Monday, December 15, 2008

pulang ke kotamu

Jogja 6 desember.

Hari masih terbit 7 kali dalam seminggu. Urutannya pun masih sama, mungkinkah terganti?
Rutinitas masih mendikte, bahkan semakin bantet. Tapi aku menikmatinya, inilah jawaban dari doaku, untuk mengalihkan perhatian. Pagi ini kusempatkan menulisi si Blogy.. Aku datang terlalu pagi. Ku taruh tas, dan langsung kutinggal mejaku barang sejenak karena password komputerku masih ter-lock. Mungkin sudah waktunya aku pulang kemarin malam. Humm, di setiap pagi, ada rutinitas baru yang sudah dua minggu ini aku lakukan. Solat pagi kemudian tidur sebentar di sebuah ruang berkarpet hijau di lantai. Sunyi sekali disana, belum ada lampu yang dinyalakan, terkadang 2 hari sekali kudengar sebuah alunan ayat suci menggema di ruangan. Merdu sekali hingga membuat aku tertidur. Menikmatinya rutinitas ini menjadikan hariku terasa lebih cepat.

Tahap pemulihan. Pagi, 2 hari yang lalu, saat penduduk sekitar bersiap solat iduk adha, bersama ketiga orang lainnya bergegas menuju Bandara Adi Sucipto. Sudah waktunya pulang menuju Jakarta. Mungkin 4 malam sebelumnya merupakan pelarian sia-sia. Tidak ada yang berbeda dan tidak ada yang berubah. Masih sama. Dan belum mau mengganti. Jalanan cukup lapang, namun suasana di Bandara selalu ramai. Masih satu jam lagi sebelum keberangkatan, kusandarkan kepalaku, mendongak melihat santapan gosip pagi hari. Ya, ada Marcella. Entah siapa yang benar dan siapa yang salah, saya hanya konsumen yang tidak enggan dicekoki isu yang tidak jelas. Kutekan tombol menjauhi tanda ”Off”. Kemudian mulailah terdendang sebuah lagu dari Ipod orange kesayanganku, hadiah darinya. Lagunya sudah basi. Seperti biasa, Vintya yang dikenal classic oleh teman lamanya.

Malam sebelumnya, kudatangi Jogjakarta. Melintas di Stasiun dekat Malioboro, banyak kerumanan muda-mudi. Mereka fokus mendengarkan pengamen band menyanyikan lagu ”Jogjakarta”. Kubuka kaca jendela lebar-lebar. Sebuah musik penyambut kedatangan aku dengan yang lainnya. Entah mengapa aku selalu senang setiap kembali ke kota ini, ada rasa penasaran dan euforia. Lirik lagu itu memang pas. Redup lampu mempercantik jalanan kota, mereka tidak perlu ketegasan, hanya ketenangan. Semua menyatu, pejalan kaki, tukang becak, penjaja burung dara. Kulihat sebuah cafe bergaya tempoe doeloe di persimpangan sebelum mall malioboro. Aku bisa melihat tamu-tamu yang tertawa dan tersenyum, sayang aku tidak turut meluangkan waktu menjajakinya.

Dimana-mana hotel penuh. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk mencari di gang sempit yang bernama Dagen. Ternyata juga tidak ada yang kosong. Hingga kami mendapatkan satu di wilayah Pasar Kembang, haha.. Tapi suasana dan dekorasinya cukup enak, etnik.. lagipula hanya satu malam, dan ini sudah larut. Sudah dini hari dan mata masih belum terlelap. Mata kaki masih terasa sakit, setelah menapaki ratusan anak tangga.

Keesokan harinya kami jelajahi kota Jogja yang dipenuhi motor. Hampir semua jalanan diatur satu arah sehingga membuat kami mengulang jalan yang sama selama beberapa kali. Jogja terkenal dengan Malioboronya. Tapi aku sudah bosan, menelusurinya hanya perlu kusisihkan 3 jam, oleh-oleh untuk keluarga besar. Selebihnya? Aku tidak mengunjungi keraton, parang tritis, atau prambanan. Itu sudah pernah. Saatnya mengunjungi lokasi lain, yang belum pernah kudatangi. Seseorang mengajakku pergi ke sebuah tempat. Ia merupakan kenalan dari Jakarta yang kebetulan ternyata sedang mengunjungi keluarganya di sana. Dibawanya aku ke dua tempat yang cukup nyaman dan beda untuk menikmati malam sambil bersantap kudapan ringan. Gadjah Wong, dimana meja-meja ukuran besar tidak juga memadati bagian atas tempat itu. Banyak turis disana. Dan aku memilih meja untuk dua orang, untungnya meja ini beradadi lokasi yang strategis, dari sana aku bisa melihat pengunjung di bagian bawah, mendengarkan aliran sungai, atau pun penyanyi cafe yang diiringi perkusi, dan yang paling penting tidak gaduh. Pengunjung lain tidak bisa melihatku karena posisiku membelakangi mereka, tapi aku bisa melihat lebih banyak. Kuah Tomyam segar kuseruput, panas.. sudah hampir tengah malam dan anak gadis sang ayah harus pulang.

Malam terakhir di Jogja, aku habiskan di Kota Gede, sebuah cafe dari bangunan tua yang didesain cantik. Omah Dhuwur, katanya dapat diartikan sebagai Rumah Tinggi. Lokasi parkirnya terpisah sebuah jalan raya, dan kami harus menyebrang. Wow, meja-mejanya besar, sama seperti di Gadjah Wong, semua pengunjung adalah turis asing, berasa dijajah di negeri sendiri. Sebuah lampu terlihat seperti kubah yang melengkup layaknya payung tanpa gagang terbalik berwarna merah tua di langit-langit. Dingin sekali. Kami berada diujung balkon, kami berbagi meja dengan turis perancis yang dengan ramah menyela untuk permisi duduk di meja yang sama. Setelah itu, napsi-napsi lha, hehe.. Pemandangan dibawah cukup kontras dengan bagian tempat kami duduk. Terhampar sebuah kebun yang didesain dengan gaya Eropa, asal tidak hujan bisa dijadikan sebagai tempat nikah tuh..

Cheese cake dengan saus strawberry kutelan habis. Manis. Namun terasa hambar karena pada dua tempat unik ini, aku tidak membawa camera, untuk diabadikan. Mungkin alasan itu juga yang akan membawaku kembali ke Jogjakarta. Terimakasih telah mengajak saya kesana. Dua jam berlalu dan pikiranku masih memikirnya, seandainya ada..


”Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu”

No comments: