Wednesday, April 7, 2010

terkadang, seringnya, baik itu kurang cukup.

Empat huruf bermakna biasa. Efeknya juga segitu dramatis. Sebatas baik, saja.

Memang tidak berarti kurang. Tapi jelas tidak cukup (untuk manusia haus aktualisasi). Baik mungkin sekasta dengan "ok" dan ga ada orang yang merasa dihargai sebegitunya lewat 2 huruf O & K.

"Gimana penampilan gue?", "Ok kok", "Ok?" "Iya, kan ok itu bagus", "Oh, stidaknya Ok".. Ga kurang kok, tapi 'kok' kurang menyenangkan yah kedengarannya.

"Gimana tuh cowok?", "Dia baik kok", "Terus" "Ya.. Dia baik". Lumayanlah, tapi bukan sesuatu yang dibanggakan.

"Besok jalan yuk", "ok" *sebenarnya gue lebih berharap kalo respons-nya, 'yuk!'*

Biasa aja. Biasa bgt. Terlalu sederhana. Kena tanggung. Kurang spesial. Mentok amat. Sulit diintropeksi. Tapi.. ok-lah. Tapi, baiklah..

Touch my heart oouuugh I'm on fire! Saya juga berkaca. Jelasin deh definisi baik yang sesungguhnya. Bukan sedangkal lawan kata yang menyatakan bahwa baik itu tidak jelek.

Jadi inget, Tuhan tidak pernah menciptakan manusia dengan kejelekan. Berarti manusia baik semua. Dan menjadi baik adalah sesuatu yang umum. Mungkin saya termasuk kaum haus pengakuan, dan kamu juga! Kita barengan berlomba buat menjadi lebih dari yang lain dengan pergi ke bimbingan les, dokter kulit, studio musik, mall, toko perhiasan, rumah ibadah, lebih lama di kantor, tempat happening, dll. Dipermainkan kaum kapitalis yang selalu muncul setiap kita berkaca, kontemplasi, melihat orang lain, atau lewat mimpi. Digandrungi budaya pop, masa kini.

Baik sudah pasti kalah dengan luar biasa. Tapi terkadang baik juga bisa kalah dengan hal yang minus.
"Gue ga terlalu suka cowo/cewe yg terlalu baik", "Knp?" "Kurang dinamika aja"

Baik itu cuma sekadar penilaian dengan nomor urut pertama.
"Dia baik, tinggi, ganteng, pinter pula!"
Bukan, "Dia pinter, ganteng, baik pula!" *rasio 1 diantara 10 untuk yg menyebutkan baik sebagai nomor buntut dlm penilaian*

Selayaknya golongan bersyukur, saya bersyukur menjadi atau mendapatkan yang baik. Seraya menghindari persepsi takabur, di dalam sini saya akui bahwa saya ingin menjadi atau mendapatkan yang lebih dari sekadar baik. Saya tidak ingin dikenal sebagai "Oh, itu loh Vintya yang baik". Bahkan kedua orang tua saya pun juga berpikiran yg sama dengan cara mereka berkata seperti ini sejak saya kecil, "Sekolah nak yang pinter supaya jadi Dokter". Doktrin dari usia dini untuk menjadi lebih. Kenapa bukan, "Sekolah nak supaya jadi baik"..

Hahhahahaha, sumpah ya, baik tuh nature, bakat. Manusia itu bawaannya baik. Ga ada yang satupun ibu hamil mengusap perutnya seraya berdoa, "Tuhan semoga anak saya baik". Tuhan juga ga pernah kepikiran nyiptain manusia jahat. Mubazir buat menuh-menuhin neraka.

Mulai sekarang, tiap ada yang menilai saya itu baik, saya bersyukur skaligus sedih. Disinyalir masuk surga, tapi ga ada perubahan signifikan semenjak dilahirkan.

"Hey, kamu baik.." "Terus?" "Senang berkenalan dengan anda!"

No comments: