. Mungkin harapanku untuk menyentuh dan meraba wajahmu adalah hal yang mustahil. Tapi aku tidak akan pernah berhenti untuk mengatakan pada dunia bahwa aku mencintaimu. Pernah, saat ini, dan selamanya."

Sekilas aku menoleh bangku taman itu. Bisa kubayangkan bagaimana sepasang manusia bisa saling mencintai tapi harus terpisahkan. Dirjani, area khusus bagi si penulis syair bersama belahan jiwanya. Tempat menghabiskan waktu di bawah matahari. Menikmati teduhnya siang dengan berbekal makanan favorit yang sudah disiapkannya dalam keranjang. Sang pria membacakan cerita dan sang wanita merapihkan alas untuk bersantai dan bersantap siang. Renyah tawa bisa terdengar, senyum lebar bisa tergambar. Cinta untuk memenuhi hati.

”Dy, ayo buruan!” teriakan Tari mengagetkanku. ”Gue udah minta dibukain pagernya nih.”
”Loh kok?” aku agak heran karena ternyata ada penjaga yang mengawasi taman ini, dan tampaknya cukup ramah dengan tidak mengusirku yang kurang ajar memasuki daerah ”terlarang”.

”Lo sangka gue bisa tau lo di sini dari siapa? dari Bapak ini, dia yang kasih tau kalo lo disini saat gue nanya orang receptionist.” penjelasan Tari sambil memberikan uang ala kadarnya karena telah memberikan jasa memberi tahu dimana keberadaan orang yang paling ingin ditemuinya beberapa menit yang lalu. ”Makasi yah, Pak”

”Kita naik sepeda aja yuk baliknya” Tari sudah mempersiapkan sepeda untuk kami tumpangi.
Dan aku hanya terdiam melihatnya sinis, ”Jadi, sampe sekarang lo belum bisa naik sepeda? Ya ampun Aldy!!!!” disambut tawanya yang menggelegar.


Sabtu dan Minggu selalu berjalan dengan sangat cepat. Dan aku harus membiasakan diri didikte rutinitas kembali. Suasana studio cukup panik setelah mendapat peringatan dari penelepon misterius yang mengancam akan bertindak hal yang tidak diinginkan apabila kami tidak mengindahkan apa yang dimintanya. Tapi, pertunjukkan harus tetap berlangsung, aku harus menjaga supaya konsentrasi tidak buyar dan tetap stabil mengarahkan pandangan pada satu titik kamera. Beberapa kali aku mencuri lihat apa yang sedang terjadi. Beberapa diantaranya mulai berbisik dan berpantomim gusar. Seusai siaran langsung, bos besar memanggil seluruh tim berita untuk berunding diruangannya.

”Gue minta pengertiannya supaya kita nutup kasus ini.”
”Tapi kan itu cuma ancaman, Bos!” seru yang seorang kameramen yang mendapat dukungan.
”Tapi lo gak akan sempet meralat apa yang lo bilang sekarang kalau ancaman yang lo bilang itu sudah berubah jadi kenyataan,” si bos memang masih cukup tenang dalam mengarahkan kami untuk mengikuti apa yang dimintanya. Tampak gurat kekecewaan dari sekumpulan jurnalis yang idealis. Mereka tidak peduli pada apa yang akan terjadi, selama masih menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan pada masayarakat luas.

Jurnalisme adalah pilar keempat dalam negara demokrasi, yang memiliki peran penting dalam memberikan informasi, mencerdaskan, dan menghibur masyarakat melalui media. Pers, si anjing penjaga, yang mengontrol bagaimana kekuasaan itu dijalankan oleh yang memiliki kekuasaan. Idealisme jurnalis menuntut kami untuk tidak menodai fungsi pers sehingga menjadi tercoreng. Terpaku dalam pikiran bahwa pers yang baik akan menghasilkan masyarakat yang baik.

Hanya keberanian yang menjadi aset, modal, dan bekal bagi para kami untuk terus meliput. Selanjutnya, tingkat keberanian lebih tinggi akan diperlukan untuk menerbitkan apa yang telah kami liput. Risiko adalah suatu seni yang harus dinikmati supaya kami tetap berkarya. Keberanian untuk memilih tunduk pada kejujuran berita daripada setumpuk sogokan. Keberanian mendapat perlakuan kurang terhormat bahkan dalam suasana terancam.

Kebebasan informasi bereinkarnasi sebagai anugerah berkah reformasi. Sayangnya, pers dan wartawan menjadi sosok yang ditakuti, karena dapat menjatuhkan musuh melalui pengaturan agenda berita. Jurnalis adalah pendekar dengan segala keterbatasan, yang menjamin setiap masyarakat berhak atas segala berita yang jujur dan akurat.

”Oke, semua bubar. Semua sudah jelas. Dan tolong, topik utama besok dialihkan ke Gempa kemarin saja. Terima kasih semua. Forum ditutup.”

Kekecewaan tertuang dalam raut wajah semua orang yang berkumpul, tak terkecuali si bos yang kini sedang melamun sambil bertolak pinggang dengan pandangan tertuju pada tumpukan map yang berserakan di meja. Ada keputusasaan dalam wajahnya.

Buah Simalakama. Jujur adalah relatif, saat kami berusaha jujur, kami menjadi sangat tidak fleksibel sehingga harus dipersulit untuk menggali kasus yang lebih dalam. Pun begitu ketika mengejar keinginan yang diimpikan, kami dikatakan tidak realistis. Dan bila kami berusaha menapaki jalan untuk memperoleh kesempurnaan, kami dikatakan terlalu perfeksionis dan dipenuhi ambisi. Maka, sungguhlah menyesakkan apabila kami harus menerima kekalahan atas sebuah teror. Stop mencari segala fakta yang dapat membungkam yang bersalah ketika tak kuasa dihujani argumen dan bukti yang nyata.

Setelah semua pergi, aku pun berpikiran untuk menyusul mereka.
”Dy, sebentar!”
”Menurut lo, apa yang gue lakuin ini salah?”
“Salah atau benar sudah udah gak penting lagi. Semua argumen juga akan diabaikan. Apa masih perlu pendapat saya?”

Dasi ini sudah kulonggarkan paksa. Kubuka satu kancing sehingga kaos putih didalamnya pun terlihat. Beberapa kali si bos mengusap kasar kepalanya, pertanda dia berusaha memikirkan sesuatu karena berada dalam tekanan. Belum sempat kaki kiri kupijakkan kelantai melewati ruangan tak berpintu ini,

”Gue tau lo dapet teror, Dy.”
“Dari mana lo tau?”
“Gak penting darimana gue tau, yang penting lo dan yang lain terjamin keselamatannya”
“Udahlah gak penting. Kita urus aja urusan masing-masing,” hardikku.
”Gue kasih lo cuti minggu depan. Ini perintah, bukan untuk dibantah.”
****


CTRL + S. ”Akhirnyaaaaa, bab ke 9 tulisan ini beres juga.”
”Hmmm, Aldy, karakter yang mengesankan. Entah apa yang akan dilakukannya lagi nanti. Tuhaaan, berikanlah insiprasi pada otak ini!!!”

Saya membaca berulang kali cerita yang sudah berjalan cukup panjang, sampai tidak tidur semalaman karena terlalu asyik melanjutkan naskah yang ingin segera ditamatkan.

”Callista! ayo turun dulu, ada kejutan buat kamu.” teriakan Ibu cukup menganggu kantuk.
Terlalu banyak kejutan dan pertanyaan. Maka bertanyalah akan penasaranmu, dan hampirilah,
”Sebentar, Bu!”

Thursday, January 21, 2010

Colosseum

#Cuplikan 6

“Mau kemana neng?”
“Ke dalam, Pak. Emangnya sekarang udah dilarang ya?”
“Oh silahkan sajah, tapi Bapak saranin jangan sendirian atulah”
“Kenapa, Pak? Saya sudah sering kesini kok, dan aman-aman saja”
“Oh yasudah kalau begitu, asal hati-hati saja. Maklum disini teh sepi kalau sore”
“Iya, Pak, makasi ya. Saya masuk dulu”
“Sok atuh, silahkan”

Colosseum, nama yang saya berikan sebagai tempat pelarian untuk menyendiri. Bukan di Roma dimana para penemu terkemuka dilahirkan. Tetapi, 63km dari Jakarta dan masih butuh perjuangan selama 45menit untuk masuk ke pedesaan penuh liku. Bangunan yang belum sempat terselesaikan ini sungguh menyerupai Colosseum asli versi mini, peninggalan sejarah berupa gedung pertunjukan yang pernah menjadi bagian dari 7 Keajaiban Dunia, yang dibangun 1900 tahun silam.

Saya melihat sekeliling. Masih sama, tetap klasik, unik, dan cukup eksentrik untuk berada di sebuah pedesaan. Rupanya menyerupai stadion dari tumpukan batu yang disemen. Tidak ada sepetak keramik, pasir, atau alas apapun yang membalutinya. Tidak ada atap dan dibiarkan terbuka. Mungkin dananya keburu dikorupsi sehingga pembangunannya tidak tuntas, dirampok aparat yang keparat. Sama halnya dengan Raja Herod yang pada tahun 64 M merampok kuil besar di Jerusalem untuk membangun konstruksinya. Tapi, ini indah. Salah satu keajaiban dipinggiran kota.

Pintu masuknya pun hanya sebuah pagar rusak setinggi dada. Tidak terkunci sehingga tidak harus dipanjat oleh wisatawan aneh yang ingin meluangkan waktu untuk melamun sejenak. Di dekat pagar ada sebuah menara tak terurus, entah apa gunanya. Sedangkan di sebelah kiri, terdapat area balapan motor bagi anak kampung yang hobinya ugal-ugalan. Saya langkahkan kaki ini dengan mengumpulkan keberanian. 20 langkah dan saya sudah melewati lapangan basket dimana ringnya sudah bengkok tak karuan, mungkin masih sering digunakan pemuda sekitar. Disampingnya, terdapat lapangan tenis. Dinding kawat yang melapisinya sudah dipenuhi sarang laba-laba. Tiang lampu yang berdiri renta di setiap sudut lapangan pun sudah kehilangan neonnya, mungkin dicuri. Sungguh aneh memang, entah apa yang ada dipikiran arsitektur lingkungan ini, mungkin tadinya ditujukan untuk kompleks sarana olahraga.

Ilalang ini sudah terlalu panjang. Bagian yang paling tidak menyenangkan adalah durinya. Menyayat penuh kepedihan. Tinggal beberapa lagi dan akhirnya akan segera saya temui anak tangga menuju Colosseum. Sekilas saya merasa mejelma sebagai saint saiya yang bertugas menyelamatkan Athena. Yang harus melewati reruntuhan anak tangga untuk mencapai kuil berikutnya dan melawan satu per satu dewa yang melambangkan 12 zodiac.

"Hey Callista! Akhirnya nyampe juga lo!! Buruan woi!!"

Judith. Si anak bengal yang tampaknya selalu membeli kaos berwarna hijau toska disetiap toko yang disinggahinya. Posisi badan sempoyongan, entah sudah berapa botol minuman keras yang diteguknya selama sejam kebelakang.

Mungkin konsep awal bangunan ini untuk dijadikan stadion bola kecil-kecilan. Tapi bukannya dihuni rumput halus yang seragam berwarna hijau, lahannya malah dipenuhi jutaan ilalang terlihat indah ketika bersatu memenuhi arena. Walau hanya rumput jangkung tidak tururus dengan hijau diseling kuning gading, saya selalu takjub. Terbuai melalui pejaman mata saat menghirup oksigen yang bebas mengalir kian kemari. Matahari sudah mulai turun dan membentuk secerca sinar jingga di ufuk barat.

“Cal, dimana lo? Gue gak suka ya kalo lo masih suka ngumpul bareng anak-anak brengsek itu!” gemetar ponsel di saku celana membuyarkan pandangan kosong ketika menikmati atmosfer senja. Sms dari Gia.

Hanya Judith yang masih berada dalam keadaan setengah sadar. Dia kerap bernyanyi dengan nada ajian menyembah berhala, hanya dia dan setan yang tahu, bahkan Tuhan pun tidak mau tahu. Enam manusia yang dikategorikan sebagai sekumpulan anak berandal telah total mengotori tempat sakral ini. Tergeletak tak karuan setelah menutup tahap pertama pesta narkoba, rehat sambil menunggu tahap kedua.

“Hallo cantik, tumben kali ini undangan gue lo tanggepin. Gue kirain lo udah mati, cuma belum ketemu bangkainya aja.”
”Lepas ga, Dith! Lagian gue kesini bukan karena lo semua.”
”Terus apa? Pasti lo kangen kan sama sentuhan mesra seorang Judih Bagaskara?”
”Lepas ga! Atau!” sambil mencoba menyingkirkan tangan Judith yang berusaha mencopoti kancing baju bagian atas.
”Atau apa? Gak usah sok suci deh! Basi woooy! Gue udah pernah liat badan lo tanpa kain apapun.”
”Udahlah, Dit. Gue lagi ga mau ribut.” Satu batang rokok saya pilih untuk mencairkan suasana.
“Nah, gitu dong. Gue kira lo udah bener-bener tobat. Ada penyedapnya gak tuh rokok? Nih pake yang punya gue aja, biar ga cupu“ disertai kelakarnya yang menganggu.

Kuhisap tanpa henti seperti petugas penunggu pintu rel kereta. Layaknya terserang dehidrasi nikotin. Saya tidak bisa membenci keenam anak bengal itu, tapi juga tidak menyukainya. Bagaimanapun juga, kami pernah terpuruk bersama. Walau lubang hitam yang saya masuki semakin dalam, mereka pernah merasa apa yang saya rasa. Walau semakin terjerembab ke lubang yang salah, mereka selalu ada.

“Bokap lo makin sering muncul aja di tv”
“Hah?”
“Lo gak tau? Muka bapak lo gak berenti-berenti masuk pemberitaan kriminal. Masa lo gak pernah liat?”
”Enggak. Gue ga peduli.”

Ruang hampa udaralah yang kini kami diami. Tiada suara. Hening, tanpa satu katapun yang ingin disampaikan. Begitupun dengan Judith, dia tahu apa yang mesti dilakukannya ketika keceplosan menyebutkan satu kata yang paling tidak ingin kudengar. Ayah.

Ayah yang mengantarkan saya pada kehidupan menyedihkan seperti ini. Secara tidak langsung. Betapa kebencian padanya sungguh tak tertahankan. Cinta Ayah tidak sebesar cinta Ibu. Tapi cinta Ibu terhadap keluarga jauh tak terkira. Ibu tidak memberikan perlawan ketika ayah berubah menjadi monster. Sebenarnya, kami tidak dibuang, kami juga tidak mengucilkannya. Hanya saja Ibu memilih untuk mengasingkan diri dengan membawa anak semata wayangnya untuk dibesarkan dengan penuh kasih sayang, bukan diayomi oleh gelapnya dunia penjahat.

Tidak menyetel televisi adalah cara pintas untuk menutup segala akses tentang pria yang punya andil dalam penciptaan realitas saya di dunia. Sejak kasus kriminal pertamanya meluap sekitar lima tahun lalu ke media massa, saya dan Ibu mengisolasi diri dengan tidak mengkonsumsi berita dari sumber manapun. Kejahatannya mulai tercium, tapi ayah berhasil menyuap semua aparat yang bertanggung jawab menegakkan hukum di Indonesia. Tidak ada bukti kuat untuk dijadikan fakta. Jangankan dipergunjingkan di pengadilan, diwawancara pihak kepolisian pun tidak. Mungkin jeruji besi tidak berhasil memenjarakannya, tapi kami berhasil menjatuhinya hukuman mati untuknya dari kehidupan kami.

Setelahnya, saya bertemu Judith dan yang lain, Lucita, Nando, Gisel, Didan, dan Yonas. Merasa nyaman bersama karena memiliki cerita yang sama, ketidakpuasaan terhadap takdir yang tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Hidup kami boleh dikatakan serumit trigonometri maupun algoritma. Lucita dan Nando berpacaran sejak mereka berseragam biru-putih. Tapi Lucita tidak berkeberatan ketika mengetahui bahwa saya pernah tidur dengan kekasihnya. Lucita menganggap itu adalah hal yang wajar karena alibi berada di bawah pengaruh candu yang mematikan. Hubungan mereka pun tetap aman dan tentram. Nando berasal dari keluarga yang cukup besar, salah satunya Gisel yang bekerja sebagai editor majalah gaya hidup masyarakat Jakarta. Mau tidak mau Gisel akan sering meliput acara fashion show yang sering memakai Didan ketika melenggang indah menampilkan busana terbaru dari desainer kenamaan. Didan, seorang model yang namanya sempat melambung dan menjadi sorotan utama wartawan gosip ketika dia dipergoki berciuman dengan Yonas di belakang panggung sebelum pentas berlangsung. Didan dan Yonas memang berpasangan pada kenyataannya, hanya saja Belem berani dipublikasikan demi menjaga ketenaran. Apes memang, padahal saat itu Yonas juga tidak niat datang karena dia merasa sudah cukup sering untuk menjadi suporter setia yang menonton, memperhatikan detail tiap gerak Didan, untuk kemudian memberikan komentar tentang kekurangan pasangannya selama pagelaran berjalan. Hanya saja, Yonas dipaksa Judith yang membutuhkan free pass untuk masuk ke acara malam itu. Fotographer adalah profesi dipilih Judith. Dia harus mengambil angle terbaik apabila ingin menjual hasil jepretannya dan menghasilkan uang untuk dibelikan narkoba yang dia butuhkan. Sama halnya seperti saya yang rela untuk melucuti semua pakaian yang melekat dan berpose telanjang sebagai model Judith, demi sebuah serbuk putih yang diharamkan karena efek candu yang mematikan.

”Dith, gue juga bukan nabi. Tapi yang gue tau, nabi juga pernah buat salah.”
”Yah lo ceramah. Sssssttt, sebentar jangan ngomong dulu. Gue mau nyari sumber suara adzan. Pengen tau letak mesjid terdekat di kampung ini biar lo bisa puas ceramah di sana!”
“Please, dengerin gue Dith kali ini. Ini karena gue peduli sama lo dan yang lain.”
“Udah telat, Cal.”
“Lo bahkan belum nyoba buat stop hura-hura atau tergantung sama madat kayak gini. Mau sampai kapan? Sampai akhirnya gue denger kalau lo udah mati gara-gara overdosis.”
“Mungkin ini fase hidup yang harus gue lewatin, Cal. Lo gausah ikut campur.”
“Gue tau ini fase hidup yang harus lo lewatin. Tapi setiap masa yang kita masuki juga pasti akan lebih berat dari yang sebelumnya. Kalau di fase yang ini aja lo masih butuh bantuan obat-obat itu, lo ga akan bisa survive untuk seterusnya.”

Lingkaran setan yang dihuni anak setan. Termasuk saya, anak seorang setan. Ayah yang harus bertanggung jawab hingga saya memiliki masa tersuram dalam hidup. Masa peralihan dimana saya begitu kaget bahwa hidup tidak seindah dongeng yang sering Ibu ceritakan dahulu. Saya lupa bagian bahwa Cinderella maupun puteri dalam dunia perdongengan lainnya juga melewati kesengsaraan. Dan Ibulah yang menjadi peri. Ibu yang memiliki tongkat kecil untuk menyulap beban dan cobaan menjadi sesuatu yang bisa dihadapi dengan senyuman. Mungkin karena Ibu pula, saya tidak bisa sepenuhnya membenci ayah. Karena ayahlah, aku lahir ke dunia lewat rahim Ibu, dan dibesarkan oleh kedua tangan yang penuh cinta.

”Mau kemana, Cal?”
”Balik ya, sepupu gue ngajak ketemuan sejam lagi. Udah telat ni gue. Lo baek-baek, Dith.”

Saya membalikkan badan sambil mengangkat sebelah tangan sebagai tanda salam perpisahan, hingga akhirnya, “Cal, kemaren gue ngeliat bokap lo!”

Langkah ini terhenti dan langsung saja kedua earphone Ipod dipasangkan untuk menutupi kedua gendang telinga pertanda bahwa saya tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Volumenya pun dipertinggi. “Sama nyokap lo, Cal! “

Masa lalu sebagai sebuah Jeruk. Buah yang harus dikupas dan baru dapat diketahui apakah rasanya manis atau asam setelah saya menelannya. Biji-biji yang terdapat didalamnya bukanlah kotoran yang harus dibuang sembarang. Apabila ditanam di tanah gembur, maka pohonnya bisa tumbuh subur tanpa harus dirawat. Tumbuh dari tangisan hujan yang mengguyur.

Colosseum menyajikan pertunjukan spektakuler dimana terjadi pertarungan venetaiones (binatang), antara tahanan dan binatang, noxii (eksekusi tahanan), naumachiae (pertarungan air) dengan cara membanjiri arena, dan pertarungan antara munera (gladiator). Bentuknya yang elips atau bulat dimaksudkan untuk mencegah para pemain yang ingin kabur ke arah sudut. Struktur yang hebat dengan tempat duduk yang bertingkat. Masa sulit yang sudah saya lewati dan tidak ingin saya masuki kembali. Menganggap hidup sebagai permainan macam ini harus segera dihentikan, sudah terlalu banyak memakan korban jiwa.

Wednesday, January 20, 2010

Rebellion

#Cuplikan 5

kamu seperti hantu
terus menghantuiku
kemanapun tubuhku pergi
kau terus membayangi aku

salahku biarkan kamu
bermain dengan hatiku
aku tak bisa memusnahkan
kau dari pikiranku ini

di dalam keramaian
aku masih merasa sepi
sendiri memikirkan kamu
kau genggam hatiku
dan kau tuliskan namamu
kau tulis namamu

tubuhku ada di sini
tetapi tidak jiwaku
kosong yg hanya kurasakan
kau telah tinggali hatiku

Aku bukanlah Mas Boy yang muda lagi perkasa. Hanya seorang anak laki-laki sehat yang dilahirkan dari ibu yang cantik, dibesarkan dilingkungan cukup menarik, dengan asupan gizi terbaik. Anak semata wayang dari seorang dosen terkemuka dan dokter umum biasa di Ibu kota. Stamina 8, mapan 8.5, otak 9, paras 9.5. Ingat, tidak ada laki-laki yang sempurna, mungkin itu pula mengapa Tuhan tidak menorehkan angka 10 dalam profil pribadiku saat ia menitipkan aku lewat rahim Bunda. Wanita keturunan Jawa dan Sunda yang dinikahi seorang lelaki peranakan Betawi dan Sumatera Selatan. Ada empat adat yang mengalir dalam darah ini. Harusnya aku menjadi seorang yang tau bagaimana caranya bermasyarakat, bukannya tidak tahu adat. Ternyata empat adat terlalu banyak, aku bingung harus mengikuti yang mana dan akhirnya memutuskan untuk pura-pura tidak tahu saja.

Ayah sempat memaksa agar berprofesi menjadi seorang pengacara. Banyak duit, kononnya. Kemudian saya teringat bahwa surga itu ditelapak kaki bunda, bukan ayah. Berhubung bunda menyetujui keinginanku untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi, jadi aku tidak ragu menampik keinginan ayah. Dunia komunikasi itu penuh sensasi. Walau katanya kerja sebagai budak media kurang menghasilkan, saya tetap pada pendirian. Toh sekarang ujungnya sama, aku dibayar karena pekerjaanku menggunakan mulut untuk menyampaikan berita kepada umat manusia. Begitupun dengan pengacara, yang menggunakan mulut untuk membela seorang terdakwa. Porsi “umat” lebih banyak daripada “seorang”, maka jatuhlah pilihan menjadi pembawa berita. Argumen bodoh itulah yang sempat aku ajukan untuk meredakan amarah seorang ayah. Bagaimanapun juga surga ada di telapak kaki Bunda. Tapi Bunda sempat bilang bahwa kuncinya ayah yang pegang. Jadi, aku harus membuat si juru kunci menjadi tidak terlalu keki.

”We can not not communicate”, kalimat yang cukup popular di telinga setiap mahasiswa komunikasi. Tapi tidak dengan saya. Saya tidak bisa mengatakan kepada dunia bahwa saya mencintai siapa. Tidak mungkin. Tidak boleh. Tidak bisa. Mungkin, kata-kata itu pula lah yang akan dikatakan semua orang kepadaku apabila aku bercerita tentang kondisiku, “tidak mungkin,, tidak boleh,, tidak bisa,,”.

Saya tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini. Dan itupula yang akan dikatakan oleh kedua orang tuaku saat mereka tahu yang sebenarnya. Bunda pingsan dan ayah menyuruhku bunuh diri. Mereka tidak pernah berdoa untuk melahirkan pria yang akan menyukai sesamanya. Sebagai manusia yang manusiawi, aku mempunyai kemampuan merasakan cinta. Cinta datang dan untuk bermacam situasi dan lingkungan, dari keluarga, teman, ataupun lingkungan sekitar. Tapi bagiku, yang terpenting adalah aku harus mencintai diri sendiri. Cinta akan datang jika aku mencintai diriku sendiri yang bebas mencintai siapapun yang kukehendaki. Tak terkecuali.

Dan kini ketika cinta itu harus direlakan untuk pergi, aku bak menjalani program rehabilitasi yang katanya bisa mengobati rasa patah hati. Melepas dari segala candu yang penuh nestapa. Yang tega membuatku harus merasakan nista. Aku tidak pernah bisa memarahi atau menceramahi diri untuk bisa menyukai siapa. Menjatuhkan pilihan kepada seorang pasangan sesuai adat. Dan sayangnya, tidak satupun dari keempat adat yang mengalir ini memperbolehkan aku memilih laki-laki.

Kosong, seperti tembang yang dipopulerkan Dewa. Ditemani hantu yang membuntutiku. Bayangan tentangnya. Bagaimana bisa saat di tengah keramaian dan aku masih merasa sepi? Sendiri memikirkan kamu. Sebuah rupa yang masih bisa kugambarkan tanpa harus memejamkan mata. Hantu yang berani-beraninya mencuri hati dan menorehkan namanya dengan menggunakan spidol permanen supaya tidak bisa terhapus. Hantu sialan. Hantu jahanam. Hantu terkutuk. Hantu yang akan selalu menjadi masa lalu.

“Beneran gak sakit yah, mas?”
“Sedikit sih, tapi setelah itu biasanya jadi nyandu.” Jawabku kepada salah satu pelanggan.
“Saya gak nyangka lho mas, seorang pembaca berita terkenal seperti mas ternyata seorang tattoo artist!”
“Pilih dulu deh mas gambarnya, nanti makin lama lho. Prosesnya bisa makan waktu enam jam kalau gambarnya besar.”

Tiap gambar mempunyai arti dan filosofi bahkan konsekuensi. Bahkan ada anggapan bahwa setiap pemilik tato harus bisa mengamalkan apa yang tergambar pada tubuhnya sepanjang usia. Namun kini, tato telah menjadi bagian dari tren, gambarnya dipilih dengan berbagai alasan. Seni merajah tubuh bukan lagi milik kalangan preman dan seniman.

Bangsa Yunani kuno memakai tato sebagai tanda pengenal para anggota dari badan intelijen, mata-mata perang pada saat itu. Aku mulai menggali tentang asal muasal tato yang mulai menjamah Cina sekitar tahun 2000 SM. Wen Shen atau lebih dapat diartikan sebagai akupunktur badan. Dimasanya, tato dijadikan tanda bahwa seseorang itu berasal dari golongan budak dan tahanan sehingga harus dirajahi ke setiap tubuh mereka. Lain halnya dengan budaya tato yang lahir dari wanita etnis minoritas Drung, Dai, dan Li. Budaya tato dalam etnis ini dijadikan sebagai penangkal bahaya saat mereka diserang oleh etnis lain untuk dijadikan sebagai budak. Demi menghindari terjadinya perkosaan, para wanita tersebut kemudian mentato wajah mereka untuk membuat mereka kelihatan kurang menarik di mata sang penculik. Sedangkan di Indonesia, oleh suku dayak, tato dianggap seperti lentera atau lampu penerang menuju surga layaknya damar yang digunakan zaman dulu untuk penerang kegelapan.

“Saya ini atlet bola lho mas, masih amatiran sih”
“Terus?” aku cukup aneh karena pelanggan ini langsung cerita padahal saya tidak mewajibkan isi biodata sebelum di tato.
“Jadi kan keren aja mas. Mudah-mudahan tato bisa membuat saya memperbaiki badan saya biar ga kurus-kurus amat.”
“Hubungannya apa ya?”
“Kalau saya nge-gol-in, saya pasti buka baju. Kan malu kalo tato naga ini keliatannya jadi cacing. Makanya, dengan pakai tato, mudah-mudahan saya jadi semakin niat buat ngebesarin otot.”
“Oh gitu ya. Sekarang sudah jadi tren sih ya. Padahal bagi suku Mentawai, seseorang sampai bunuh-bunuhan supaya bisa mendapat tato di tangan musuhnya. Makanya bikin tato gak boleh sembarangan.” aku berusaha memberikan penjelasan kepada pelanggan gila bergaya ini.

Menjadi penato adalah hobi yang tersalurkan. Alangkah hore-nya apabila melakukan sesuatu yang disenangi kemudian dibayar. Sama seperti halnya dibayarin pacar, INDAH. Ini adalah bakat dari seorang kakek yang memang pelukis terkenal dijamannua, dan akulah yang mendapat keberuntungan turunan. Sebisa mungkin kusempatkan untuk menangani langsung para pelanggan. Sayangnya, kesibukan pekerjaan kantoran ini tidak terelakkan sehingga aku harus mempercayai beberapa bawahan untuk berkreasi seapik mungkin. Terlebih kasus teranyar di seluruh media di Indonesia yang menjadi “agenda setting” sebulan terakhir ini benar-benar menyita waktuku untuk tetap tinggal di studio dan lapangan. Lagi-lagi kasus korupsi dan pembunuhan yang masih menjadi misteri. Tidak ada yang berani disumpah dan bersaksi. Mereka terlalu pengecut dan murahan untuk berhadapan dengan para mafia hukum. Biarkan aku menjadi aparat yang berwenang mencari berita, menyiarkan, berdebat, hingga dipaksa untuk stop berkoar-koar lewat layar kaca. Khalayak berhak tahu kebenaran yang harus segera diungkap.

“Kalau mas Aldy pasti tatonya banyak yah?”
“Ha? Oh, cuma satu,” aku sampai pada kesimpulan bahwa orang ini sungguh sangat bawel.
“Apa, mas?” oh ralat, bukan hanya bawel, ternyata dia Maha Ingin Tahu.
“Dadu.”

Bagiku, hidup adalah taruhan. Aku tidak bisa hanya sekadar memilih untuk hidup bahagia di dunia dan masuk surga setelahnya. Bertaruh adalah kenyataan yang harus dihadapi bagi yang masih ingin merasakan nikmatnya bernafas.

Cukup untuk hari ini. Langkah ini membawa kembali ke apartemen yang hanya ditempati oleh aku dan Lona. Lona hanyalah ikan berwarna merah dan kuning keemasan dengan titik biru berkelompok di sekitar mata indahnya. Diameternya kurang lebih 20cm, dan terlihat sangat makmur di kolam super besar. Mungkin karena dia menjadi ratu di dalam situ, satu-satunya yang kuberi makan, tak ada saingan. Sama seperti pemiliknya, sendiri.

Aku tidak pernah menyalahkan Ben yang mencampakkanku. Meski begitu, aku tetap menyukainya. Sama halnya seperti aku yang sangat menyukai Jakarta. Kota dimana Ben hidup dan tinggal. Dimana kita masih bisa melihat matahari yang sama di langit yang sama. Kami berpisah baik-baik setelah Ben memilih untuk membahagiakan kedua orang tuanya dan dijodohkan dengan anak salah satu koleganya. Kemudian aku menjadi pincang. Ini hanya karena aku tidak sekuat Adam bahagia ketika tulang rusuknya diambil kemudian “adakadabraaaa” menjelma seorang Hawa untuk menjadi pasangan seumur hidup dan beranak pinak. Kenyataannya, pakai terapi dan kecanggihan teknologi kedokteran seperti apapun, Ben dan aku tidak akan pernah bisa berkembang biak. Aku bukan Siti Maryam yang bisa melahirkan bayi tanpa ada yang membuahi. Lagipula Siti Maryam itu berlabel : PEREMPUAN, sehingga masih punya kesempatan dan kemungkinan untuk melahirkan. Sedangkan aku, 100% laki-laki tulen. Dan keluarga Ben, butuh seorang anak laki-laki untuk diwariskan garis keturunan marganya.

Aku tidak pernah menyalahkan Ben yang pergi begitu saja. Ini adalah awal yang baru. Masalah sederhana. Aku tidak dipilihnya. Sakit tapi harus diterima. Dibuang oleh sang tersayang. Ben telah menghancurkan segala harapan, melanggar yang telah diucapkan, berkhianat, kemudian pergi hingga membuatku merasakan derita seperti ini. Tapi aku tetap memilih untuk hidup, dan.. memutuskan untuk bertaruh dan melihat bagaimana kami di akhir cerita.

Aku melihat sebuah amplop klasik terselip di kolong pintu,
“Aldy,tutup kasus sampai disini atau kamu yang mati. ‘M’.”

Thursday, January 14, 2010

rumah kedua

#Cuplikan 4

“Gi, jadi ketemuan gak?”
“Jadiiiii!! Gila susah banget sih ngehubungin lo. Dua minggu ngilang gak ada kabar!”
“Yauda, di toko nyokap gue aja ya. Gue on the way ke sana”
“Ya ampuuun, mendadak amaaat! Gue kesana sekarang, tungguin ya.. Jangan kabur dulu!”
“Iya, buru ya.. takutnya gue berubah pikiran”
“Iya.. tapiiii..”
“Apa?”
“Gratis ya? Hehe.. kan toko nyokap lo? Pleaseee??”
“Dengan catatan, 30 menit dari sekarang, gue uda harus denger suara cempreng lo.”
Klik.

Hanya satu yang saya benci selama menghabiskan waktu disini, angkot hijaunya enggak nahan. Mungkin mata pencaharian utamanya penduduk kota ini adalah supir. Sedangkan mata pencaharian keduanya adalah pawang hujan. Keseimbangan dua sisi. Bogor tetap tersohor dengan kemenarikannya. Semakin dibuat macet oleh pelancong setiap akhir pekan.

Mungkin Raffles juga jatuh cinta pada kota ini. Meninggalkan sebuah bangkai untuk dijadikan kenangan. Bangkai paling aduhai. Berbentuk bunga raksasa untuk dipuja.

Toko kue Ibu berada di daerah Taman Kencana, tempat wisata kuliner paling asyik di Bogor. Hanya saja toko itu tidak terletak dipusatnya, akan tetapi berada dideretan perumahan. Toko Ibu cukup unik. Desain rumah tua dimana bentuk batu-batunya terlihat jelas. Bagian yang paling menyenangkan dari ini adalah tungku perapian yang bukan hanya sekadar pajangan. Tidak hanya itu, bagian tengahnya dipercantik dengan piano putih yang biasa dimainkan oleh pengunjung yang seringnya tergolong piawai, atau hanya anak kecil yang sedang ikut-ikutan Ibu mereka belanja kue dan kemudian merengek penasaran ingin memencet tuts yang menjadi ciri khas instrument musik ini.

Kami bisa menyadari setiap pengunjung yang masuk, ada suara gemerincing lonceng. Ibu tidak perlu menyetel sebuah mesin penerima tamu yang akan berkata “Welcome” secara otomatis. Wanita yang masih terlihat cantik diumurnya yang genap 45 tahun pada bulan Maret itu senantiasa menyambut ramah “Selamat Datang” kepada semua jenis pengunjung, sesibuk apapun dia. Baik sedang di kasir, tungku oven, ataupun sedang diam termangu sambil menyender di pembatas teras samping.

Inilah toko kue impian kami. Ibu tahu benar bagaimana memanjakan perut anak kesayangannya ini. Apapun bisa menjadi lezat melalui tangan ajaibnya. Bahkan, kini toko Ibu menjadi spesialis paling laris dipesan diberbagai acara pernikahan. Alamak, mamak!! Kau tidak pernah membuat saya berhenti mengagumimu.

2nd home, nama yang Ibu pilih. Rumah bagi siapapun yang ingin singgah. Tidak membeli pun tak apa. Pun Ibu suka memberikan teh hangat cuma-cuma untuk penduduk sekitar yang sekadar berteduh dari hujan. Ibu memang Ibu terbaik. Dia tidak pernah mengeluh sejatuh apapun dia, selalu berbagi, mengajarkan supaya saya berusaha berdiri disaat berdiri bukanlah sesuatu yang mudah.

Toko ini memang rumah kedua untuk siapapun yang berada didalamnya. Beberapa meja dan bangku dari bahan kaca dan plastik bening memenuhi bagian dalam maupun teras samping dan belakang. Sebagian kue dipajang di etalase setting-an meja bar yang dipadu padan dari bahan kayu dan kaca. Dominasi warna putih, bukan dominasi tepatnya, tapi semua interior bagian dalam memang berwarna putih, seperti Lily. Televisi berukuran 14 inch digantung di bagian tengah ruangan, di sekitar etalase kue sebelah kanan mesin minuman. Pengunjung dipersilahkan meracik sendiri minuman yang diinginkan.

Sudah lewat 4 menit, Anggi belum datang.
“Bu, kalau Anggi datang, suruh langsung ke teras atas aja ya”
“Gak gerimis, Nak? Mau ngapain kamu diatas?”
“Udah berhenti kok, Bu. Aku mau cari insipirasi buat tulisanku.”
“Oh, yauda.. tapi nanti Ibu baca dong sayang!”

Spot ini selalu memanggil saya untuk menghabiskan waktu setiap pukul 4 sore hingga malam hari. Saya merasa lebih dekat dengan langit, padahal batang pohon rindang itu berjarak sangat tipis dengan payung meja yang terletak paling pinggir di teras atas. Lantainya dari kayu. Hanya muat untuk kapasitas 4 sofa yang sengaja diletakan sepanjang bagian pembatas. Bagian tengah malah sengaja dikosongkan. Ibu mengisinya dengan menempatkan ayunan pantai. Dari sini saya bisa melihat terangnya lampu lapangan baseball tempat murid-murid keturunan warga asing di kota ini berlatih tiap malam. Ada keceriaan dalam keletihan yang amat sangat.

“Callista!!” kecemprengan Anggi mengusir semua burung gereja.
“Lo telat 23 menit, jatah traktirannya hangus yah.”
“Kejam kamu, PKI!” protesnya.
“Haha enak aja! Kok telat sih, tumben?”
“Iya ni, tadi gue ngalamin kejadian menegangkan sekaligus kocak parah. Tadi sebenernya gue kesini bareng Darta. Tapi berhubung pengen buru-buru, gue memutuskan buat motong jalan terus naik bemo sampai di pengkolan depan.”
“Hahaha, segitu pengen ditraktirnya yah? Sampe motong-motong gitu.”
“Tunggu dulu! Gue belum selesai ceritanya! Tiba-tiba pas kita mau ngelewatin rel kereta, Bemonya mogok!” cerita Anggi antusias.
“Hahahahahaha”
“Terus si Darta panik, dan dia ga bisa gerak sama sekali. Yaudalah yah, seperti biasa, gue yang berperan sebagai superhero-nya. Gue turun cepet-cepet..”
“Dan dorong bemonya sekuat tenaga!!!” ucap kami berbarengan. “Hahahahahha begoooooo!!!”

Keperkasaan sahabat yang satu ini memang luar biasa. Teman terhebat sekaligus yang pertama saya kenal setelah kami diusir dari Jakarta. Anggia Renata. Hanya dengannya saya bisa sangat se-extrovert oti, padahal kenyataannya adalah saya tipikal introvert-nya manusia awam, karena berpikir bahwa menjadi pendiam itu keren.

Saya adalah seorang pelamun, jika lamunan terasa singkat, maka akan saya lanjukan dalam sebuah mimpi. Tuangan imajinasi tak terkendali, alam bawah sadar yang tidak membutuhkan emosi. Gratis yang penuh unsur dramatis. Tidak dikenakan tarif dan tidak perlu menjadi arif. Lewat bermimpi, siapapun bisa menjadi siapapun. Apapun bisa berwujud apapun. Dimanapun bisa tampil digambarkan dimanapun. Kapanpun bisa diatur kapanpun. Ini hanyalah soal kemauan. Mau bermimpi dan berimajinasi seberani seperti apakah yang saya inginkan. Intinya berani untuk tersenyum ketika melamun, berkelakar ketika membayangkan sesuatu yang liar, tanpa takut menjadi siapapun, mempunyai apapun, terjebak dimanapun, tidak terikat kapanpun, atau bahkan tidak perlu pusing memikirkan bagaimanapun untuk menjawab alas an mengapapun.

Berhenti bekerja sebagai seorang analyst yang telah menerima apresiasi di salah satu perusahaan consumer goods multinasional adalah keputusan yang mudah diambil. Saya hanya tidak ingin mimpi ini terbatasi oleh suatu zona kenyamanan untuk menjadi seorang yang kaya dan berada. Masa menganggap mendapat pujian itu adalah sesuatu yang hebat pun sudah lewat. Ketika saya merasa bahwa ternyata didikte oleh suatu rutinitas adalah penjara, maka saya putuskan untuk keluar dan menghirup udara kebebasan di luar dinding gedung tinggi yang telah saya tempati dua tahun terakhir ini. Yang saya pahami betul yakni untuk menjalani hidup sesejahtera mungkin, saya membutuhkan cinta dari pekerjaan yang saya jalankan.

Jangan paksa saya untuk terbangun dari mimpi yang serba tanggung. Lantas tersadar dalam keadaan dahi bersimbah keringat, merasa bingung karena akhir cerita yang menggantung, lalu berusaha mengingat tentang reka mimpi apa yang baru terlintas. Saya tidak ingin berada dalam keadaan setengah tidur, dan jangan paksa saya untuk memejamkan mata hanya karena saya belum berani menerima kenyataan hidup yang sebenarnya.

“Cal?”
“Please, don’t ask me to find a job!” pintaku lembut selayaknya seorang adik meminta tolong diambilkan gelas minumnya yang berada di atas meja hanya karena badan si kakak lebih tinggi untuk meraihnya.
“Kok tau gue mau tanya itu?”
“Karena gue yakin bahwa kita udah berteman selama 11 tahun”
“Sayang aja otak lo. Disaat semua orang berani mengorbankan apappun untuk mendapatkan pekerjaan, lo malah mangkir dari rel kemapanan seenaknya saja.”

Aku melihat sorot penuh pertanyaan dari Anggi, seorang putri kecil manis yang kini beranjak dewasa dan semakin merekah. Rambut ikalnya diizinkan untuk meneguhkan pernyataan bahwa rambut adalah mahkota wanita. Komposisi wajah yang pas, dan lekukan badan yang menjadi doa setiap perempuan. Yah, intinya Anggi cantik, baik, asik, enerjik, anti bajingan tengik, dan berisik. Berisik sekali karena hujan pertanyaannya.

“Lo pinter banget gitu loh, Cal!”
“Maka dari itu, Gi! Gue sadar kalau gue pinter dan gue jadi ga pengen aja ngegunain otak gue sebatas 14 lantai, 3 x 1,5 meja tulis, 30 cm jarak bangku ke komputer, dan apapun yang terlukis di pikiran lo tentang citra sebuah kantor”, Jawab saya santai.
“Bukannya pekerjaan lo kemaren adalah cita-cita lo banget ya?”
“Oh betul! Tepatnya, cita-cita alternatif yang diajukan ke otak setelah cita-cita menjadi arsitek luluh lantah karena gue tahu bahwa gue males gambar.” Sambil mengingat arsitek adalah pilihan kedua setelah menjadi dokter, cita-cita umum seorang gadis yang mengenakan rok merah.

“Terus lo lebih memilih menganggur?”
“Menganggur itu bukan kutukan! Ini pilihan, Nona! Lagian siapa juga yang ga ada kerjaan?”
“Terus apa? Menghabiskan waktu sepanjang hari dengan mimpi tak kunjung bangun?”
”Eh, lo gak bosen menggunakan kata ’terus’ untuk mengawali pertanyaan ya?hehe.. Percuma, Gi.. Lo ga akan pernah ketemu mentok kalau pengen berdebat sama gue.. hehe” godaanku menanggapi nada tinggi yang tak sengaja dimainkannya.
”Terus rencana lo selanjutnya apa?”
“Tenang, gue udah punya rencana hebat yaitu menjalani hidup tanpa rencana.”
“Lo tuh aneh!” hardiknya
“Mungkin.. masih mungkin loh yah.. mungkin gue pengen apply jadi fotographernya para ninja atau tukang tato atau pekerjaan lain yang membebaskan pikiran.”
“Ralat pernyataan gue bahwa lo tuh aneh. Lo tuh sakit, sakit jiwa!”

Bulan memang mungkin tidak sekeren matahari di pikiran anak kecil yang menganggap bahwa matahari itu jagoannya. Anak kecil yang menganggap bahwa untuk merasakan terang mereka tidak membutuhkan lampu untuk menjadi terang. Sedangkan kecantikan bulan menjadi pudar karena warna-warni lampu temaram kota nan aduhai. Lampu taman, lampu gedung pencakar langit, lampu sorot kendaraan, pernak-pernik lampu neon hias, atau sekadar lampu merah yang hanya mempunyai tiga warna. Tidak ada satu pun manusia yang ingin wajahnya disamakan dengan kecantikan bulan. Manusia beragumen bahwa permukaan bulan itu berongga, tidak cakep untuk ditransformasikan ke dalam bentuk wajah. Padahal foto yang diklaim menangkap momen para astronot berlompat-lompat dipermukaan bulan saja masih diragukan. Siapa yang tahu kebenaran bahwa bulan itu berongga tidak rata. Memangnya ada yang menjamin bahwa paras matahari itu mulus, licin, dan merata? Boro-boro memfoto matahari, tidak ada yang sanggup menatapnya dengan mata telanjang.

Saya hanya tidak ingin menjadi manusia seperti itu. Yang menyempitkan pandangannya terhadap sesuatu yang hanya mereka berani lihat dan sibuk menerka tentang apa yang dianggapnya hebat. Padahal Tuhan menciptakan matahari dan bulan karena suatu alasan. Tentunya bukan sekadar alasan saling melengkapi untuk pertanda adanya siang dan malam. Pasti banyak kesempurnaan yang ingin dipertontonkan melalui dua benda angkasa tersebut. Bahkan masih ada puluhan juta bintang dan meteorid, atau mungkin lebih, hanya saja kita tidak tahu pasti. Saya tidak takut untuk menguak rupa matahari. Hanya saja saya ingin bersyukur bahwa saya sudah mempunyai bayangan tentang bulan, dan belajar bagaimana keindahannya. Saya bersyukur untuk menjadi apa adanya, dan tidak ingin terjebak dalam perlombaan menjadi siapa yang lebih hebat. Hanya karena materi ataupun kenikmatan duniawi. Satu yang saya yakini, tidak ingin hanya seperti siang dan malam, tidak akan kubiarkan hidup ini berotasi di satu dimensi.

Monday, January 11, 2010

Callista

#Cuplikan 3

Bunga dan tangkai yang berjodoh menjadi satu rangkaian menghias taman rumah Ibu. Di sana ia biasa membungkuk, memperhatikan tiap tetes air yang menempel selepas hujan yang sering singgah. Sesekali dipangkasnya batang yang terlihat mengganggu keindahan yang lain. Tidak banyak warna yang tampak seperti halnya paduan warna dalam pelangi, merah hingga ungu. Di taman Ibu, hanya ada warna kuning, merah, ungu, dan didominasi putih. Karena putih, kesejukan pun merasuk. Lily, bunga penuh keanggunan dengan warna-warna lembut dan keharuman yang khas. Seperti nama Ibu, fungsinya pun sama, multiguna dan cocok untuk kesempatan suka maupun duka, selayaknya Ibu yang selalu dirundung dua nuansa, suka dan duka.

Manusia gemar memanjakan matanya dengan sesuatu yang Wah. Walau begitu, tak semua penyuka keindahan mau membeli bunga untuk dimiliki. Meskipun mereka berada, mereka lebih memilih mengkonsumsi keindahan berlibur ke luar negeri, menghias garasi dengan mobil dengan seri teranyar, atau nongkrong di tempat dimana kita bisa sadar bahwa Tuhan itu Maha Hebat sebagai pencipta! Tapi Ibu berbeda, ia merawat kesemua bunga dengan tangannya sendiri, seperti anaknya.

Sudah kali kedua hujan mengguyur hari ini. Bogor menjadi tempat pelarian kami selama 13 tahun terakhir, lari dari kota besar yang sarat kepedihan. Maaf, tapi saya hampir tidak tahu bagaimana caranya membedakan mana yang pelarian dan mana yang dibuang. Kami lari karena kami sudah dibuang. Saya dan Ibu. Jakarta, pernah menjadi surga bagi setiap penghuninya. Dan sepatutnya, mereka juga sudah tahu konsekuensi bahwa Surga juga bisa penuh, maka diciptakanNyalah sebongkah neraka. Hebatnya, saya dan Ibu pernah merasakan keduanya.

Neraka ada karena dosa Ibu yang tidak ingin mengikhklaskan apa yang menjadi hak asasinya, cintanya. Cinta menjadi sangat penting dan naik pangkat untuk berasa di level asasi, sebuah hal dasar yang dimiliki oleh setiap manusia semenjak dia lahir dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sesuatu yang pantas diterima tapi tidak dapat dialihkan dari satu orang kepada orang lain. Saking universalnya, cinta bisa hidup dimana saja dan kapan saja. Tapi sayangnya, cinta ayah tidak seluar biasa cinta Ibu. Ketika haknya sebagai seorang istri diinjak, Ibu tidak mengutarakan tuntutan apapun yang sebenarnya dapat diajukan. Hak Ibu memang dilanggar tetapi tidak pernah dapat dihapuskan.

”Ayo Cal, makan dulu. Ini masakan kesukaan kamu sudah Ibu siapkan di meja”
”Ayam kecap? Atau roti meses?”
”Liat aja dulu, keburu siang nanti. Ibu mau pergi ya ke toko.”

Di Jakarta, kami tidak pernah hidup miskin apalagi terpuruk atau tinggal di antara jalan sempit tempat rumah kumuh saling berbagi halaman, tempat jemuran, jalan, lapangan, atau bahkan teras. Tapi Jakarta sudah terlalu banyak menyimpan kenangan pahit dan manis. Cinta Ayah tidak seluar biasa cinta Ibu. Entah mengapa ia tega mengusir kami dari rumah yang penuh gema kecerian masa kecilku, si anak semata wayang.

”Buuuu!!!” teriakku berusaha menahan kepergian Ibu.
”Kenapa sayang?”
”Aku sayang sama Ibu, hati-hati yah!”
Tak lama, terdengar suara pintu terkunci. ”Cuma kamu, Bu..”

Aldy

#Cuplikan 2

Aku tersadar dan rupanya Eropa hanyalah bumbu-bumbu tidur yang gurih, yang pertama dalam minggu ini, dan kesembilan dalam sebulan. Senin tidak akan pernah bisa bersahabat denganku. Tapi bagaimanapun juga aku tetap lebih menyukainya daripada Selasa, musuh utama dari lima tokoh geng hari kerja! Selasa. Berani bertaruh? Detik akan bergerak lambat sehingga waktu seakan lumpuh di hari itu. Sayangnya, belum ada yang bisa menjelaskan alasannya secara masuk akal. Selama belum, jangan paksa aku untuk memaklumi kelemahan si Selasa.

Ngomong-ngomong soal mimpi, banyak tampang asing yang sering (baca : keseringan) muncul. Mungkin saja alam bawah sadarku meminta mereka untuk mampir menjadi bunga-bunga dan menganggap tidurku sebagai rumahnya sendiri.

”Hmmm, kali ini ganteng juga.. kenapa setiap mimpi yang keluar ganteng semua ya? Aarrrgggghhh, ngapain juga sih mimpi kayak gitu!”. keselku dalam hati.

Aku masih tidak habis pikir bagaimana beberapa sosok tak dikenal yang kebanyakan berwujud tegap, tak acuh, nan rupawan (baca : pria sempurna di bayangan kebanyakan wanita yang masih berpikir bahwa pria sempurna itu ada) dipersilahkan masuk menjadi bagian dari beberapa malam terakhir, bahkan rutin hampir setiap hari layaknya sinetron kejar tayang.

”Syiiiiiiiiiiiittttt!!!” Sudah jam 4.13?!”
19 panggilan tak terjawab di layar ponsel. “Gawat!”
Setiap hari, bagiku, adalah Bulan Ramdhan. Jam kerja menuntutku harus selalu bangun terlalu pagi selayaknya kaum muslim melakukan sahur. Standby di studio dan di jam yang sama setiap hari, mempelajari naskah, menjadi golongan orang pertama yang tahu peristiwa teranyar, gress, dan terpercaya, fokus pandangan ke satu titik, hingga akhirnya terdengar aba-aba dari Sutradara tanda dimulainya acara, “Selamat Pagi, Pemirsa!”

Aku adalah seorang pembaca berita di salah satu stasiun TV swasta terkemuka, membawakan berita pagi yang menemani pemirsa dari kalangan muda hingga tua, yang masih mengenakan rok merah hingga pensiunan yang menghabiskan waktunya sepanjang hari di depan televisi. Suaraku didengar mereka yang bersantap ringan maupun berat, baik dengan roti ataupun nasi, yang sungguh mencitrakan darimana negara asal mereka yang hobi memakannya ketika bersarapan.

Mereka selalu mendadaniku sehabis subuh supaya terlihat tampil maksimal. Penting tidak penting. Tapi aku lebih memilih untuk dinilai pintar ketimbang menarik. Oleh karenanya, inilah pekerjaan yang aku pilih untuk menghidupiku dimana aku harus bisa tahu, mengerti, dan menguasai setiap bahan berita yang layak diangkat dan disebarkan melalui media massa, fokus dan cermat pada satu titik kamera, mengontrol setiap nada yang terucap, dan bersahut tepat dengan pembawa acara yang menjadi partnerku setahun belakangan ini, atau bahkan berimprovisasi dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali fakta lebih dalam ketika mewawancarai tokoh penting yang menjadi sorotan utama. Bahasan “Apa” memang penting untuk dibicarakan, tapi pada akhirnya “Siapa”-lah yang akan menjadi faktor utama yang menentukan apakah “Apa” menjadi pantas untuk diperbincangkan.

Pakaian yang membalutku selalu elegan. Berbagai sponsor berlomba menawarkan bahan dan jaitan yang terbaik untuk dipertontonkan. Pembawaanku sedikit banyak terdongkrak karenanya. “Gue ngantuk banget, gue pulang duluan ya, mau tidur lagi.”

“Oh iya Mas Aldy.. Naskah untuk besok akan saya kirim via email siang nanti ya. Hati-hati, mas!”
Oh ya, aku biasa dipanggil Aldy. Dan saya, Pria.

EROPA

#Cuplikan 1

Aku memanggilmu Eropa. Dan kini aku bisa merasakan dingin gugur kemarau dan semi ketika aku merasakan keeksistensiannya.

Setelah sebelumnya hanya ada basahnya hujan dan keringnya kemarau, dia tampilkan bagaimana semi dan gugur yang semenarik itu. Bahkan kemarau digantinya dengan hanya sekadar panas, tidak perlu meranggas . Sedangkan hujan bisa dia ganti dengan salju supaya aku lebih menggigil saat kedinginan ditatap olehnya, iya tepat sekali, aku menggigil salah tingkah dibuatnya.

Aku bertemu dengannya ketika tak sengaja melihat jarum pendek mendekati angka 6 dalam jam besar terkenal di kota tua di benua Eropa. Sehingga selama beberapa hari kemudian aku selalu menunggu detik detik itu dan berharap supaya dia hadir melewati jalan yang sama setiap dia berniat pulang, di pukul6. Walau aku hanya dianggap patung olehnya, sementara dia berlenggang gagah lewat dan zzaaahh. Selesai. Kesimpulannya aku total penasaran olehnya. Lantas aku hanya bisa tersadar bahwa ini bukanlah moment tak sengaja bertemu sosok tegap itu di sebuah dataran Inggris. Hanya saja, pesonanya mampu membuatku terseret hingga terdampar ke salah satu negeri di Eropa Timur.

Aku malu untuk berkata suka. Dan sekarang aku hanya berani mengenang kejadian di senja tadi. Mungkin semua orang yg pernah melihatnya, walau sekilas, pasti berkesan suka, sama seperti apa yang aku rasa. Indah. Dan mungkin itu pula alasan mengapa Tuhan memberikan ide kepada seorang penemu lensa untuk menciptakan alat bernama kacamata. Untuk menepis, meralat segala kesaksian manusia yg menganggap bahwa parasnya hanya lah sekelibat. Senyumnya Maha Dashyat.

Tiga bulan berlalu. Hingga akhirnya aku mendapat kesempatan untuk berlibur bersama. Suatu momentum tak terduga karena kami mengambil travel ke satu tujuan yang sama. Jogja, ya betul, ini di Indonesia. Salah satu kota penuh sarat makna. Yang selalu kuanggap pelabuhan surga bagi para pelaut yang muak dengan laut yg luas dan selalu seperti itu. Sama halnya dengan aku yang jengah dengan hiruk pikuk jakarta.

Senang bukan kepalang. Berdamba untuk mencinta. Di Jogja!! Bukan Eropa. 4musim di kota ini.. Kesederhanaan Jogja mampu digubah menjadi keeksotikan espanyolaaa. Detikpun melambat di Kota ini. Begitupun dengan umur kami tidak pernah dibuatnya menua. Senin selasa rabu kamis dan jumat akan selalu menjadi sabtu dan minggu bagi para pelancongnya. Aku suka sekali kota sederhana ini, terlebih jika dia dia dan hanya dia yg ada disana sebagai sang maharaja.

Tidak kutunjukkan bahwa aku suka. Tp selalu kuusahakan untuk lebih akrab. Mencoba menjadi teman tanpa banyak pengharapan. Bertukar nomor handphone hingga kontak bbm. Kemudian memutar otak untuk memulai percakapan. Ahay! dia membalasnya dengan semangat, bukan sekadar balasan apa adanya.

Aaaah.. Suka tp tidak suka. Efeknya gawat. Membuatku sakit jiwa dan parno mendengar bebunyian. Bisakah kalian bayangkan jika setiap nada yang keluar dr handphone ini, aku harapkan berasal dari handphonenya?? Efek gawat bagi si penyuka bukan?

Eropa.. Pesona yg adakadabra. Gempita sebagai maha karya. Hmm, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Tuhan juga menciptakan dia dlm keadaan mood terbaikNya. Sehingga lahirlah sesosok Eropa, dengan mukjizat membawa 4musim untuk orang-orang yang menyukainya.

Sialan, dia buat aku sakit jiwa dan penasaran. Memaksa berdoa kepada Tuhan supaya dia juga mengingatku. Aku yg apa adanya dan dia yang maha sempurna. Senyum tulusnya, yang membuat mata kecil itu terlihat segaris, membuatku dilatarbelakangi lagu Kala Cinta Menggoda-nya Crishye. "Bukan ku tak dapat membohongi hati nurani, ku tak mampu menghindari.. GEJOLAK CINTA INI"

Thursday, January 7, 2010

titik

#FB 19 Agustus 2009

Hari ini saya merasa sangat lelah. Pun sore ini saya putuskan untuk pulang ke rumah secepat mungkin. Mengurung diri dan sempat mendengarkan adzan magrib dari dalam kamar. Memikirkan setiap esensi dari hal-hal yang sudah saya lakukan.

Katanya, saya adalah tipikal orang yang kurang menghargai dan cenderung meremehkan apa yang saya lakukan. Apa benar? Karena saya merasa pada dasarnya saya cukup mengenal diri saya sendiri dan merasa bahwa saya tidak seperti yang orang tersebut nilai panjang lebar dalam rangkaian sms berseri. Mungkin karena dia baru mengenal saya. Atau mungkin dia memang benar.. Setiap orang berhak menilai apa yg dia lihat, baik itu sok tau atau tidak. Mungkin pula memang saya yang terlalu berubah menjadi terlalu tak mengacuhkan diri sendiri.

Kemudian saya melamun selayaknya sedang kehilangan arah. Mungkin ini adalah titik balik bahwa saya harus menghargai diri sendiri jika ingin dihargai yang lain. Menjadi lebih baik untuk diri sendiri sebelum baik pada org lain. Mengerti pribadi sendiri sebelum menuntut ingin dimengerti. Kemudian menjalaninya dengan sangat elegan dan matang setiap hal yg saya lakukan.

Saya tidak butuh liburan. Karena saya cukup banyak mengisi hari dengan hiburan dan menghibur yg ingin dihibur. Yang saya butuhkan adalah istirahat. Tidak memikirkan apapun kecuali diri sendiri.

Cukup banyak masalah yang saya dengar dari mulut orang lain. Tentang keluarga, pekerjaan, percintaan, dan semacamnya yg berbeda (apa sih gue, tp ngerti kan maksudnya).. Kemudian saya tersenyum menanggapinya. Diam dan berpikir dalam hati bahwa saya tidak setegar ini, bahwa ternyata didalam sini menyimpan sejuta kejenuhan, beribu kerinduan, dan keinginan untuk diperhatikan. Menjadi seorang introvert yang lama-lama kelamaan bisa menderita kerontokan rambut itu menyebalkan. Ketika kata-kata curhat sudah dijung lidah, saya terpaksa harus menelannya pait-pait karena tdk ada yg bisa keluar. Saya memilih untuk menjadi pendengar setia untuk mendegarkan orang lain. Tapi sumpah, saya ikhlas..

Padahal, saya tidak setegar itu..
Karena seorang vintya juga ingin dimengerti. Karena seorang vintya ingin dimengerti tanpa harus meminta.
Jika ada manusia seperti itu, jadilah engkau seorang teman yg sangat saya nantikan.

Salah satu kelemahan Vintya!!

#Fb 27 Agustus 2009

Sumpah demi kecantikan dewi Fortuna, (kenapa yg kepikiran malah dia ya?haha) Well gue sih nganggep dia beruntung, yaaa anggep aja saking beruntungnya she's got the look juga, hehe.. (Wondering mukenya)), bahwa gue gak suka baca. Kalo gue boong, niscaya dia ga akan segitu beruntungnya lagi dan kadar kecantikannya turun 3 derajat.

Gue inget, disaaat temen sebangku gue pas sma udah ganti komik ke seri berikutnya, gue belum sampe ke tengah halaman pun.. 2jam lewat.. Dan belum beres juga aja, hahaha HELLOW??komik doang gitu loch?? Serial cantik pula. Dimana si penulisnya udah berbaik hati supaya kita ga ngegunain otak secuil pun, mereka cuma butuh diapresiasi senyum kita sambil bergumam (uuuuwww tampan!! Tampan.. Atau aaaah kisah yang dramatis..) disertai rasa nyandu yg berlebihan sehingga kita melanjutkan baca lagi dan baca lagi. Dan bloonnya, gue malah ga selesai baca tuh komik, memutuskan untuk melanjutkannya besok hari.. Atau kisah yang lain disaat temen gue uda mulai naik pitam karena pinjem buku Harry Potter seri 2 sampe berbulan-bulan.. Ahhaha padahal gue belum baca aja pas balikinnya..

Apalagi disuruh baca koran? Hahahaha.. Paling gue baca bagian gosip artis.. Headline depan kalo perlu ga gue baca. Sekarang setelah menjadi karyawati, gue kena kutukan aja, tiap hari ada bapak satpam yang bawain Koran Kompas ke meja. Diantara segitu banyak pegawai yang mungkin juga seorang pembaca yg budiman or whatever, kenapa musti ditaro di meja gue siiiih?? Kan gue jd mau ga mau harus baca.. Tenang kali ini ada peningkatan signifikan, gue mulai belajar baca headline, dan menambah fokus bacaan.. Bukan sekadar terpaku di bagian gosip, tp juga diskon dan berita flight murahnya air asia, wakakakak.. Stupid doesn't play!

Kenapa ya? Kenapa ya gue ga suka baca? Padahal dulu pas masih kecil, gue suka lho baca koran.. Apalagi kalau bukan POS KOTA. Dimana judul setiap wacana lebih panjang daripada isinya hehe, misal judul "Seorang Pencopet dipukuli massa setelah mencopet seorang Ibu yang sedang menunggu bajaj di daerah Cinere karena dia sedang kepepet duit" buseeet, menurut gue beda bgt ni koran.. Kita ga perlu baca semua contentnya juga bs tau banyak.. Koran sakti untuk pembaca yang luar biasa punya banyak waktu luang untuk membaca judul. Gue jadi inget, tiap hari gue nyandu baca tuh koran yang kalo kelamaan dipegang bs nyebabin tangan jd hitam, luntur kena tinta, hahaha.. Gue nagih baca bagian Nah Ini Dia (what??? Anak kecil macam apa yg demen baca bacaan pendek kayak begituan??? Hahaahha tolol!), Noni (si cewe yg sok kece), Doyok, Ucha, dll.. Eh tp ni koran seru! Serius.. Tapi sampai akhirnya Tuhan menyelamatkan saya, entah kenapa saya berpisah dengan koran narkoba itu, koran yg bikin nyandu.. Wakakak

Kenapa ya? Bahkan komik? Mungkin karena kalo baca gue terlalu pake hati. 1 halaman bisa diulang berapa kali. Misal, baca sekilas, baca pake suara, baca titik komanya pun disebut. Emang aneh bgt gue kadang. Makanya gue suka trauma gitu kalo suruh baca, karena gue harus siap dengan keadaan membaca juga setiap tanda baca. Misalnya, "Ciat hyyaaaat awas kau Goku tanda seru tanda seru"--> gue lafalin dalam hati. Padahal tuh tulisannya cuma "awas kau Goku!!".. Meeeeeen, kenapa tiba-tiba gue ngerasa masa kecil gue cukup FREAK, hahahahaa.. Eh tp bener deh, membaca jd sesuatu yg melelahkan..

Yah ga aneh" bgt sih, gue juga suka Hans and Gretel (karena gue suka rumah coklatnya, hehe), suka buku cerita bergambar yg tipis itu lho, yg full gambar.. Beranjak gede, gue suka baca buku komik tokoh2. Gedean dikit, gue suka baca buku peribahasa. Gedean dikit gue suka baca Kamus Besar Bahasa Indonesia.. Hahaha, yg ini Freak!! Itu semua karena guru SMA Bahasa Indonesia gue suka kasih PR yang mengartikan suka kata dr KBBI.

Diumur yg sekian, gue merasa sedih karena ternyata dikit banget buku yg gue baca.. Kalau ditanya orang, "tau gak bukunya si ini tentang anu", maka gue akan menjawab, "tau" dalam pelafalan yang panjang alias "taaaaaaaau" alias kagak tau! Hehe ala mandra banget ga seeeh gue hahaha. Ya mau begimana lg, mata gue lebih suka melihat sesuatu yg bergerak dalam kotak kecil bernama televisi.. Bukannya menggerakkan bola mata gue untuk melihat tulisan dalam sebuah persegi bernama buku (cieee keren banget gue bisa kepikiran nulis gini)..

Iri aja gitu sama orang yg antusias "Eh Gramedia lagi diskon, kesitu yuk" hahaha.. Gue jd wondering kayanya bokap gue cukup senang yah karena pas gue kecil gue ga bikin dia bangkrut dengan minta dibelikan buku cerita ini itu.. Atau gue suka aja liat orang yg bawa buku novel, trs ngebaca di jalan.. atau jalan2 ke kwitang hunting buku murah.. Hahaha keren-keren.. Kapan yah kalau gue gitu..
Mungkin saat neraka menjadi dingin alias kagak mungkin kaliiii..

Aaaaarrrghh, tapi gue suka nulis.. Alhasil ya gini.. Abis nulis sesuatu ga pernah dibaca ulang dulu.. Makanya suka banyak salah tanda baca, ketik, dll.. Hehe.. Ga teliti kalau ngecek ulangan harian dll.. Ya ya ya..

Oya salah satu hal yang bikin gue ngaco kalo lg baca, gue suka ngehang.. Dari baris ke 2 trs loncat ke baris 4, nah loh? PR banget kan tiba" lagi hot"nya baca eh ga nambung kalimatnya lantaran gue salah baca baris..

Nah pas gue suka dihadiah kalo menang sesuatu, gue berharap bgt, "plis hadiahnya jangan buku.." Haha tapi ga mungkin, dunia akademis gemar sekali memberikan kenang-kenang buku untuk dijadikan pajangan dikamar.. Tapi malang tak dapat ditolak, Tuhan tetap ingin supaya belajar membaca. Kompetensi gue seharusnya : membaca menulis mendengar dan berbicara (sebagai seorang S.IKom muda yang berbakat dan ingin tampil mempesona).. Well, memang sudah waktunya kali ya belajar menyukai membaca..

Tp saya punya misi yg lebih penting saat ini, sebelum membiasakan diri suka membaca.. Saya memilih untuk membiasakan makan nasi terlebih dahulu, hehe.. Supaya punya tenaga buat baca.. Yang ada malah ngantuk dan keburu ga baca lagi. Hehe, saya suka diri saya yg seperti ini. Suka suki, gue yang suka lo yang keki..

-sebuah insomia produktif setelah chatting dengan erdit yg bercerita bahwa dia sangat suka membaca, haha.. Hebats!

Ikhlas

#FB 26 September 2009

2.40 am
Gue masih belum bisa tidur, tp mata uda bengkak.. Bengong, terbayang, dan ketakutan. Perasaan ingin, perasaan mencari, perasaan berubah, dan untuk satu tujuan, melanjutkan hidup yang lebih baik..

Gue ga perlu menyanyikan lagu "jangan menyerah" seperti yg sedang menjadi tren anak2 masa kini dlm update statusnya, piss yo!!.. Tapi, itu yang sedang gue jalanin. Untuk segala aspek, demi pribadi yg lebih ok. Meninggalkan masa lalu, hidup untuk sekarang, dan berjuang untuk masa depan. Walau banyak org yg menawarkan campur tangan untuk membantu dan menjanjikan segalanya akan lebih baik, tp gue rasa, gue sendiri yg harus menemukan dan merubahnya menjadi indah...

Suatu kesempurnaan yg udah hilang selama 18 tahun (kurang lebih). Dan bs dicari melalui satu pilihan sulit. Tapi saya sangat bersyukur, Tuhan masih memberikan saya pilihan, Dia tidak membiarkan saya kebingungan tanpa pilihan.. Saya tidak suka pilihan, tp saya benci jika tdk memiliki apapun untuk dipilih..

Walau sulit, menyakitkan, berat, dan teman-temannya lah, itu akan membentuk pribadi gue menjadi kuat.. Ga akan ada kata 'bangun' sebelum jatuh. Ga akan ada bongkahan kristal atau baja kalau tidak mengalami tempaan bertubi. Ga ada yg namanya jawaban kalau tidak mencontek, hehe tolol, memikirkan sebab akibat.. Ga akan ada rencana kalau tidak akan ada keputusan.. Dan ga akan ada hasil kalau tidak ada tindakan. Dan ga akan ada keberhasilan kalau tidak diridhoi orang-orang tersayang.

Apapun, apapun yg akan gue lakukan setelah ini, insyaallah untuk membahagiakan banyak orang.. Pls don't get me wrong.. Just take it positively. Gue ga akan bertindak bodoh dengan tidak memikirkan kebahagiaan orang lain.. Biarkan saya menemukan jawabannya.. Dan apabila sudah, mudah2an itu menjadi kesenangan kita bersama yg patut dirayakan tnpa jamuan pesta bir..

Terimakasih untuk selalu mengerti dan mendukung.. Ada di segala mata penjuru ketika aku menoleh dan mencari.. Terimakasih untuk menjadi rentetan nama dalam daftar "manusia-manusia terbaik dlm hidupku". Jika saya nabi, maka saya tidak perlu sebingung dan seketakutan ini.. Cukup berdoa, ikhtiar dan kemudian datang lah mukjizat yg tidak memerlukan kata bimsalabim..

Biarkan hidup kita menjadi indah.. Mulailah dengan mendoakan org yg kau sayangi. Tuhan Maha Baik (selain Maha Romantis tentunya), dia akan membalikkan apa yg kamu doakan untuk org dan menjadi doa bagi dirimu sendiri.. Yah, kalian ga usah menforward pesan ini ke 9-12 org sehingga dalam sejam hingga 8jam akan ada berita baik atau keberuntungan menanti anda (tren bullshit masa kini dlm ym dan bbm), cukup diamalkan aja booook.. Berdoalah untuknya, untuk yg kau sayangi dan menyangimu.. Doakan segala kebaikan..

Dan sekarang, saya sedang melakukan hal itu.. Amin..

Impian dan syarat pertama untuk jodohku

#FB 3 oktober 2009

Thanks to Rachel Panjaitan yang telah mengembalikan memori masa kecil. Doi berhasil mempercantik folder lagu di komputer kantor dengan men-share salah satu foldernya yg berisikan 52 lagu disney..

Kerja sambil bernyanyi dan tebak2an, ooow ini dr film ini.. Aha!! Ooww, waaaa.. Saya suka lagu disney.. Dan filmnya..

Akhirnya oh akhirnya muncul impian pertama dlm kepala gue. Pertama kalinya gue punya mimpi ttg masa depan.. Sesuatu yang akan disyaratkan pertama kali untuk calon suami (hey hey siapa dia, siapa aja dah..).

Mungkin nanti gue akan bertanya kepadanya tentang beberapa hal, bahwa mau dan mampukah dia untuk bekerja keras sehingga bs mewujudkan impian gue :

1. Di dalam rumah, tolong buatkan satu ruangan khusus untuk saya, aku pengen punya home theater, wahai jodohku!
Harus ada sofa merah agak besar untuk dijadikan bangku kerajaan saat nonton.. Waaaa, gue bisa nonton film-film disney, drama romantic, film2 ok yg belum sempet ditonton dengan mangkok besar berisi popcorn atau kacang mede pedes manis..
Jadi selepas kamu pergi, aku bisa nyanyi2, joged, ngakak2, nangiiiis, hehe film akan menemaniku..


2 Hmm,, kerja yg bener ya, supaya kamu bisa bikinin usaha buat aku, Toko Kue dan Kopi..
Setelah puas menikmati film di home theater, siangnya gue ke tempat kerja.. Kan kerja harus sesuai dengan hal yg kita sukai yah.. Gue suka ngeliat orang-orang yg lg santai2 brg pacarnya, temennya, keluarganya. Ngeliat mereka ketawa, mesra2an, atau bahkan berantem.. Kadang gue juga suka nerka2 apa yg ada dipikirkan orang yg lg bengong sendirian di sebuah kedai kopi.. Apalagiiiiiiii, gue suka roti dan kue.. Kalo gak laku, yauda gue aja yg makan hehehhehe.. Janji deh, bakal melayani tamu supaya bisa nyaman serumah-rumahnya..

Hehehe, hari sudah sore semakin banyak pelanggan yang datang.. Waaaa.. Tp dimeja itu, meja kekuasaanku, kubiarkan sebuah papan 'reserved'.. Itu untuk kegiatan rutin saya di senja hari, sambil menunggumu menjemput.. Tempat saya melamun, berpikir, berimajinasi, dan menuliskannya dalam kotak ajaib bernama laptop.. Sambil sekali menyeruput kopi dan menikmati kue terbaik yang dijual di kedai pemberianmu..

Tak lama kemudian, jodohku datang juga.. Oooooo dia baru pulang kerja.. Pasti cape.. Kututup laptop dan berpamitan kepada para pegawai. Saatku tawarkan, "kamu minum kopi dl?", ternyata km lebih tertarik untuk minum kopi di dalam rumah kita yang nyaman itu hehhe.. Makanya kita harus pake pembantu ya (ga pede nyapu sendiri)..

Sesampainya di rumah, sebelum mengakhiri, aku menceritakan kisah film yang ku tonton, gelagat pelanggan kedai kita, dan apa yang sedang ada dalam imajinasiku..

Hehhehe, gantian kok, aku juga pengen denger cerita kamu.. Pasti km punya banyak dongengkan sebelum aku terlelap?


Ps : tolong jangan buatkan saya kedai seperti desain ruangan kedai kopi beken di indonesia yah.. Tiru aja kedai kopi yg ada di film Gilmore Girls atau Dawson.. Yg ga terlalu padet dari kursi ke kursi..

Moral : saya makin gendud krn pop corn, kacang mede, kue, dan kopi!!! Aaaawwww

Amin.. Hahhaa.

When God Made You

#FB 5 Oktober 2009

Sabtu lalu, gue ke acara pemberkatan si kokoh.. Gue ngeliat dia memakai jas putih, agak kebesaran, but u looked nice, Koh..

Tak beberapa lama kemudian, sepasang remaja (mungkin seumuran dengan gue, hahaha remajaaaa), menyanyikan lagu tersebut. Gue sama temen gue (ui, rachel blm dtg masih repot kebut2an takut ketinggalan acara pemberkatan), merinding ga karuan ngedengernya.. Lirik itu saat dinyanyikan oleh si lelaki, terdengar wah, dan ketika si perempuan menyanyikan bait selanjutnya, maka lengkap sudah..

Hari ini gue lgsg download lirik sama lagunya, kl lg ga sibuk, download juga yah.. :) enjoy!

Ps : dan mulai hari itu, selamat berbahagia, Shien Hendry dan Nyonya.


It's always been a mystery to me
How two hearts can come together
And love can last forever
But now that I have found you, I believe
That a miracle has come
When God sends the perfect one

Now gone are all my questions about why
And I've never been so sure of anything in my life

I wonder what God was thinking
When He created you
I wonder if He knew everything I would need
Because He made all my dreams come true
When God made you
He must have been thinking about me

I promise that wherever you may go
Wherever life may lead you
With all my heart I'll be there too
From this moment on I want you to know
I'll let nothing come between us
I'll love what ever you love

He made the sun He made the moon
to harmonise in perfect tune
One can't move without the other
They just have to be together
And that is why I know it's true
You're for me and I'm for you
Cause my world just can't be right
Without you in my life

I wonder what God was thinking
When He created you
I wonder if He knew everything I would need
Because He made all my dreams come true
He must have heard every prayer I've been praying
Yes, He knew everything I would need
When God made you
When dreams come true
When God made you
He must have been thinking about me


Well, bagi yg uda punya pasangan, abis ataupun akan dilamar, monggo silahkan di forward ke pasangan masing2.. Tunjukkan bahwa kalian bs menjadi dangdut karena Dia..

Dan bagi yg belum memilikinya, tenang, God must has been thinking of us, dear :)

Jakarta diotak idiot saya

#FB 11 oktober 2009

Jakarta Jakarta.. Kau sungguh kota yang luar biasa.. Aku tau itu!!!! Banyak keajaiban disini, yg tidak dimiliki tempat lain..

1. Aku melihat banyak mobil keren di televisi keluaran jepang dkk.. Tp aku yakin, sangat yakin!!!!! Bahwa tidak ada yg sehebat mobil berbentuk bobrok namun kuat luar biasaaaa seperti yg sering berseliweran di Jakarta.. Ya, Jakarta punya metromini.. Sebuah bus bobrok yg memiliki kaca berlapis baja.. Yang tidak akan pecah sekuat apapun si kenek memukulnya saat sedang berteriak ke supir pertanda bahwa akan ada penumpang yg akan turun (baik dengan uang logam ataupun tangan), "tek trek tek teeeeek" yang berulang.. Tetep ga pecah aja loooh,, padahal kuping gue uda sakit ngedengernya.. Luar Biasa benar kendaraan di kota ini.. Ckckkc. Mungkin presiden harus coba, kacanya mungkin antipeluru.. Yang penting kan keselamatan pak.. Lowbudget pula. Pilihlah metromini!

2. Jakarta memiliki manusia2 yang sakti mandraguna.. Waaaw, Tukang Parkir!! Sakti sekali dia.. Ghaib. Tampaknya, ilmu kanuragan-nya sangat hebat.. Bagaimana tidak??? Tukang parkir bisa tiba2 muncul mendadak seketika pada saat pengendara hendak mengeluarkan mobil dari parkiran.. Padahal tdnya saat memarkir mobil, atau bahkan pada saat men-starter mobil, dia tidak ada.. Huaaaa mungkin ilmu meringankan tubuhnya sangat tak terkalahkan.. Ckckckck.. Dia bs menghilang dan muncul seketika..

3. Di Jakarta, Tukang koran yg berseliweran di lampu merah memiliki mata paling tajam didunia.. Tidak percaya?? Coba lakukan ini, bahkan saat malam hari.. Jika anda melihat seorang tukang koran jauh didepan ketika anda sedang menunggu lampu hijau, cobalah untuk berpura-pura ttp konsentrasi melihat ke depan.. Apabila si penjual koran merasa teracuhkan, lirikan mata anda sedikiiiiit saja (ingat, lirikkan!! Bukan menengok), kearah tukang koran.. Niscaya, niscaya!!! Si tkg koran itu juga akan langsung menuju anda untuk menjajakan dagangannya.. Hebaaaaat!!! Dia bisa tau.. Waaaaw. Bahkan dikegelapan malam.. Bahkan kaca mobil kita juga gelap.. Mereka bisa melihat kita melirik mereka.. Atau intuisi mereka yg luar biasa... Ckckkckck.. Mungkin bisa dijadikan pekerja BMG untuk peramal cuaca, yg penting intuisi men..

Sebenarnya masih banyak lagi keunikan dan kehebatan jakarta.. Nanti akan dibahas pada posting selanjutnya.. Bravo bravo!!! Potensi Jakarta memang dashyat.. Wakakakkaka

Rachel Panjaitan

#FB 4 Januari 2010

2010, Resolusi saya adalah menjalankan semua resolusi. Ini aksi bukan janji. Ini realisasi bukan halusinasi.

Sedaaap, emang berasa jagoan bgt. Semua semua semua, terimakasih telah menjadi inspirasi. Orang-orang terdekat. Yg memberikan saya sebuah contoh. Tp sebelumnya saya ingin menulis, sangaaat.

2 jam yg lalu, saya dikirimi mantan tentang artikel "menikah". Sejam yg lalu saya di-gtalk-an sama mira yg ngomongin kawin. Dan 5 menit yg lalu, saya bbm-in Rachel "aku pengen nulis, tp ttg apa ya?" Dan dia bilang "kawin" Oh my God. Jangan ah.. Saya mau ngomongin Rachel aja, haha..

Trida Rachel Angelina Panjaitan. Si anak ajaib, begitulah abangnya menjuluki. Dan di twitter, temen2 gue mulai hapal dengan @rachelpanjaitan krn agak sering menjadi objek penderita twit gue. Oke, kita perkenalan dl.. Dia seumuran sama gue, 22 tahun, Libra, single and very happy, batak (noh liat marga), pintar, dan menyenangkan.

Bulan Maret dia muncul di kantor gue. Dan memperkenalkan diri seperti ini, "Haloooo, namaku Rachel.. Ra-nya dibaca Re, dan chel-nya kaya ngomong Pecel", dan gue cuma bs : NGAKAK. Mulai saat itu dia menjadi hiburan di kantor kami, ketoprak, Ludruk, srimulat.

Si pelawak lulusan Psikologi UPH. Si G4UL yg cerdas itulah yg dikatakan slh seorang wartawan ketika ia mengikuti kegiatan saat duduk di SMU 78(entahlah kegiatan anak2 cerdas di Beijing) haha, atau si Remaja Ceria dari kontes yg pernah diikutinya beberapa tahun silam.

Iyaaa, saya selalu tertawa, begitupula yg lain. Ketika saya sedih bosan atau malas, tinggal telf ext. 8303 dan seketika terdengar suara oktaf mentok "Halo selamat pagi/siang/sore/mlm dengan Rachel ada yg bs dibantu!!!!!!!", Buseeeet itu udah jam 7 mlm, nadanya ttp konstan (tuh liat aja gue tambahin rentetan tanda seru), ceria padat mantap! Dia memang Public Relations kami yang aneh.

Saya melihat anak ini tanpa hidup ga pk beban, ga munafik, tolol dengan tarian kukumbaba-nya setiap kali bermain ke meja saya yg berada satu lantai dibawahnya, penuh semangat, dan berpakaian aneh (sll HITS) kemanapun. Iya, dia ga peduli apa yg dikatakan org. Gini deh, fair2an aja, kalo lo sirik dengan apa yg dipake Rachel sehingga harus ngomong dibelakangnya, gue akan pasang badan duluan buat ngebela dia. Cuek aja ya, terima aja kalo lo FREAK, haha.

Dulu gue pernah nanya ke dia, "who are you?" Dan dia jawab "burst of buble".. Hahaha, lo ga segampang itu buat meletus di antara kita. Rachel ya Rachel, semua org suka dengan dia, bahkan org baru yg kenal dia. Dan gue selalu ketawa wlw mungkin dia ga berniat buat ngeJokes. Misal (ini juara bgt, makanya gue ga bosen buat cerita),

Hendry : Cel, paskah tuh Jesus lahir atau meninggal? (Pertanyaan oon sih)
Rachel : *akting shock "hah dia uda meninggal??"
Rachel : *kini akting nangis, "kok ga ada yg ngasih tau gue siiiiih!!huhuhu"

DWAAAAANGGGG!!!, atau (sudah diterjemahkan ke dlm bahasa indonesia, dia gemar berbahasa asing soalnya)..
Jadi ceritanya, rachel lg dimarahin sama nyokapnya karena nakal.

Mamake : ".... Rachel!! ini karena kamu belum menemukan Jesus dlm hidup kamu!"
Rachel : "Hah, Jesus hilang??" *akting nangis
Rachel : *tambah nangis "kita harus cari org buat nemuin dia"
DWAAAAAANNNG, hahahhahhaa..

Kebayang kan gimana dagelannya dia buat saya dan beberapa lainnya..? Bayangin muka gue kalo lg denger kegoblokannya dia, gue sll pasang muka kaya preman jenggotan di dunia Hercules yg hobi nge-beer gelas gede, sambil hentak2in gelas ke meja sambil ngomong, "Lagi,, lagi,, lagi!!!" Gue jg jd kaya anak kecil yg bisa ngerengek ke nyokap gue buat dibeliin mainan robot rachel yg bs di ON-OFF kan tiap gue pengen ketawa.

Oya, ketololan tingkah laku dia berbanding terbalik dengan otaknya ya. Seriusan! Dia bisa protes dengan menjabarkan alasan-alasan. Org paling lempeng dan sll mengutamakan "maksimalitas" dlm hidupnya, kebayang betapa LEBAY-nya dia??. Dia juga pencetus #sektepergaulanbebas dan mengangkat dirinya sebagai ketua.. Hahaha..

Mudah-mudahan lo dpt cowo ya Chel, tp yg baek2 hahaha biar dunia gelapnya bisa di-rem, yg pinter biar bs diajak debat, yg soleh supaya bs ngebuat lo ke gereja lebih dr sekali dlm seminggu.. Hahhaa. Jangan nyari yg cuma bs nge-gendong atau tipikal muka *hitamgedematasipit doangan.. Hahaha

Gue baru bikin janji ke dia 2jam lalu, setelah dia minta bantu di rem, #resolusi 2010 mau ngajari Rachel hidup prihatin haha.

Dia punya banyak temen, dan saya salah satu diantaranya. Dan menjadi temen baik, bukan berarti gue harus kenal lo lebih dari setaun atau dua taun kan?? Bukan berarti lo nongkrong dimana gue ikutin. Lo ttp jd temen tolol yg lucu kok, yg selalu berulah dan buat gue "duuuuh, bikin ulah apa lagi sih nih bocah", yg bikin gue cuma ngangguk sambil mangap "Seeet, dia ga cape ngomong secepet kilat", atau semena-mena nyuruh gue ke lantai dia atau dia tiba2 ke lantai gue buat mamerin apa yg dikenakannya hari itu (red: baju aneh).

Akhir-akhir ini temen2 kantor gue lg pada sibuk sih.. Sibuk kerjaan, sibuk pacaran, sibuk resign (hahahaaha), termasuk Rachel. Kayanya kita lagi menghilang2 ni.. Jadi, coba tolong arrange ya kapan kita jalani kebersamaan nih!! Prob? Kokoh? Oki? Ike? Milka? David? Willy? Karin? Stan??? Dan yg lain..??

Kalian.. Kaliaan.. Terimakasih sudah menjadi teman saya. Nanti saya kupas kalian ramai2 yah.. :)