Thursday, December 3, 2009

hati itu besar, dan itu kenyataan.

Walaupun ukurannya adalah yang paling besar sebagai organ dalam tubuh. Tai hati begitu istimewa karena ia hanya satu. Dengan bebannya yang berat, ia menawar segala racun. Mungkin ia iri dengan jantung, paru-paru, dan ginjal. Mungkin hati bosan untuk selalu satu dan sendiri.

Kehilangan itu sulit. Kehilangan itu sakit. Namun hal terbaik yang dapat kita ketahui keadaan terburuk itu adalah kita masih memiliki sedikit kebahagiaan dan berusaha untuk menghargainya sebaik mungkin.

Mata kita kita memang selalu terbuka lebar untuk anugerah yang diterima oleh manusia lain, dan membuat kita tertegun dan mengeluh atas apa yang kita dapati. Rumput tetangga akan selalu lebih hijau, dan di atas langit masih selalu ada langit. Maka kepala ini akan selalu menengadah ke atas atau memandang penuh harap untuk dapat bermain di halaman yang lebih menyenangkan.

Tapi, saya ingin belajar untuk mengerti bahwa misteri hidup tidak selamanya seperti yang saya inginkan. Dan terus berusaha untuk paham dan bersyukur atas apa yang saya miliki. Begini, saya terbiasa untuk hidup menyenangkan. Lahir dan dibesarkan dari keluarga yang luar biasa hebat. Teman yang tolol (karena saya terlalu nyaman dengan ketololan mereka). Pekerjaan yang permanen. Dan beberapa hal lainnya yang mewajibkan saya harus senantiasa mengingat dan berterimakasih kepada Tuhan. Namun, tidak selamanya loooooh se-oke itu. Hidup saya tidak seperti bintang sinetron. Yang lahir dari keluarga orang kaya, otak pintar, pacaran sama cowo ganteng yang juga kaya, bisa keliling dunia dan lalalalalallala,, aku kaya hidup bahagia tujuh turunan dan Yeyyy!! masuk surga aja looooh. Enggak! Enggak sekeren dan seimajiner itu.

Nampaknya saya sudah mulai terbiasa menerima gagal dan kehilangan beberapa bulan terakhir. Tapi walaupun bukan orang jawa (tapi sangat penyuka keturunan jawa, hahaha), tetaplah menyebut kalimat …”untung, saya ga..”. Termasuk hari ini, hari yang cukup melelahkan, misalnya..

Kehilangan orang.
Ga setegang itu sih. Hilang disini artinya saya harus merelakan bahwa seseorang yang sudah terbiasa ada dalam keseharian, ternyata harus dijauhi. Bukan karena epilepsi, HIV, atau yang lainnya. Seseorang yang selalu berusaha untuk saya mengerti dan kenali. Dan karena satu sampai seribu hal, tampaknya akan lebih baik apabila saya membiarkan dia untuk menjalani apa yang dia mau, apa yang dia pilih, apa yang bisa membuat dia senang. Walau itu sangat bertentangan dengan apa saya inginkan. Saya ikhlas untuk membiasakan keseharian ini untuk tidak dengannya. Kebiasaan itu candu, dan udah pernah lihat atau dengar kan bagaimana seorang pecandu yang lagi sakaw? Bagaimana saya harus berusaha lepas dari sebuah candu yang seperti udara, dimana saya harus menolak oksigen yang biasa saya konsumsi. Yah agak lebay sih, tapi itu kenyataan.
Kehilangan barang.
Esia saya resmi hilang, hari ini. Dulu, gue ga bisa hidup tanpa Esia. Karena bagi saya (lagi-lagi dulu), Esia adalah medium yang bisa mendekatkan saya dengan seseorang yang selalu ingin saya dengar suaranya. Teori simple : 152 KM Jakarta – Jatinangor bisa begitu mudah dan semurah Rp 50, per menit (giling gue malah promosi). Bahkan Esia menjadi objek penelitian dalam skripsi yang saya perjuangkan. Gimanapun juga Esia punya makna (walau sekarang saya lebih mendewakan BB). Yah selain itu pake duit kaliii belinya, hehe. Kini, handphone mungil flip tipi itu raib. Begitu tahu hilang, saya cuma bisa bilang pada teman, “Yah, udah bukan jodoh saya, bukan rejeki, mau diapain lagi”.

Kehilangan mimpi.
Ini yang cukup dasyat hari ini, hehe. Beberapa bulan yang lalu saya coba apply untuk beasiswa. Saya pilih mengambil jurusan ekonomi. Memang agak gambling sih pas ambil jurusan ini, dengan alas an : 1. Saya ga punya basic ekonomi. 2. Pilihan jurusan yang lain cukup aneh buat saya, misalnya pemerintahan dunia ketiga, pangan dan pertanian, konflik dan perdamaian. Tapi saya ngotot ambil ekonomi, karena seenggaknya saya nyoba walau kesempatannya tipis. Dan ternyata benar, saya mendapat surat pemberitahuan bahwa saya belum berhasil. Sesuai dugaan, saya diinformasikan gagal karena syarat untuk mengambil S2 ekonomi dari universitas sana adalah harus punya basic S1 ekonomi (konyol deh ah, kenapa ga dibilangin sih dipersyaratan awal?? Bikin ngarep aja). Dan saya ga lolos kualifikasi itu. Mungkin banyak yang tahu kalau saya pengen dapet beasiswa. Tapi, begitu tahu saya ga berhasil, men,, saya ga apa-apa sama sekali. Saya tahu ini setelah 5 menit saya tahu bahwa saya kehilangan Esia. Dan setalah meeting marathon dari jam 9 – 18.30 nonstop (diseling makan siang).

Saya juga aneh kenapa saya ngerasa ga sedih. Saya cuma bisa ngomong dalam hati, mungkin kesempatan saya adalah di benua lain yang lebih jauh dan indah. Australia terlalu dekat (haha jiwa besar seseorang yang gagal). Bahkan dikeletihan dan buruknya hari, saya masih bisa santai menemani seorang teman yang apes mengalami pecah ban dan harus diperbaiki selama satu jam. Kita duduk ngemper diparkiran basement penuh debu. Setelah bannya selesai, kita pulang masing-masing.

Di sepanjang jalan tol jagorawi, saya cuma mikir, kok bisa ya saya sehebat ini ngadepin hari ini? Atau kok bisa ya saya jadi manusia dingin tanpa perasaan? Tapi yang saya pengen lakuin adalah cepet-cepet nyampe rumah untuk berbagi cerita ini dalam tulisan.

Saya ga akan berhenti punya cita-cita tinggi dan terus bermimpi. Karena mimpi dan ngarep itu benar-benar gratis. Sekali, dua kali dan beberapa kali jatuh itu ga akan sebanding dengan apa yang akan saya rasakan ketika saya sudah saatnya berhasil. Ini bukan masalah rejeki atau belum jodoh. Tapi Tuhan tahu, bahwa saya belum siap. Mungkin saya belum siap untuk memiliki pasangan, mungkin saya belum siap untuk tinggal jauh dan meninggalkan orang-orang yang saya sayang disini, mungkin saya belum siap untuk beberapa hal lainnya yang kini telah hilang atau gagal.

Kalau diikutin dan dibawa jatoh, mungkin saya harusnya stress, tapi Tuhan punya alasan. Sama halnya seperti ketika saya bertanya mengapa Tuhan menciptakan malaikat untuk membantunya mengurus manusia? Padahal yang saya tahu, Tuhan itu Esa, Tuhan itu maha Kuasa. Lantas mengapa dia masih butuh malaikat? Iya, Tuhan punya alasan, Tuhan punya misteri yang kalau diikuti sama akal manusia juga ga bakalan nyampe.

Stop mengeluh dan cobalah bersyukur tentang apa yang masih kita miliki. Dan stop terpuruk dalam kehilangan. Berusaha untuk menghargai apa yang kita punya sebelum semuanya terlambat. Kalau saya terkesan munafik, tapi setidaknya saya belajar ke arah itu, setidaknya saya dalam tahap mencoba.

Mungkin akan saya mulai dengan betapa bersyukurnya saya memiliki keluarga dan teman saya miliki saat ini. Kalian yang membuat saya punya mimpi dan hati.

2 comments:

Anonymous said...

ikhlas

monochrome said...

tulisan yang jujur...... nice posting :)