Wednesday, January 20, 2010

Rebellion

#Cuplikan 5

kamu seperti hantu
terus menghantuiku
kemanapun tubuhku pergi
kau terus membayangi aku

salahku biarkan kamu
bermain dengan hatiku
aku tak bisa memusnahkan
kau dari pikiranku ini

di dalam keramaian
aku masih merasa sepi
sendiri memikirkan kamu
kau genggam hatiku
dan kau tuliskan namamu
kau tulis namamu

tubuhku ada di sini
tetapi tidak jiwaku
kosong yg hanya kurasakan
kau telah tinggali hatiku

Aku bukanlah Mas Boy yang muda lagi perkasa. Hanya seorang anak laki-laki sehat yang dilahirkan dari ibu yang cantik, dibesarkan dilingkungan cukup menarik, dengan asupan gizi terbaik. Anak semata wayang dari seorang dosen terkemuka dan dokter umum biasa di Ibu kota. Stamina 8, mapan 8.5, otak 9, paras 9.5. Ingat, tidak ada laki-laki yang sempurna, mungkin itu pula mengapa Tuhan tidak menorehkan angka 10 dalam profil pribadiku saat ia menitipkan aku lewat rahim Bunda. Wanita keturunan Jawa dan Sunda yang dinikahi seorang lelaki peranakan Betawi dan Sumatera Selatan. Ada empat adat yang mengalir dalam darah ini. Harusnya aku menjadi seorang yang tau bagaimana caranya bermasyarakat, bukannya tidak tahu adat. Ternyata empat adat terlalu banyak, aku bingung harus mengikuti yang mana dan akhirnya memutuskan untuk pura-pura tidak tahu saja.

Ayah sempat memaksa agar berprofesi menjadi seorang pengacara. Banyak duit, kononnya. Kemudian saya teringat bahwa surga itu ditelapak kaki bunda, bukan ayah. Berhubung bunda menyetujui keinginanku untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi, jadi aku tidak ragu menampik keinginan ayah. Dunia komunikasi itu penuh sensasi. Walau katanya kerja sebagai budak media kurang menghasilkan, saya tetap pada pendirian. Toh sekarang ujungnya sama, aku dibayar karena pekerjaanku menggunakan mulut untuk menyampaikan berita kepada umat manusia. Begitupun dengan pengacara, yang menggunakan mulut untuk membela seorang terdakwa. Porsi “umat” lebih banyak daripada “seorang”, maka jatuhlah pilihan menjadi pembawa berita. Argumen bodoh itulah yang sempat aku ajukan untuk meredakan amarah seorang ayah. Bagaimanapun juga surga ada di telapak kaki Bunda. Tapi Bunda sempat bilang bahwa kuncinya ayah yang pegang. Jadi, aku harus membuat si juru kunci menjadi tidak terlalu keki.

”We can not not communicate”, kalimat yang cukup popular di telinga setiap mahasiswa komunikasi. Tapi tidak dengan saya. Saya tidak bisa mengatakan kepada dunia bahwa saya mencintai siapa. Tidak mungkin. Tidak boleh. Tidak bisa. Mungkin, kata-kata itu pula lah yang akan dikatakan semua orang kepadaku apabila aku bercerita tentang kondisiku, “tidak mungkin,, tidak boleh,, tidak bisa,,”.

Saya tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini. Dan itupula yang akan dikatakan oleh kedua orang tuaku saat mereka tahu yang sebenarnya. Bunda pingsan dan ayah menyuruhku bunuh diri. Mereka tidak pernah berdoa untuk melahirkan pria yang akan menyukai sesamanya. Sebagai manusia yang manusiawi, aku mempunyai kemampuan merasakan cinta. Cinta datang dan untuk bermacam situasi dan lingkungan, dari keluarga, teman, ataupun lingkungan sekitar. Tapi bagiku, yang terpenting adalah aku harus mencintai diri sendiri. Cinta akan datang jika aku mencintai diriku sendiri yang bebas mencintai siapapun yang kukehendaki. Tak terkecuali.

Dan kini ketika cinta itu harus direlakan untuk pergi, aku bak menjalani program rehabilitasi yang katanya bisa mengobati rasa patah hati. Melepas dari segala candu yang penuh nestapa. Yang tega membuatku harus merasakan nista. Aku tidak pernah bisa memarahi atau menceramahi diri untuk bisa menyukai siapa. Menjatuhkan pilihan kepada seorang pasangan sesuai adat. Dan sayangnya, tidak satupun dari keempat adat yang mengalir ini memperbolehkan aku memilih laki-laki.

Kosong, seperti tembang yang dipopulerkan Dewa. Ditemani hantu yang membuntutiku. Bayangan tentangnya. Bagaimana bisa saat di tengah keramaian dan aku masih merasa sepi? Sendiri memikirkan kamu. Sebuah rupa yang masih bisa kugambarkan tanpa harus memejamkan mata. Hantu yang berani-beraninya mencuri hati dan menorehkan namanya dengan menggunakan spidol permanen supaya tidak bisa terhapus. Hantu sialan. Hantu jahanam. Hantu terkutuk. Hantu yang akan selalu menjadi masa lalu.

“Beneran gak sakit yah, mas?”
“Sedikit sih, tapi setelah itu biasanya jadi nyandu.” Jawabku kepada salah satu pelanggan.
“Saya gak nyangka lho mas, seorang pembaca berita terkenal seperti mas ternyata seorang tattoo artist!”
“Pilih dulu deh mas gambarnya, nanti makin lama lho. Prosesnya bisa makan waktu enam jam kalau gambarnya besar.”

Tiap gambar mempunyai arti dan filosofi bahkan konsekuensi. Bahkan ada anggapan bahwa setiap pemilik tato harus bisa mengamalkan apa yang tergambar pada tubuhnya sepanjang usia. Namun kini, tato telah menjadi bagian dari tren, gambarnya dipilih dengan berbagai alasan. Seni merajah tubuh bukan lagi milik kalangan preman dan seniman.

Bangsa Yunani kuno memakai tato sebagai tanda pengenal para anggota dari badan intelijen, mata-mata perang pada saat itu. Aku mulai menggali tentang asal muasal tato yang mulai menjamah Cina sekitar tahun 2000 SM. Wen Shen atau lebih dapat diartikan sebagai akupunktur badan. Dimasanya, tato dijadikan tanda bahwa seseorang itu berasal dari golongan budak dan tahanan sehingga harus dirajahi ke setiap tubuh mereka. Lain halnya dengan budaya tato yang lahir dari wanita etnis minoritas Drung, Dai, dan Li. Budaya tato dalam etnis ini dijadikan sebagai penangkal bahaya saat mereka diserang oleh etnis lain untuk dijadikan sebagai budak. Demi menghindari terjadinya perkosaan, para wanita tersebut kemudian mentato wajah mereka untuk membuat mereka kelihatan kurang menarik di mata sang penculik. Sedangkan di Indonesia, oleh suku dayak, tato dianggap seperti lentera atau lampu penerang menuju surga layaknya damar yang digunakan zaman dulu untuk penerang kegelapan.

“Saya ini atlet bola lho mas, masih amatiran sih”
“Terus?” aku cukup aneh karena pelanggan ini langsung cerita padahal saya tidak mewajibkan isi biodata sebelum di tato.
“Jadi kan keren aja mas. Mudah-mudahan tato bisa membuat saya memperbaiki badan saya biar ga kurus-kurus amat.”
“Hubungannya apa ya?”
“Kalau saya nge-gol-in, saya pasti buka baju. Kan malu kalo tato naga ini keliatannya jadi cacing. Makanya, dengan pakai tato, mudah-mudahan saya jadi semakin niat buat ngebesarin otot.”
“Oh gitu ya. Sekarang sudah jadi tren sih ya. Padahal bagi suku Mentawai, seseorang sampai bunuh-bunuhan supaya bisa mendapat tato di tangan musuhnya. Makanya bikin tato gak boleh sembarangan.” aku berusaha memberikan penjelasan kepada pelanggan gila bergaya ini.

Menjadi penato adalah hobi yang tersalurkan. Alangkah hore-nya apabila melakukan sesuatu yang disenangi kemudian dibayar. Sama seperti halnya dibayarin pacar, INDAH. Ini adalah bakat dari seorang kakek yang memang pelukis terkenal dijamannua, dan akulah yang mendapat keberuntungan turunan. Sebisa mungkin kusempatkan untuk menangani langsung para pelanggan. Sayangnya, kesibukan pekerjaan kantoran ini tidak terelakkan sehingga aku harus mempercayai beberapa bawahan untuk berkreasi seapik mungkin. Terlebih kasus teranyar di seluruh media di Indonesia yang menjadi “agenda setting” sebulan terakhir ini benar-benar menyita waktuku untuk tetap tinggal di studio dan lapangan. Lagi-lagi kasus korupsi dan pembunuhan yang masih menjadi misteri. Tidak ada yang berani disumpah dan bersaksi. Mereka terlalu pengecut dan murahan untuk berhadapan dengan para mafia hukum. Biarkan aku menjadi aparat yang berwenang mencari berita, menyiarkan, berdebat, hingga dipaksa untuk stop berkoar-koar lewat layar kaca. Khalayak berhak tahu kebenaran yang harus segera diungkap.

“Kalau mas Aldy pasti tatonya banyak yah?”
“Ha? Oh, cuma satu,” aku sampai pada kesimpulan bahwa orang ini sungguh sangat bawel.
“Apa, mas?” oh ralat, bukan hanya bawel, ternyata dia Maha Ingin Tahu.
“Dadu.”

Bagiku, hidup adalah taruhan. Aku tidak bisa hanya sekadar memilih untuk hidup bahagia di dunia dan masuk surga setelahnya. Bertaruh adalah kenyataan yang harus dihadapi bagi yang masih ingin merasakan nikmatnya bernafas.

Cukup untuk hari ini. Langkah ini membawa kembali ke apartemen yang hanya ditempati oleh aku dan Lona. Lona hanyalah ikan berwarna merah dan kuning keemasan dengan titik biru berkelompok di sekitar mata indahnya. Diameternya kurang lebih 20cm, dan terlihat sangat makmur di kolam super besar. Mungkin karena dia menjadi ratu di dalam situ, satu-satunya yang kuberi makan, tak ada saingan. Sama seperti pemiliknya, sendiri.

Aku tidak pernah menyalahkan Ben yang mencampakkanku. Meski begitu, aku tetap menyukainya. Sama halnya seperti aku yang sangat menyukai Jakarta. Kota dimana Ben hidup dan tinggal. Dimana kita masih bisa melihat matahari yang sama di langit yang sama. Kami berpisah baik-baik setelah Ben memilih untuk membahagiakan kedua orang tuanya dan dijodohkan dengan anak salah satu koleganya. Kemudian aku menjadi pincang. Ini hanya karena aku tidak sekuat Adam bahagia ketika tulang rusuknya diambil kemudian “adakadabraaaa” menjelma seorang Hawa untuk menjadi pasangan seumur hidup dan beranak pinak. Kenyataannya, pakai terapi dan kecanggihan teknologi kedokteran seperti apapun, Ben dan aku tidak akan pernah bisa berkembang biak. Aku bukan Siti Maryam yang bisa melahirkan bayi tanpa ada yang membuahi. Lagipula Siti Maryam itu berlabel : PEREMPUAN, sehingga masih punya kesempatan dan kemungkinan untuk melahirkan. Sedangkan aku, 100% laki-laki tulen. Dan keluarga Ben, butuh seorang anak laki-laki untuk diwariskan garis keturunan marganya.

Aku tidak pernah menyalahkan Ben yang pergi begitu saja. Ini adalah awal yang baru. Masalah sederhana. Aku tidak dipilihnya. Sakit tapi harus diterima. Dibuang oleh sang tersayang. Ben telah menghancurkan segala harapan, melanggar yang telah diucapkan, berkhianat, kemudian pergi hingga membuatku merasakan derita seperti ini. Tapi aku tetap memilih untuk hidup, dan.. memutuskan untuk bertaruh dan melihat bagaimana kami di akhir cerita.

Aku melihat sebuah amplop klasik terselip di kolong pintu,
“Aldy,tutup kasus sampai disini atau kamu yang mati. ‘M’.”

No comments: