Friday, February 15, 2008

LOVE

Beberapa jam lalu, saya nonton film “LOVE”, bersama sejuta pasangan penuh kasih yang berada di dalam gedung bioskop daerah Gatot Subroto yang diapit oleh Hotel KC dan Unilever, sebut saja gedung itu Planet Hollywood. Di dalam gedung terdapat pula sejuta cinta. Bagaimana dengan film? Beberapa artis beken turut melakoni LOVE. Ceritanya sederhana. Tapi secara keseluruhan, saya suka. Mungkin juga didukung oleh faktor pengambilan gambar dan sound yang mengiringi. Maaf, saya bukan kritikus film dengan detail komentar yang memojokkan. Apa yang saya lihat dalam dalam LOVE? Film sarat cinta. Sebongkah cinta yang terfokus pada lawan jenis yang menarik perhatian, bukan cinta untuk keluarga, untuk teman, ataupun untuk sahabat.




Cinta. Menurut manusia yang ku cinta, cinta adalah kondisi saat seseorang rela untuk melsayakan hal yang tidak pernah mereka lsayakan sebelumnya. Perspektif ini tidak dapat disalahkan. Segala sesuatunya akan terlihat sangat mungkin untuk dilsayakan apabila kita berada dalam keadaan mencinta.


Semua yang melekat pada dia yang dicinta akan terlihat sempurna. Merugilah ia yang tidak pernah memiliki cinta. Dia tidak akan pernah melihat kesempurnaan. Miskin.


Konon, saya sangat menikmati hidup, mensyukuri, karena selalu mendapat apa yang saya inginkan. Walaupun terkadang tidak selalu persis seperti apa yang diharap. Hingga saya menemukannya. Masih sangat jelas kali pertama mata saya bertemu pandang dengan matanya. Seseorang dengan titik hitam di bawah mata kanannya. Dia, di sudut ruang. Dia tidak pernah saya lukiskan dalam bayangan. Pun saya tidak pernah menggambarkan kriteria yang harus melekat pada orang yang akan kunilai baik untuk dikagumi, sebelumnya. Kini, kanvas itu telah terisi dengan goresan warna, dialah yang muncul.


Saya tidak tahu apa ini cinta atau perasaan lain. Tapi pernah kah kalian merasa sakit dibagian hati --seperti yang beberapa kali saya rasa-- saat kalian benar dan/atau yakin bahwa dialah yang kalian sayang? Kini saya memejamkan mata, menghembuskan nafas, lalu tersenyum. Sepersekian detik sebelum membuka mata, terlintaslah dia. Diantara pejam dan membuka mata. Iya, hati ini sakit, seakan ditusuk, karena saya terlalu menyayanginya.


Setiap hari selalu bersama, walau terpisah ratusan kilometer. Mendengar suaranya adalah mukjizat. Saya sangat berterimakasih karena Tuhan menciptakan Alexander Graham Bell. Tidak ada kata jenuh mendengar nyanyiannya walau telinga telah panas, satu jam, dua jam, tiga jam lewat sudah. Hanya untuk memberitahu bahwa betapa saya merindunya. Hanya untuk bertanya kesekian kali tentang perasaannya. Apa dia menyayangiku? Pertanyaan yang tak penting dan tak perlu ditanya. Tapi begitulah perempuan. Hanya ingin mendengar apa yang ingin didengar.


Pahatan membentuk keindahan dalam setiap inci tubuh yang dimiliki. Bukan hanya bagian luar, kebaikan dan keramahan dapat diterawang tanpa harus memiliki mata tembus pandang. Kini mataku terpejam lagi, kemudian menghembuskan nafas lagi, lalu tersenyum lagi. Mengingat betapa indahnya manusia ini saat ia bersandar di sebuah sofa dan memandangku dengan tatapan manja, luluh. Ada simpul di bibirnya. Sesekali saya datang untuk mencium. Berkali-kali pula kubenamkan kepala untuk bersandar padanya. Kadang bergantian, ia yang bersandar dan diakhiri dengan sebuah ciuman di bahuku. Saya merasakan sakit lagi, saya merasakan cinta dari dan untuknya.


Tidak ada yang patut dicela darinya. Lagi-lagi, mataku terpejam, menghembuskan nafas, lantas tersenyum. Wangi. Tiba-tiba ada harum tubuhnya. Bukan wangi dari kopi. Bukan pula wangi bunga. Harum ini telah melekat ditubuhnya sejak pertama saya menghirup wanginya dan dikutuk oleh para penyihir supaya tidak pernah hilang. Walau tertiup angin atau terhalang wangi dan/atau bau lain. Ia sangat wangi. Oh, aku juga hapal tubuhnya. Berapa tingginya, besar tangan dan kakinya, berat badannya, bentuk anggota wajahnya, sebesar apa harus kulingkarkan tanganku untuk dapat memeluknya. kubiarkan mataku buta, dan kubiasakan tangan ini merabanya supaya dapat menghapal detail manusia terindah. Lagi dan lagi, aku tersenyum setelah memejamkan mata dan menghembuskan nafas.


Setiap ciuman adalah bermakna. Bukan hanya ciuman pertama. Tapi ketika dia mencium mataku saat saya ingin tidur memimpikannya. Saat mencium pipi atau pelipisnya untuk memberitahu betapa lucunya dia. Sewaktu ia mencium kepalaku sekadar merasa bahwa ia menyayangiku. Kala saya mencium tangannya, tanda menghormatinya. Atau ciuman di punggung layaknya seorang kakek yang ingin meyakinkan bahwa cucunya terjaga. Dan, di detik saya mencium bibirnya. Getaran itu masih ada, dag dig dug yang terasa sangat. Padahal ini bukan kali pertama, kedua, atau ketiga. Getaran yang semakin berharap bahwa ia adalah orang yang akan ada di sepanjang hidup.


Tuhan, terimakasih telah menciptakanku dengan indera yang utuh sehingga bisa memanjakan diri dengan mendengar, melihat, mencium, meraba, dan mengecap cintanya. Saya telah berjanji bahwa tidak akan pernah berhenti mencintainya. Terimakasih telah membawa saya dikehidupannya dan dia dalam kehidupanku. Izinkan supaya saya bisa membahagiakan dia, membuatnya terjaga. Dialah saya pilih, yang selalu membuatku bangga.


Tetaplah bermain dalam hidupku dan melewati hari kasih sayang bersama di tahun-tahun berikut. Walau dikeseharian kita selalu ada dan penuh cinta. Aku, masih menjadi orang yang selalu berharap bahwa nama-mu lah yang akan tertera di layar saat telepon genggamku mengeluarkan suara. Oh sayang, engkau begitu.. sempurna..


* Ini bukan kisah tentang sepenggal cerita cinta. Tapi kisah ini adalah sepenggal cerita tentang cinta.

No comments: