Monday, January 11, 2010

Callista

#Cuplikan 3

Bunga dan tangkai yang berjodoh menjadi satu rangkaian menghias taman rumah Ibu. Di sana ia biasa membungkuk, memperhatikan tiap tetes air yang menempel selepas hujan yang sering singgah. Sesekali dipangkasnya batang yang terlihat mengganggu keindahan yang lain. Tidak banyak warna yang tampak seperti halnya paduan warna dalam pelangi, merah hingga ungu. Di taman Ibu, hanya ada warna kuning, merah, ungu, dan didominasi putih. Karena putih, kesejukan pun merasuk. Lily, bunga penuh keanggunan dengan warna-warna lembut dan keharuman yang khas. Seperti nama Ibu, fungsinya pun sama, multiguna dan cocok untuk kesempatan suka maupun duka, selayaknya Ibu yang selalu dirundung dua nuansa, suka dan duka.

Manusia gemar memanjakan matanya dengan sesuatu yang Wah. Walau begitu, tak semua penyuka keindahan mau membeli bunga untuk dimiliki. Meskipun mereka berada, mereka lebih memilih mengkonsumsi keindahan berlibur ke luar negeri, menghias garasi dengan mobil dengan seri teranyar, atau nongkrong di tempat dimana kita bisa sadar bahwa Tuhan itu Maha Hebat sebagai pencipta! Tapi Ibu berbeda, ia merawat kesemua bunga dengan tangannya sendiri, seperti anaknya.

Sudah kali kedua hujan mengguyur hari ini. Bogor menjadi tempat pelarian kami selama 13 tahun terakhir, lari dari kota besar yang sarat kepedihan. Maaf, tapi saya hampir tidak tahu bagaimana caranya membedakan mana yang pelarian dan mana yang dibuang. Kami lari karena kami sudah dibuang. Saya dan Ibu. Jakarta, pernah menjadi surga bagi setiap penghuninya. Dan sepatutnya, mereka juga sudah tahu konsekuensi bahwa Surga juga bisa penuh, maka diciptakanNyalah sebongkah neraka. Hebatnya, saya dan Ibu pernah merasakan keduanya.

Neraka ada karena dosa Ibu yang tidak ingin mengikhklaskan apa yang menjadi hak asasinya, cintanya. Cinta menjadi sangat penting dan naik pangkat untuk berasa di level asasi, sebuah hal dasar yang dimiliki oleh setiap manusia semenjak dia lahir dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sesuatu yang pantas diterima tapi tidak dapat dialihkan dari satu orang kepada orang lain. Saking universalnya, cinta bisa hidup dimana saja dan kapan saja. Tapi sayangnya, cinta ayah tidak seluar biasa cinta Ibu. Ketika haknya sebagai seorang istri diinjak, Ibu tidak mengutarakan tuntutan apapun yang sebenarnya dapat diajukan. Hak Ibu memang dilanggar tetapi tidak pernah dapat dihapuskan.

”Ayo Cal, makan dulu. Ini masakan kesukaan kamu sudah Ibu siapkan di meja”
”Ayam kecap? Atau roti meses?”
”Liat aja dulu, keburu siang nanti. Ibu mau pergi ya ke toko.”

Di Jakarta, kami tidak pernah hidup miskin apalagi terpuruk atau tinggal di antara jalan sempit tempat rumah kumuh saling berbagi halaman, tempat jemuran, jalan, lapangan, atau bahkan teras. Tapi Jakarta sudah terlalu banyak menyimpan kenangan pahit dan manis. Cinta Ayah tidak seluar biasa cinta Ibu. Entah mengapa ia tega mengusir kami dari rumah yang penuh gema kecerian masa kecilku, si anak semata wayang.

”Buuuu!!!” teriakku berusaha menahan kepergian Ibu.
”Kenapa sayang?”
”Aku sayang sama Ibu, hati-hati yah!”
Tak lama, terdengar suara pintu terkunci. ”Cuma kamu, Bu..”

No comments: